Laut Banda, Maluku, Kamis 10 Mei 2018. Hari sudah mulai gelap ketika kapal kecil kami mulai memasuki laut lepas, menyeberang dari Pantai Kulur Pulau Saparua menuju teluk Amahai Pulau Seram. Tiga mesin 150 PK menderu-deru mendorong menerjang ombak yang sudah membesar.
Goncangan yang makin kuat membuat aku mulai merasa tidak nyaman. Sesuatu dalam perut mulai mendesak ingin keluar. Aku diserang mabuk laut. Maka aku berpindah masuk ke bagian dalam kapal, mencari posisi nyaman dengan berdiri sembari berpegangan kuat pada dinding kapal. Tetapi anehnya, di bagian luar kapal suasana tetap telihat meriah.
Anak-anak muda Muhammadiyah Maluku teman satu tim kami dalam Eksepedisi-6 Zakat untuk Maluku ini nampak sedang bernyanyi riang. Mereka tetap bergembira di tengah kepungan ombak Laut Banda yang bagiku sudah mulai berbahaya. Sambil bergerak apik ke kiri dan ke kanan mereka menyayikan lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut.” Di tengah mereka nampak sosok setengah tua penuh semangat mendampingi. Dialah Mas Agus.
Agus Edy Santoso itulah nama lengkapnya. Panggilan akrabku untuk beliau adalah Mas Agus. Sosok unik ini belum lama aku kenal. Tetapi aku menangkap banyak pelajaran berharga darinya. Mas Agus adalah seorang aktivis yang tetap setia menjaga idealisme di tengah kepungan pragmatisme yang telah membuat banyak aktivis terjungkal ke dalam pelukan kekuasaan yang sebelumnya mereka kritik habis-habisan.
Mas Agus juga merupakan seorang yang hangat dan bersahabat dengan siapapun, termasuk denganku yang junior jauh di bawah angkatannyanya. Dia juga aktivis yang menjaga dengan baik intelektualitas. Di atas semua itu Mas Agus dikenal seorang pemberani menghadapi segala kondisi. Tidak ada yang bisa menakutinya, apalagi sekedar ombak kecil Laut Banda.
Adalah Lazismu yang mempertemukan aku dengan Mas Agus. Perkenalan pertama terjadi di kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Saat itu rapat perdana dengan agenda perkenalan pengurus. Sebagai orang baru dari Jogja, aku perlu berkenalan dengan sesama pengurus baru. Beberapa periode sebelumnya aku berada di Majelis-Lembaga lain yang berkantor di Jogja. Periode ini aku harus lebih banyak ke Jakarta.
Ini tentu sesuatu yang baru dan menarik bagiku. Sebagai pendatang baru pada saat itu ada semacam rasa kagum pada orang-orang level nasional ini. Salah satu dari mereka berambut setengah gondrong dan berperawakan tinggi besar. Dari tutur kata dan ceritanya nampak sekali dia orang berpengalaman.
Dia misalnya bicara banyak tentang temannya sesama LSM/NGO di berbagai belahan dunia yang lain. Tetapi tidak ada kesan sombong dalam kalimat-kalimatnya. Belakangan aku tahu namanya Agus Edy Santoso, temanku sebagai sesama Wakil Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat.
Aku semakin akrab dengan Mas Agus saat Lazismu melakukan rapat kerja. Pada acara ini aku satu kamar dengan Mas Agus. Maka kami banyak berbincang. Ternyata dia pernah kuliah di Jogja. Maka cerita kami banyak saling terhubung. Beberapa nama yang aku kenal adalah teman Mas Agus juga. Tentu mereka beberapa angkatan di atasku.
Salah satu teman akrab Mas Agus saat kuliah di Jogja adalah Pak Nawari yang kini kolegaku di FAI-UMY. Rupanya mereka sudah lama tidak bertemu. Saat itu juga aku menelepon Pak Nawari dan memberikan hapeku ke Mas Agus. Maka duo senior ini asik berbicara penuh nostalgia dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Mereka mengobrol akrab dalam bahasa Madura. Hehehe.
Teman Mas Agus lainnya adalah Bang Beathor. Mereka sesama dedengkot demonstran oposan Orde Baru di Jakarta. Bang Beathor yang berasal dari Palembang ini bagiku seperti kakak sendiri. Kami pernah satu rumah kos di Pengok Jogja saat aku masih SMP dan Bang Beathor mahasiswa semester akhir. Berkat info Mas Agus aku bisa jumpa darat dengan Bang Beathor setalah berpisah lebih tiga dekade. Aku diundang sarapan Bang Beathor di Gedung Agung Istana Presiden di Jogja. Beliau sudah menjadi orang Sekneg sekarang.
Pada 10 Mei 2018 aku bersama Mas Agus berangkat menuju Maluku. Lazismu mendapat amanat dari Baznas untuk menyalurkan dana program zakat senilai sekitar 1 M. Program ini bernama Ekspedisi Zakat untuk Maluku Lazismu-Baznas 2018. Dalam rapat pleno persiapan atas inisiatif Mas Agus aku ditunjuk memimpin ekspedisi ini. Alasanku sebagai orang baru yang belum banyak pengalaman nasional dan baru sekali ke Maluku ditolak mentah-mentah teman-teman pengurus.
Ekspedisi ini tentu makin mendekatkan aku dengan Mas Agus. Posisi kamipun lebih sebagai kakak dan adik. Aku memandang beliau sebagai senior dari segi umur apalagi pangalaman. Tetapi saat itu secara fisik kondisi Mas Agus tidak teralu fit. Batuk dalam intensitas yang lama sering menyerangnya sepanjang perjalanan.
Meski demikian dia tidak pernah mengeluh. Bahkan sepanjang perjalanan beliau selalu bisa menghidupkan suasana. Senioritasnya sangat nampak. Ini antara lain terlihat ketika kapal kecil kami berada di tengah kepungan ombak laut Banda sebagaimana aku ceritakan di awal tulisan ini.
Ekpedisi Zakat ini dilaksanakan dalam tiga tahap dan dalam beberapa bentuk. Program memanfaatkan Klinik Apung Said Tuhuleley. Ekspedisi Tahap-1 berjalan di Dusun Ory dan Namaa di Desa Pellaw, Pulau Haruku. Tahap-3 dilaksanakan di Desa Kulur Pulau Saparua. Peluncuran program dilaksanakan sebelumnya pada 6 April 2018 di Pelabuhan Tulehu Pulau Ambon.
Ekpedisi yang sedang kami jalani saat itu adalah tahap-2 yang dilaksanakan pada 10-13 Mei 2018 dan dipusatkan di Desa Sepa, Pulau Seram. Sebagai penangung jawab program aku bekerjasama dengan tim lapangan yang solid di bawah koordinator putra asli Maluku Rivai Tuhuleley yang berasal dari desa Kulur Saparua.
Bersama Rifai ada Isran Tuhuleley dan kawan-kawannya yang masih satu keluarga besar almarhum Pak Said Tuhuleley. Lebih jauh tentang Said Tuhuleley dan Klinik Apung Said Tuhuleley ini dan tentang telah aku tuliskan dalam tulisanku sebelumnya “Klinik Apung Pulang Kampung.”
Sebagaimana ekspedisi-ekspedisi sebelumnya, program ini dilaksanakan secara sinergis dengan melibatkan banyak pihak. Untuk ekspedisi ke Negeri Sepa ini bakti sosial bidang kesehatan mengambil bentuk penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan, dan pengobatan gratis.
Program ini didukung oleh tiga tim medis: dr. Yusrin, apoteker Mutiara, dan perawat Faqih Ruhyanuddin dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pak Faqih yang selalu bersemangat saat itu sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UMM. Seorang dokter setempat yaitu dr. Ulfi Rifki Ichromy P.S. dari RSUD Masohi juga ikut bergabung ke dalam tim ini. Tim ini didukung obat-obatan dari Dinkes Propinsi Maluku dan Dinkes Kabupaten Maluku Tengah.
Secara keseluruhan Ekspedisi Zakat Untuk Maluku berhasil menjangkau 3.904 penerima manfaat langsung. Mereka tersebar di tiga pulau: Haruku, Saparua, dan Seram. Program bidang Kesehatan, misalnya, menjangkau 532 jiwa penerima manfaat. Kegiatan Mubaligh Hijrah melibatkan 209 peserta /santri TPA, 445 jamaah kultum dan ibadah lainnya, 244 peserta Lomba Ramadhan Ceria, dan 111 peserta Tadarus Al Quran.
Program Bantuan Ekonomi Pemberdayaan Pertanian menjangkau 105 jiwa penerima manfaat dan program Bantuan Ekonomi Pemberdayaan Nelayan dirasakan manfaatnya oleh 45 Jiwa. Paket sembako diterimakan kepada 300 jiwa. Sedangkan bantuan Solar Cell yaitu bantuan untuk kawasan yang kesulitan mengakses listrik menjangkau: 12 rumah ibadah yang terdiri dari enam masjid dengan 391 jamaah sholat 5 waktu dan 6 Gereja dengan 1.522 Jemaat. Gereja juga? Iya, jemaat gereja memang juga merasakan manfaat langsung dari ekspoedisi zakat ini.
Klinik Apung Said Tuhuleley (KAST) memang merupakan layanan Muhammadiyah untuk semua orang. Jadi bukan hanya untuk umat Islam apalagi hanya untuk warga Muhammadiyah. Dengan berbagai programnya KAST melayani warga Maluku secara cuma-cuma hingga ke pulau terpencil tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar-golongan. Sehingga jemaat gereja juga menjadi penerima manfaat langsung dari program kespedisi zakat ini.
Dalam hal ini Muhammadiyah memang tidak hanya merawat kesehatan rakyat Maluku. Muhammadiyah merawat kebhinekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini Muhammadiyah memiliki banyak program yang melintasi sekat etnis dan agama. Selain KAST di Maluku, Muhammadiyah menyelenggarakan banyak lembaga, khususnya lembaga pendidikan pada berbagai level yang diperuntukkan bagi pencerahan semesta. Maka tidak heran lalu muncul istilah Krismuh, singkatan dari Kristen Muhammadiyah, mengacu pada para alumni sekolah atau perguruan Muhammadiyah yang beragama Kristen.
Pedalaman Pulau Seram, Sabtu, 10 Mei 2018. Hari terasa panas karena matahari sedang berada di puncak cakrawala. Aku, Mas Edy, Isran Tuhuleley, dan seorang teman lainnya masuk menusuk ke pedalaman Pulau Seram. Walaupun cukup jauh tapi perkampungan ini masih berada dalam ulayat Negeri Sepa.
Menyimpang sedikit dari jalan lintas Trans Seram, kami masuk ke jalan setapak. Di depan kami sungai lumayan lebar manghadang. Tidak ada jembatan. Maka perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Kami harus terjun, mencari jalur yang tidak terlalu dalam, menyeberangi sungai yang berarus ucukup deras ini. Berempat kami beringsut sambil membawa solar cell dan kelengkapannya. Tujuan kami adalah Dusun Rohua.
Dusun ini merupakan pemukiman yang unik. Ia terbentuk karena dampak langsung dari konflik berdarah berkepajangan yang melanda Maluku pada dua dekade sebelumnya. Para penghuninya adalah warga Nasrani yang terusir dari kampung halaman mereka yang jauh di Maluku Tenggara.
Mereka tertolong oleh kebaikan warga Negeri Sepa yang muslim. Bahkan mereka diberi izin khusus membangun perkampungan dan menggarap lahan di wilayah ini. Sebuah gereja dengan nama Gereja Zebaoth mereka dirikan di tengah pemukiman. Tetapi listrik PLN belum lagi masuk kawasan pedalaman ini. Maka ekspedisi zakat menyasar rumah ibadah ini. Kami datang membawa dan memasang panel surya membantu penerangan rumah ibadah ini.
Pengalaman mengunjungi gereja ini tentu menarik bagiku. Ini kali pertama aku memasuki sebuah gereja. Bukan hanya karena gereja ini berada di negeri di pedalaman yang jauh di Maluku yang sangat indah dan sangat majemuk dari sisi agama dan etnis. Juga karena kebersamaan dengan Mas Agus yang bisa membuat suasana pertemuan kami dengan ibu pendeta dan beberapa jemaat menjadi cair.
Tetapi kini aku tidak bisa lagi mengulangi perjalanan panjang bersama mas Agus. Sakit jantung yang gejalanya mulai terlihat sejak kami satu kamar pada Raker Lazismu dua tahun sebelumnya, berujung pada meninggalnya Mas Agus, di RS Harapan Kita, Jakarta, Jumat malam (10/01/2020).
Aku, kami di Lazismu, khususunya kru Klinik Apung Said Tuhuleley temannya bernyanyi gembira Nenek Moyang Kami Seorang Pelaut di tengah kepungan ombak Laut Banda pada malam gelap itu tentu kehilangan dia. Lecutan-lecutan pendapat kritis serta humor-humornya selalu mengobarkan semangat kami dalam menjalankan misi-misi kemanusiaan di Lazismu. Ini akan selalu kami kenang dan menjadi bagian dari amal saleh almarhum. Insya Allaah.
Tamantirto-Jogja, 24 April 2021.
Editor: Yusuf