Report

Darurat Pendidikan Indonesia, Haedar Nashir Soroti Tiga Hal

3 Mins read

IBTimes.ID – Hari pendidikan 2 Mei 2021 layak untuk menjadikan refleksi. Pendidikan Indonesia saat ini hendak dibawa ke mana?

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut ada tiga tren aktual yang terjadi akhir-akhir ini, yang penting untuk menjadi perenungan sekaligus menjadi pertanyaan jujur, karena bukan sesuatu yang tampak kebetulan. Kenapa di dalam pendidikan selalu terdapat hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai dasar konstitusi serta Agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa Indonesia?

Pertama, Haedar menyebut tidak tercantumkannya frasa “Nilai Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Padahal nilai agama sangat fundamental. Ia termaktub dalam pasal 31 UUD 1945.

“Alhamdulillah kini sudah terakomodasi, tetapi apakah ke depan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Semoga tidak, karena agama sangatlah penting dan mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan dijamin keberadaannya oleh konstitusi Indonesia,” tulis Haedar dalam laman resmi Muhammadiyah.

Kedua, hilangnya atau tidak tercantumnya Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama yang juga Pahlawan Nasional. Serta Prof Kahar Muzakkir tokoh Muhammadiyah yang juga Pahlawan Nasional dalam buku resmi Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kemendikbud R.I. dua jilid.

Padahal, menurut Haedar, tokoh-tokoh Komunis Indonesia semuanya tercantum. Seperti Sneevliet, DN Aidit, dan lain-lain. Bahkan dalam jilid 2 halaman 179 ditulis, “Pada 30 September 1965 PKI diduga terlibat dalam gerakan kudeta.”

Jadi PKI hanya diduga terlibat, bukan terbukti terlibat kudeta 1965. Buku tersebut sampai akhir April 2021 masih beredar utuh Jilid 1 dan Jilid 2 yang dapat dibeli di toko online. Sudah resmi terpublikasi dan memperoleh pengantar dari Dirjen Kebudayaan Kemdikbud R.I.

Namun, Kemendikbud dalam rilisnya menyebut bahwa buku tersebut ilegal dan masih berupa draft. “Mudah-mudahan benar-benar ditarik dan dinyatakan salah atau keliru,” tulis Haedar.

Baca Juga  Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U20, Indonesia Bisa Apa?

Ketiga, hal yang disoroti oleh Guru Besar UMY tersebut adalah kecenderungan pendidikan yang liberal dengan konsep Merdeka Belajar. Menurutnya, Indonesia pasca reformasi memang cenderung liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya. Namun, pendidikan tidak hanya menanamkan nilai instrumental, karena manusia bukanlah robot yang dapat dicetak di pabrik.

“Manusia adalah insan yang utuh, yang menurut Ki Hajar Dewantara yang kelahirannya diperingati hari ini, sebagai pendidikan akal-budi. Apalagi manusia Indonesia yang memiliki tiga dasar nilai hidup di negeri ini yaitu Agama, Pancasila, dan Kebudayaan Indonesia. Bukan insan maju ala Barat yang sekuler dan liberal. Bukan pula manusia sosialis ala Marxisme-Komunisme yang hidupnya untuk perjuangan kelas,” tegas Haedar.

Menurutnya, kebijakan pendidikan Indonesia sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus memiliki fondasi pada konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003. Termasuk di dalamnya Peta Jalan. Visi pendidikan Indonesia tidak cukup hanya bersifat pragmatis untuk mendidik generasi bangsa yang berkeahlian tinggi dan mampu beradaptasi dengan dunia kerja (link and match) semata seperti robot buatan pabrik.

Ia juga menyebut bahwa pendidikan Indonesia harus merupakan usaha menyeluruh dan terpadu antara aspek kognitif dan psikomotorik dengan afeksi dan akal budi secara keseluruhan. Intinya manusia yang utuh lahir dan batin dalam seluruh dimensinya. Bukan manusia Indonesia satu dimensi.

Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan umum pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan UUD 1945 menurut Prof Taufik Abdullah bukanlah semata cerdas kognisinya. Tetapi kehidupan manusia Indonesia secara keseluruhan.

Dalam pandangan Kyai Ahmad Dahlan, imbuh Haedar, pendidikan terkait dengan iman, amal, akal suci, dan kemajuan. Pendidikan Indonesia harus pendidikan konstitusional, artinya harus berdasarkan pada pasal 31 UUD 1945 yang menjadi pangkal utamanya.

Baca Juga  Presiden Jokowi: Saya Merasakan Manfaat Muhammadiyah Secara Langsung

“Karenanya memasukkan aspek keimanan dan ketaqwaan, nilai agama, dan akhlak mulia dalam Peta Jalan Pendidikan maupun pemikiran dan kebijakan pendidikan nasional kapanpun dan di era pemerintahan manapun bukanlah aspirasi umat beragama. Tetapi melekat dengan konstitusi dan perundang-undangan, yang bersifat fundamental dan imperatif,” imbuh pria kelahiran Bandung, 25 Februari 1958 tersebut.

Haedar menyebut bahwa Pemerintah, DPR, dan Kemendikbud atau institusi negara apapun akan salah jika menjauhkan nilai-nilai Ketuhanan dan keagamaan sebagaimana menjadi perintah konstitusi tersebut. Pemikiran pragmatis dan sekuler yang alergi dan menolak memasukkan kata iman dan taqwa serta nilai agama dalam dunia dan sistem kebijakan pendidikan nasional justru bertentangan dan melawan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila.

Pendidikan Indonesia semestinya bervisi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia”.

Karenanya, menurut Haedar semua pihak dan orang yang mengurus pendidikan Indonesia harus benar-benar seratus persen paham, menghayati, berkeilmuan luas, berkeahlian, berintegritas moral tinggi, dan berjiwa keindonesiaan sejati yang menguasai sepenuhnya hakikat pendidikan nasional Indonesia berbasis konstitusi UUD 1945, Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Indonesia agar tidak tercerabut, tidak salah misi, dan tidak salah tujuan.

“Pertaruhannya sangat besar bagi masa depan generasi bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para mujahid dan pendiri negeri tercinta ini,” tutupnya.

Reporter: Yusuf

Avatar
1343 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *