Falsafah

Keadilan dan Kehendak Tuhan Menurut Ibrahim an-Nazzam

3 Mins read

Biografi Ibrahim an-Nazzam

Seorang tokoh aliran Mu’tazilah yaitu An-Nazzam yang bernama lengkap Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani’ an-Nazzam. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid tahun 185 H di kota Basrah. Pada masa remajanya beliau terkenal sebagai seorang yang cerdas dan pandai.

Beliau telah banyak mempelajari filsafat terutama filsafat ketuhanan dan filsafat alam. Ayahnya telah memberi mandat padanya agar menjadi cendikiawan yang termasyur dan menjadi kebanggan di masa tersebut.

Bahkan, Ibn al-Murtada berpendapat bahwa an-Nazzam layak disebut sebagai seorang yang berpengaruh setelah Abu Huzail. Dan tepatnya pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim pada tahun 221 H pada usia 34 tahun an-Nazzam wafat (Tsuroya Kiswati, 2013).

Keadilan Tuhan Menurut Ibrahim an-Nazzam

Terdapat pendapat dari an-Nazzam mengenai keadilan Tuhan. Beliau berpendapat bahwa Tuhan Maha Adil dan tidak mungkin Tuhan mempunyai kuasa untuk berbuat zalim.

Bahkan, pendapat beliau dinilai lebih dari pendapat Abu Huzail. Abu Huzail berargumentasi bahwa bagi Tuhan sangat tidak mungkin untuk berbuat kezaliman pada hambanya.

Dan An-Nazzam telah mempertegas mengenai hal tersebut, bahwa Tuhan berbuat zalim itu ialah mustahil, sebab Tuhan tidak akan mampu berbuat zalim pada seorang hamba.

Beliau berpendapat bahwa hanya orang yang bodoh serta tidak sempurnalah yang berbuat kezaliman, tetapi Tuhan tidaklah seperti itu. Tuhan ialah suatu zat yang sempurna.

Beliau mempunyai pendapat bahwa letak dari kemukjizatan Al-Qur’an ialah terdapat di dalam kandungannya, dan tidak terletak pada balaghah atau retorikanya dan uslub atau gaya bahasa.

Kalam Allah Menurut Ibrahim an-Nazzam

Dan selanjutnya, beliau memperjelas mengenai kalam Allah yakni segala sesuatu yang telah disusun dari huruf-huruf serta dapat kita dengar. Maka dari itulah, kalam ialah sesuatu yang sifatnya tidak qadim atau baru (Ratu Sutiah dan Maslani, 2010).

Baca Juga  98 Tahun Persis: Gairahkan Dakwah Ekologis

Kehendak atau iradah berkaitan dengan sebuah perbuatan dari Tuhan yang berarti menjadikan atau menciptakan. Maknanya, penyifatan Tuhan melalui kehendaknya agar terciptanya sesuatu, oleh sebab itulah Tuhan menciptakan atau menghendaki terciptanya sesuatu.

Dan kehendak Tuhan bermakna sebuah penciptaan itu sendiri, berbeda dengan kehendak dari manusia yang bermakna terdapatnya keinginan yang ada dalam jiwa agar melaksanakan atau mengarahkan jiwa pada apa yang diinginkan tersebut dan terdapat cenderungan agar dapat mewujudkannya.

Tuhan tidak memerlukan suatu proses agar keinginannya dapat terwujud. Akan tetapi, jika Tuhan menginginkan sesuatu, maka sesuatu tersebut langsung dapat terwujud sesuai dengan apa yang telah dikehendaki.

Kalau kehendak Tuhan memerlukan sebuah proses terlebih dahulu, akan menjadikan kekuasaan Tuhan tidak ada artinya. Suatu kekuasaan yang dimiliki oleh Tuhan tidak berasal dari sifat penjadian, akan tetapi berasal dari zat yang dimiliki Tuhan.

Segala sesuatu yang dikehendakinya pastilah akan terjadi, sedangkan kehendak dari manusia terkadang ada yang terjadi dan terkadang tidak terjadi. (Tsuroya Kiswati, 2013)

Menurut an-Nazzam kehendak Tuhan mempunyai perbedaan arti berhubungan erat dari hubungan yang ada kaitannya. Jika sebuah kehendak itu terhubung dengan terciptanya sesuatu dan berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan ini kehendak bermakna menjadikan.

Jika suatu kehendak berkaitan dengan perbuatan manusia, oleh sebab itulah kehendak bermakna perintah bagi manusia agar memperbuat. Dan jika kehendak berkaitan dengan sebuah yang belum terlaksana seperti hari kiamat, kehendak itu bermakna pemberitahuan atau penentuan (Tsuroya Kiswati, 2013).

Konsep tentang Dunia

Menurut beliau, Tuhan menciptakan dunia beserta isinya ialah bermanfaat bagi manusia. Maka timbul persoalan mengenai itu. Apa perbuatan yang baik akan didapatkan oleh manusia di dunia adalah suatu pahala untuk seorang hamba yang baik dan mungkinkah terdapat suatu kebaikan yang akan didapatkan di dunia serta buah dari kebaikan tersebut akankah didapatkan hasilnya oleh hamba yang beriman di alam akhirat?

Baca Juga  Apakah Prinsip Ekonomi Syariah Mampu Menjawab Resesi Ekonomi Saat Ini?

Beliau berpendapat bahwa pahala akan diterima seorang hamba di dalam akhirat. Namun, suatu perbuatan baik yang diperoleh orang mukmin pada masa ia di dunia itu ialah perwujudan rasa cinta Tuhan pada seorang hamba yang beriman.

Sebuah kebaikan akan diperoleh seorang hamba di dunia untuk menambah keimanan mereka pada Tuhan serta memberikan suatu cobaan agar mereka memiliki rasa syukur pada Tuhan.

Di dunia tidaklah tempat diberikannya pahala namun tempat diberikannya sebuah cobaan bagi seorang hamba. Oleh sebab itulah seorang hamba akan diberikan kemudahan dalam memperoleh rizki adalah bertujuan apakah seorang hamba dapat bersyukur atau tidak.

Dan kalau Tuhan memberikan kesulitan rizki pada hambanya, maka Tuhan telah menguji hambanya tersebut apakah ia mampu bersabar atau tidak. Dengan demikian, dunia ialah tempat diberikannya cobaan serta ujian. Namun, akhirat ialah tempat di mana hamba akan menerima balasan atau pahala atas perbuatan baiknya didunia (Tsuroya Kiswati, 2013).

Beliau memiliki sebuah pengikut yang dikenal sebagai Nazzamiyah. Mereka telah mendalami ilmu filsafat sehingga pemikiran mereka mempunyai banyak persamaan dengan ajaran Mu’tazilah yaitu pemikiran mengenai ketetapan baik atau buruk ialah berasal dari manusia itu sendiri.

Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki kuasa atas terciptanya kemaksiatan atau keburukan sebab hal tersebut tidak termasuk ketentuan Tuhan ( Muhibbin Zuhri, 2013).

Editor: Yahya FR

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds