Fikih

Siapa Bilang Perempuan Haid Boleh Berpuasa?

3 Mins read

Sebelum membahas tentang apakah perempuan haid boleh berpuasa, kita perlu memahami ayat Al Quran terkait puasa. Puasa Ramadan, menurut surah Al-Baqarah (2): 183, diwajibkan atas umat Nabi Muhammad yang beriman, sebagaimana juga diwajibkan atas umat sebelum ini dengan tujuan supaya mereka menjadi manusia bertakwa.

Pada ayat selanjutnya, Tuhan memberikan dispensasi bagi orang sakit dan musafir meninggalkan puasa, dengan kewajiban menggantinya pada hari-hari di luar Ramadan atau membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin (Al-Baqarah [2]: 184).

Perempuan Haid Boleh Berpuasa?

Kalau membaca kedua ayat di atas, hanya orang sakit dan musafir yang menerima bonus untuk tidak berpuasa. Karena itu, kemudian muncul anggapan bahwa perempuan yang sedang haid, jika dirasa kuat dan sehat, boleh berpuasa.

Sebagai bahan diskusi, pendapat demikian mungkin saja muncul. Setidaknya, dapat merangsang orang untuk membuka, membaca, dan meneliti kembali literatur-literatur Islam seputar puasa. Tetapi, untuk menjadi panduan beribadah, saya kira, tunggu dulu.

Dua syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas dan benar. Ikhlas artinya ibadah tersebut dilakukan semata untuk dan karena Allah. Yang dimaksud benar adalah sesuai tuntunan Rasulullah sebagai pembawa risalah. Apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, ibadah tersebut tertolak. Begitulah simpulan para ulama setelah mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, dan perkataan para sahabat Rasulullah tentang tuntunan ibadah ritual atau formal.

Pendapat yang menyatakan bahwa perempuan haid boleh berpuasa terdengar asing dan berpotensi khalif tu’raf (sekadar beda agar viral). Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dalam Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan jelas menyatakan bahwa perempuan haid dan nifas tidak diwajibkan berpuasa selama Ramadan, dan wajib mengganti puasa di luar Ramadan.

Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah Haramkan Rokok?

Pendapat tersebut bukan didasarkan pada pemaknaan bahwa darah haid dan nifas itu kotor atau najis. Juga tidak dianalogikan (qiyas) dengan dilarangnya perempuan haid dan nifas menjalankan shalat, iktikaf di masjid, atau memegang Al-Qur’an. Dan, akan semakin tidak lagi jika dianggap bahwa pendapat tentang perempuan haid tidak diperbolehkan berpuasa itu muncul karena stigma-stigma buruk yang menghinakan perempuan. Tidak sama sekali.

Dalil Haramnya Perempuan Haid Berpuasa

Dalam kitab Maratibul Ijma’ dinyatakan tentang kesepakatan ulama bahwa puasa sunah maupun wajib haram dilakukan oleh perempuan yang sedang haid dan nifas. Jika tetap dilakukan, puasanya tidak sah. Pendapat serupa juga ditegaskan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.

Tidak berbeda dari itu, M Quraish Shihab, ulama tafsir dari Indonesia, juga menegaskan bahwa perempuan haid dan nifas tidak diperbolehkan berpuasa Ramadan, dan harus mengganti di hari-hari yang lain. Berbeda dengan shalat, yang tidak diwajibkan dibayar ulang.

Dasar yang dipakai adalah hadis Rasulullah berikut:

قال رسولُ الله أليس إذا حاضَتِ المرأةُ لم تُصَلِّ ولم تَصُمْ؟ قلنا بلى

Rasulullah bersabda: Bukankah perempuan itu jika sedang haid, tidak shalat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab: Benar. (HR Bukhari).

Dalil yang lain adalah riwayat dari Aisyah, istri Rasulullah, berikut:

كاَنَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

Kami dulu pernah kedatangan itu (haid), maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat. (HR Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla mengomentari hadis tersebut bahwa perempuan haid mengganti puasa di hari-hari yang dilewatinya selama masa haid adalah nas yang telah disepakati. Tidak ada yang menyelisihinya.

Memahami Ayat Quran dan Hadis

Senada itu, Imam Nawawi menjelaskan bahwa ungkapan “maka kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat” adalah hukum yang disepakati. Kaum Muslimin telah berijmak bahwa perempuan yang sedang haid dan nifas tidak wajib shalat dan puasa. Tidak wajib mengqadha shalat, tetapi wajib mengqadha puasa.

Baca Juga  Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

Sekali lagi, tidak ada dari semua ulama di atas yang mendasarkan pendapat pada stigma miring terhadap perempuan.

Dalam urusan akidah dan ibadah harus hati-hati. Rujukannya adalah Al-Qur’an. Jika tidak tertera secara langsung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, harus diteliti dalam hadis, karena di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelas Al-Qur’an.

Kadang ayat-ayat Al-Qur’an tidak begitu saja dapat dimengerti maksudnya. Penjelasan tentang makna-makna dan segala kandungan Al-Qur’an ada di kitab tafsir. Penjelasan seputar isi hadis terdapat di kitab syarah. Silakan baca kitab-kitab tafsir dan syarah yang ditulis oleh para ulama kompeten.

Mengkaji Islam dengan hanya membaca Al-Qur’an dan mengabaikan hadis pasti menghasilkan pemahaman timpang. Ajaran Islam terdapat dalam kedua sumber ajaran itu, yaitu Al-Qur’an dan hadis, kemudian memahami keduanya harus mempertimbangkan penjelasan para ulama dalam kitab tafsir (untuk Al-Qur’an) dan kitab syarah (untuk hadis).

Hikmah Dilarangnya Perempuan Haid Berpuasa

Hikmah dilarangnya perempuan haid berpuasa sifatnya ta’abbudi. Artinya, sudah menjadi ketentuan ibadah dan harus dipatuhi. Bukan karena alasan kesucian (thaharah) untuk memulai puasa. Suci itu tidak dipandang sebagai syarat puasa. Terbukti dengan sahnya puasa orang yang junub dan belum sempat mandi besar ketika terbit fajar.

Boleh jadi keluarnya darah akan melemahkan tubuh, sehingga diizinkan berbuka adalah supaya tidak menambah mudarat bagi perempuan itu sendiri. Itu hikmah yang lain.

Tetapi, penting dipahami, hikmah tertentu yang ditemukan dalam suatu perintah atau larangan agama tidak menjadi landasan utama penetapan hukum terkait akidah dan ibadah. Untuk dua urusan itu, yaitu akidah dan ibadah, acuan utamanya adalah dalil-dalil nas dalam Al-Qur’an dan hadis.

Keliru besar apabila larangan berpuasa bagi perempuan haid dianggap sebagai pandangan fikih yang terpengaruh konteks sosial tertentu, dan bukan dari Al-Qur’an maupun hadis. Larangan berpuasa bagi perempuan haid memang tidak tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tegas disampaikan Rasulullah dalam dua hadis sahih riwayat dua perawi hadis paling tepercaya, yaitu Bukhari dan Muslim.

Baca Juga  Hukum Masbuk bagi Jamaah Shalat Jumat

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang perempuan yang semula haid, kemudian suci di siang hari Ramadan: apakah perempuan tadi harus imsak (menahan diri dari makan dan minum) atau tidak? Bukan di sini tempat mengulas diskusi mereka yang panjang itu.

Tentang perempuan sedang haid boleh berpuasa, siapa bilang? Pendapat tersebut terkesan nyeleneh dan khalif tu’raf saja. Wallahu a’lam.

Editor: Nabhan

Avatar
11 posts

About author
Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM), anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds