Tajdida

Menyelamatkan Kata “Bid’ah” dari Pemaknaan yang Ngawur

4 Mins read

Pemaknaan Kata Bid’ah yang Keliru

Bid’ah bisa dibilang adalah kata yang cukup populer belakangan ini, khususnya setelah maraknya gerakan Salafi. Hanya saja, penggunaan kata ini di genggaman Salafi mengalami bias makna dan cenderung digunakan secara tidak proporsional.

Sangat sering misalnya kelompok-kelompok Salafi menggunakan kata ini untuk menghantam pribadi atau kelompok yang lain, yaitu orang yang mereka anggap tidak sejalan dengan mereka.

Selain salafi, kelompok Islam yang dikenal akrab dengan ini adalah Muhammadiyah. Hal ini boleh jadi bersumber dari sebutan Muhammadiyah sebagai gerakan anti TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Hanya saja, istilah ini lebih merujuk pada gerakan Muhammadiyah awal yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Saat ini, kata itu hampir sudah jarang digunakan.

Lalu, apa bedanya pemakaian kata bid’ah antara Salafi dan Muhammadiyah? Bedanya adalah Muhammadiyah lebih proporsional dalam menggunakan kata ini. Sangat beda dengan Salafi yang sangat asal melekatkan sebutan bid’ah.

Untuk itu, karena pemahaman Salafi yang lumayan mendominasi dan menggurita akhir-akhir ini, penulis merasa perlu untuk menyelamatkan kata ini dari bias makna. Agar kesan yang negatif tidak terus-menerus dilekatkan pada kata bid’ah.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan kata bid’ah dari bias makna dan kesan negatif adalah dengan melakukan rekonstruksi atau menata kembali konsep bid’ah yang berkembang saat ini. Upaya rekonstruksi itu perlu karena penulis melihat konsep ini justru baik dan malah bisa mendorong umat Islam dalam membangun peradaban.

Definisi Bid’ah

Secara bahasa, bid’ah berasal dari bahasa Arab bada’a-yabda’u yang bermakna ansya’a (membuat) dan bada’a (memulai). Makna bid’ah yang demikian dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah ayat 117 yang berbunyi “Allahu badi’u as-samawati wal ardh” yang artinya “Allah adalah pencipta langit dan bumi.” (Isnan Ansory: 2018)

Baca Juga  Tidak Semua Hal yang Tidak Dilakukan Nabi itu Terlarang

Sedangkan secara istilah, bid’ah bermakna segala sesuatu yang baru atau belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Berikut beberapa definisi ulama tentang bid’ah:

As-Syatibi menjelaskan: “Bid’ah adalah sebuah cara dalam agama yang dibuat, di mana cara tersebut menyerupai syari’ah, dan dimaksudkan dari yang mengerjakannya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.

Kemudian Al-‘Iz bin Abd Salam: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikenal pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi menjadi beberapa kategori: bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang mandub, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah.” (Fajar: 2020)

Imam Syafi’i juga menguraikan: “Perkara-perkara yang baru itu ada dua macam: Pertama, sesuatu yang baru yang tidak selaras dengan kitab (Al-Qur’an), sunah, atsar dan ijma’, ia disebut bid’ah yang sesat. Kedua, sesuatu yang baru yang selaras dengan kitab (Al-Qur’an), sunah, atsar, dan ijma’, ia disebut sebagai yang terpuji.” (Susanto: 2017)

Perdebatan tentang Bid’ah

Umumnya, ketika berbicara bid’ah, para ulama merujuk pada hadis Nabi Muhammad yang berbunyi: “Kullu bid’atin dhalalah (segala bid’ah adalah sesat).” Perdebatan tentang bid’ah dimulai dari perbedaan ulama dalam memaknai hadis tersebut. Ulama terbagi menjadi dua, yakni yang pro dan kontra.

Pihak yang pro menganggap bahwa kata “kullu” di hadis itu tidak berarti segala sesuatu yang baru disebut bid’ah. Ulama itu merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata “kullu”. Salah satu di antaranya adalah:

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya, dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga mau beriman?”

Baca Juga  Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

Ayat ini meskipun menggunakan kata “kullu”, namun tidak menunjukan bahwa setiap benda yang berada di dunia ini tercipta dari air. Buktinya adalah firman Allah berikut: “Dan Dia menciptakan jin dari api”. Artinya selain dari air, ada juga yang diciptakan dari api.

Berangkat dari pemahaman itu, ulama-ulama yang pro terhadap bid’ah mengatakan bahwa bid’ah yang disebut sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam. Jadi, tidak semua yang baru dan tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad dianggap sebagai bid’ah yang sesat.

Contoh bid’ah yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam adalah shalat tarawih berjamaah, acara Isra’ Mi’raj, dan peringatan Maulid Nabi.

Berbeda dengan kalangan yang pro, pihak yang kontra mengatakan bahwa kata “kullu” pada hadis tersebut bermakna umum. Makanya semua yang baru dan tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad dianggap sebagai bid’ah yang sesat.

Bahkan, Imam Malik mengatakan dengan keras bahwa orang yang membuat bid’ah dan mengatakan bahwa tindakannya itu baik, berarti telah menuduh Muhammad mengkhianati (tidak menyampaikan) risalah Allah tentang sempurnanya agama Islam seperti yang tertera pada QS. Al-Maidah ayat 3.

Rekonstruksi untuk Membangun Peradaban

Kalau melihat perdebatan yang alot di atas, kita akan melihat bid’ah, meminjam Hasan Susanto, sebagai beban sejarah. Ia adalah konsep yang hanya membuang-buang waktu. Perdebatannya hanya berputar di situ saja. Padahal jika kita mampu memaknai kata bid’ah secara optimis, maka ia akan dapat menjadi pendorong sekaligus penggerak untuk membangun peradaban.

Sebelumnya, kita sudah dijelaskan bahwa bid’ah itu adalah hal yang baru. Karena itu, untuk memaknai bid’ah secara positif, kita perlu melepaskan bid’ah dari kungkungan perdebatan dalam konteks ibadah mahdhah (ritual). Kita harus mengalihkan dan mengarahkan bid’ah kepada ranah ibadah ghairu mahdhah (sosial).

Baca Juga  Muhammad bin Abdul Wahab: Harus Al-Qur'an dan Sunah?

Sesuatu yang baru sangat diperlukan dalam konteks dunia yang semakin berubah. Selama yang baru itu diorientasikan kepada kebaikan dan kemaslahatan. Sebab itulah yang menjadi tujuan dan alasan diutusnya Nabi Muhammad ke dunia ini: “Tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Bahkan secara berani, penulis dapat mengatakan bahwa bid’ah adalah hal yang niscaya bagi manusia. Tidak akan ada yang bisa membendung itu. Manusia adalah mahluk Allah yang sangat sempurna dengan akalnya. Dengan akal yang dianugrahi itu, manusia beserta daya kreasi dan inovasinya pasti akan selalu menghasilkan produk-produk baru.

Apalagi sebagai seorang muslim, jika kita percaya bahwa manusia wajib meneladani sifat-sifat Allah pada asma al-husna, maka kita akan menemukan bahwa salah satu sifat Allah adalah al-badi’, yakni Maha Kreatif dan Inovatif. Jika kita percaya dan sepakat dengan itu, maka melakukan bid’ah adalah hal yang wajib. Sebab itulah syarat yang paling utama dalam membangun peradaban.

Pemahaman bid’ah seperti ini sangat kita butuhkan. Sebab hanya dengan pemahaman seperti itulah bid’ah yang selama ini mengalami bias makna dan dipandang sebagai beban sejarah akan berubah menjadi konsep yang menggerak dan mendongkrak kemajuan.  

Editor: Yahya FR

Avatar
18 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds