Perspektif

COVID-19 Sukses Bungkam Sifat Arogan Manusia

3 Mins read

Wabah COVID-19

Sudah lebih dari dua tahun pendemi COVID-19 ini membatasi ruang gerak aktivitas masyarakat dunia dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan tren penularan, apalagi dalam konteks India yang sedang berjuang melawan mutasi virus yang lebih mematikan.

Wabah ini seolah membuktikan runtuhnya arogansi manusia di hadapan Yang Maha Kuasa. Makhluk Tuhan yang sangat kecil dengan ukuran hanya 0.125 micrometer bahkan jauh lebih kecil daripada sel darah merah dan bakteri (Zhu et al., 2020) ini ternyata mampu membuat panik seluruh penduduk dunia.

Negara maju yang notabene memiliki stok ilmuan yang berkompeten dan teknologi modern pun dibuat pusing dengan upaya mengakhiri mata rantai virus ini. Tidak ada lagi label negara super power berkaitan dengan COVID-19.

Segala upaya rekayasa teknologi telah dilakukan oleh para peneliti hebat salah satunya dalam bentuk vaksin. Jamak diketahui bahwa vaksin ini dikembangkan sebagai satu usaha dari sekian variabel yang dianggap mampu menekan laju penyebaran virus secara signifikan.

Namun dalam kenyataannya, ikhtiar ini masih terus dievaluasi terkait dengan dampak, efektifitas dan efikasinya. Di samping itu, secara pararel para pemimpin negeri juga telah aktif mencanangkan narasi protokol kesehatan dan penerapannya dengan beragam cara.

Namun dalam praktiknya, mereka kuwalahan dengan benturan ekonomi dan segala bentuk ketidakpatuhan masyarakat.  Dengan kata lain, peristiwa besar ini seakan menjadi sinyal betapa manusia itu makhluk yang memiliki keterbatasan.     

Sifat Arogan Manusia dan Riset Terkait

Semua agama sepakat bahwa arogansi merupakan perilaku negatif yang bisa membahayakan diri dan orang-orang di sekitarnya. Perilaku warisan iblis ini (QS. Al Baqoroh:34) telah didefinisikan oleh Rasulullah SAW pada 14 abad yang lalu sebagai sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.

Baca Juga  Fatwa MUI, Antara Kalender Islam Lokal dan Global

Terminologi ini mengindikasikan bahwa segala macam praktik penindasan, superioritas, dan kepongahan merupakan buah dari arogansi. Sebaliknya, seorang muslim hendaknya menerima setiap kebenaran dengan tulus dan utuh tanpa menyelisihi baik secara verbal maupun tindakan (QS. Al Ahzab:36).

Kebesaran hati seseorang dalam menerima kebenaran merupakan cermin manusia dewasa. Di samping itu, setiap muslim juga tidak diperkenankan menganggap rendah orang lain sedikitpun (QS. Luqman:18). Setidaknya, ada dua alasan kenapa kita tidak boleh meremehkan orang lain yaitu boleh jadi orang yang direndahkan itu di masa depan justru keadaannya lebih baik atau boleh jadi mereka juga memiliki kelebihan lain yang tidak kita miliki.

Tiga Tingkat Arogan

Secara umum, menurut Cowan et al. (2019), arogan memiliki tiga tingkatan sifat arogan manusia mulai dari yang terendah yaitu individual arrogance, competitive arrogance, dan antagonistic arrogance.

Tingkatan pertama cukup mengganggu tapi tidak berbahaya sedangkan tingkatan kedua yaitu tipe orang yang berlebihan dalam menilai kemampuannya dibanding orang lain dan mengabaikan pendapat orang lain.

Adapun tingkatan ketiga merupakan fase paling serius yaitu tipe orang yang menikmati setiap cemoohan orang terkait dengan asumsi superioritasnya bahkan bersikap konfrontatif terhadap mereka.

Kemudian, ada sebuah riset lain yang mendukung fakta bahwa arogansi merupakan refleksi dari sikap merendahkan orang lain. Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul Evidence for arrogance: On the relative importance of expertise, outcome, and manner yang diterbitkan oleh PLoS ONE disebutkan bahwa penelitian ini bertujuan mencari sebab kenapa seseorang meremehkan orang lain (Milyavsky et al., 2017).

Para peneliti menyimpulkan bahwa keahlian seseorang bisa berpotensi membuat dirinya bertindak arogan terhadap orang lain.   

Baca Juga  Jihadis yang Gagal Paham terhadap Nash Jihad

Sifat Arogan dan Kehancuran Manusia

Tidak dapat dipungkiri bahwa iblis konsisten dan tangguh dalam melakukan semua tipu dayanya untuk menjerumuskan manusia agar bersikap arogan. Sebagaimana sikap ini merupakan modus kemaksiatan pertama yang pernah dilakukannya.

Firaun dan Qorun adalah dua tokoh besar Mesir yang menjadi pewaris sikap iblis tersebut. Potret arogansi kekuasan ditampilkan secara jelas oleh Firaun sesuai dengan segala kewenangan yang dimilikinya.

Bahkan, puncaknya sampai ia tidak ragu lagi untuk mengakui dirinya sebagai Tuhan. Tidak berhenti sampai disitu, Fir’aun juga memerintahkan prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir demi melanggengkan arogansi kekuasaannya.

Qorun yang notabene merupakan sepupu Nabi Musa AS juga telah mempertontonkan arogansi keilmuan dengan mengklaim bahwa semua harta benda yang dimilikinya merupakan manifestasi dari ilmu yang dikuasainya (QS. Al-Qashash:78).

Padahal pada mulanya, Qorun hanyalah orang miskin yang meminta didoakan oleh sepupunya dan dengan izin Allah SWT, Ia pun mendapatkan kesejahteraan yang diharapkannya.

Kedua tokoh arogan ini kemudian harus memetik kehancuran dari sikap mereka sendiri dalam bentuk yang berbeda. Allah SWT dengan kuasaNya menenggelamkan Firaun beserta bala tentaranya di laut merah dan menghukum Qorun dalam bentuk gempa bumi dahsyat sedemikian sehingga Ia tenggelam beserta harta benda yang dicintainya.

Dua fakta tersebut barulah hukuman Allah SWT di dunia saja dan belum termasuk di akhirat. Berkaitan dengan hal tersebut Rasulullah SAW pernah meninggalkan pesan penting bahwa arogansi sekecil apapun bisa membuat pelakunya di akhirat kelak tidak masuk surga.

Jumhur ulama menyepakati yang dimaksud dalam hadis tersebut yaitu hamba Allah itu tidak diharamkan masuk surga (berbeda dengan dosa syirik), namun akan dibersihkan terlebih dahulu dari dosanya di neraka.   

Baca Juga  Karyawan Perusahaan Kelapa Sawit Tetap Bekerja di Tengah Pandemi

Arogan adalah Prilaku Iblis!

Dengan demikian, cukuplah arogan menjadi perilaku abadi iblis dan cukuplah manusia menyadari akan keterbatasan dan dampak buruk di balik sikap arogan bagi dirinya maupun orang lain baik di dunia maupun di akhirat.

Lebih daripada itu, cukuplah Allah SWT sebagai satu-satunya Zat Yang Maha Arogan (Al Mutakabbir) dan perlu direnungkan juga bahwa di atas pribadi yang berilmu, sehebat dan secerdas apapun, masih ada Yang Maha Berilmu (QS. Yusuf:76).

Mudah-mudahan pendemi COVID-19 dengan segala dampak perubahan tatanan kehidupan ini segera berakhir. Seiring dengan kepedulian masyarakat terhadap protokol kesehatan dan bisa memberikan kita banyak pelajaran utamanya tentang kerendahhatian manusia dalam mengakui keterbatasannya.

Editor: Yahya FR

Noor Saif Muhammad Mussafi
3 posts

About author
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds