Muhammed Abed al-Jabiri ialah seorang filsuf kontemporer yang tak hanya terkenal di tanah Arab saja. Berkat nalar kritisnya terhadap bangsanya sendiri, menjadikannya terkenal di kalangan filsafat. Tulisan-tulisan dan bukunya yang berjilid-jilid pun telah banyak dikonsumsi anak muda filsafat termasuk kalangan generasi muda Indonesia.
Proyek intelektualnya atas “Nalar Kritik Arab” mampu mengguncangkan jiwa semangat anak muda dalam membangun peradaban yang berkemajuan. Pada jilid pertama proyek itu disebutkan satu pertanyaan retoris yang sekaligus mengandung makna terdalamnya: Apakah mungkin membangun renaisans dengan akal yang tidak progresif?
Pertanyaan inilah yang menjadi kritik pedas atas kemandegan, kejumudan suatu peradaban yang pudar dari masa keemasannya. Boleh dikata, seolah-olah terlena dengan zona nyaman diatas singgahsananya masing-masing. Acuh atas segala persoalan yang melanda dari tingkat yang paling dasar mulai estetika, budaya, hingga epistemik. Sebab, sebagian besar telah diimpor oleh suatu peradaban Barat yang memikat hati nan memukau sepanjang mata memandang.
Muhammed Abed Al-Jabiri
By the way, sebelum lanjut ke kerangka berfikirnya, berikut sekilas tentang biografinya. Muhammed Abed al-Jabiri adalah seorang dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Ia dilahirkan di Figuig, Maroko Tenggara, pada 27 Desember, 1936 dan meninggal pada 3 Mei, 2010. Pada pendidikan pertamanya, al-Jabiri masuk di sekolah agama, setalah itu masuk ke Madrasah Hurrah Wathaniah (sekolah swasta nasional) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan (partai Istiqlal).
Kemudian pada tahun 1951-1953, al-Jabiri melanjutkan sekolah formal setingkat SMA milik pemerintahan Casablanca. Seiring dengan kemerdekaan Maroko, al-Jabiri melanjutkan pendidikan setingkat diploma di Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section). Menginjak usia ke-23, yakni Pada tahun 1959, al-Jabiri mulai berpetualang didunia filsafat di Universitas Damaskus, Syiria. Namun hanya berselang satu tahun saja ia belajar disana, entah apa persoalannya lantas pindah ke Universitas Rabat yang baru didirikan dengan jurusan yang sama.
Di Universitas ini pula, al-Jabiri menyelesaikan program sarjana dan doktoralnya. Tepat pada tahun 1967, ia menyelesaikan ujian negara dengan tesisnya yang berjudul “The Philosophy of Ibn Khaldun” (filsafat al-Tarikh inda Ibn Khaldun) dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi. Tiga tahun kemudian ia menyelesaikan program doktoralnya dengan Tokoh yang sama. Ujian disertasinya berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyag fi at-Tarikh al-Islam” (Pemikiran Ibnu Khaldun Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam) dibawah bimbingan Najib Baladi.
Tiga Nalar yang Perlu Dibongkar
Kerangka pemikiran al-Jabiri adalah untuk membangun peradaban yang relevan dengan zamannya. Ia tidaklah berupaya untuk menelurkan peradaban baru, akan tetapi ia lebih untuk mengkritisi tradisi epistemik yang kurang relevan dengan realitas (modernitas). Dengan ini menunjukkan sikap al-Jabiri yang secara tidak langsung menolak kelompok trasnformatif serta idealistik. Karena keduanya secara realitas tidak dapat menjawab era modernitas.
Sebagaimana Hasan Hanafi, apa yang diupayakan al-Jabiri tak lepas dari membaca ulang turats (tradisi) Arab-Islam dalam menghadapi modernitas. Dari sana, al-Jabiri menemukan nalar berpikir yang perlu dibongkar serta ditelisik bagaimana produksi pengetahuan Islam (Arab) masa lalu yang bekerja hingga ketingkat keberhasilannya. Menurutnya, ada tiga jenis nalar yang perlu dibongkar agar daya dobrak inovasi dan kemajuan terbangkitkan kembali.
Jenis nalar yang pertama, terkait penafsiran tekstual keagamaan yakni Al-Qur’an dan Hadits atau disebut bayani. Jenis nalar berikutnya berkaitan dengan ilmu ke-alam-an, empirik yang disebut dengan burhani. Dan jenis nalar ketiga adalah irfani, yakni nalar yang berkelindan dengan pengalaman batin mistis atau lebih terkait pada tradisi esoteris. Ketiga jenis nalar ini yang mendominasi kegiatan berpikir pasca renaisans al-Andalus (pasca Almohadisme).
Solusinya adalah dibutuhakannya mentalitas seorang Ibnu Rusyd yang dianggap setara dengan Descartes dalam panggung dunia kefilsafatan. Melalui mental Ibnu Rusyd yang dianggap juga membawa pengaruh besar terhadap peradaban Barat pun juga dianggap memberikan ‘patahan sejarah’ yang terputus dari Ibnu Sina; lantaran tak cukup radikal dalam mengembangkan peradaban pada masanya.
Strategi Kerangka Berpikir
Dalam kerangka berpikirnya, al-Jabiri menggunakan dua strategi. Pertama, Ia membaca masa lalu sebagaimana Ibnu Rusyd membaca warisan Yunani kuno. Kedua, menggunakan ‘spirit Ibnu Rusyd’ dengan menempatkan ruang dan waktu pada masa kini. hanya saja, metode dekontruksi al-Jabiri dalam mengawinkan kedua tradisi (Barat dan Timur) berbeda dengan tokoh lainnya seperti Arkoun. Al-Jabiri menggunakan istilah ‘Kritik Nalar Arab’ dengan mengikuti tradisi Kantian dan daya sentuh Faucauldian.
Pada akhirnya, tujuan al-Jabiri dalam nalar kritiknya adalah bertujuan untuk menggugah semangat dengan menggunakan tiga jenis nalar dalam mencari sumber ilmu pengetahuan (epistemologi). Andai kata dialog antar ketiganya tidak lagi dilakukan, maka apa yang disinyalir oleh Arkoun tentang adanya gejala pensakralan pemikiran keagamaan (taqis al-afkar al-dinniyah) akan menjadi momok intelektual. Dan oleh karenanya pula, maka akan semakin jauh dari kata pluralisme yang disemai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Wallahu a’lam bishawab.
Editor: Nabhan