Perspektif

Konflik Palestina-Israel: Potensi Polarisasi Pemilu 2024

3 Mins read

Konflik Palestina-Israel Berpotensi Menimbulkan Polarisasi

Konflik Palestina-Israel yang terjadi pada awal Mei kemarin memang masih menyisakan duka mendalam. Tidak sedikit korban jiwa dan harta benda, khususnya di pihak Palestina. Yang nantinya, akan tercatat sebagai salah satu noda sejarah yang menyedihkan. Gencatan senjata yang diserukan antara kedua belah pihak tersebut pun sedikit banyak memberikan kelegaan.

Sayangnya, ekses negatif dari konflik tersebut masih sangat terasa bahkan untuk publik di Tanah Air. Ekses yang dimaksud memang bukan dalam bentuk korban jiwa maupun harta benda.

Namun, dalam pandangan subyektif saya, jauh lebih krusial dan bisa saja lebih berbahaya. Ekses yang dimaksud adalah kembali meruncingnya polarisasi masyarakat Indonesia khususnya di jagat maya.

Perang Opini dalam Konflik Palestina-Israel

Ketika Gaza tengah dibombardir oleh Israel, lini masa media sosial saya juga tengah ramai “perang opini” antara pendukung Palestina-Israel. Pihak yang mendukung Palestina ramai mengecam agresi Israel yang dinilai sebagai bentuk penjajahan dan tak berperikemanusiaan. Bahkan tidak sedikit juga yang mengecam aksi Israel karena didasari solidaritas keagamaan.

Di sisi lain, pihak yang mendukung Israel pun tidak sedikit yang menjustifikasi aksi Israel sebagai bentuk pertahanan diri. Bahkan ada juga yang balik menyalahkan Palestina, dalam hal ini Hamas, sebagai biang keladi lahirnya konflik berdarah selama 11 hari tersebut.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan “perang opini” tadi. Toh, Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat selama tidak mengganggu hak-hak orang lain.

Sayangnya, tren “perang opini” dalam isu Palestina-Israel mulai mengarah pada polarisasi yang cukup ekstrem sebagaimana yang seringkali terjadi jelang Pemilu. Déjà vu terbelahnya warganet menjadi “cebong-kampret” pun seolah-olah kembali terjadi.

Baca Juga  Benarkah Konflik di Palestina Akibat Ulah Ya’juj dan Ma’juj?

Tidak sedikit adu argumen antara masing-masing pihak yang mendukung Palestina maupun Israel, dinodai oleh stigma dan stereotip negatif yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali.

Pelabelan-Pelabelan yang Marak Terjadi dalam Konflik Palestina-Israel

Misalkan saja, para pendukung Palestina seringkali dicap sebagai “kadrun”, “pendukung Hamas”(padahal banyak yang mendukung Palestina karena fokus pada nasib warga sipil tanpa mempedulikan kekuatan politik yang bermain di sana), atau bahkan yang paling ekstrem dicap sebagai “pendukung teroris”.

Narasi-narasi demikian pun tidak dipungkiri seringkali berupaya menghubung-hubungkan antara dukungan kepada Palestina dengan radikalisme. Tentu saja ngga nyambung.

Di sisi lain, para pendukung Israel pun seringkali mendapat cap yang tidak kalah menggelikan. Sebut saja “Zionis Sawo Matang”, “Yahudi Pesek”, hingga “BuzzerRp”. Dengan kata lain, “perang opini” dalam isu Palestina-Israel sangat besar kemungkinannya untuk mengarah pada “perang identitas”. Polarisasi masyarakat yang ekstrem pun bukan tidak mungkin dapat kembali terjadi.

Polarisasi yang Masih Saja Terjadi

Mungkin banyak pihak yang sepakat bahwa polarisasi masyarakat, khususnya warganet, yang sempat terjadi pada Pemilu 2019 silam cukup mengkhawatirkan. Persatuan dan kesatuan bangsa perlu kembali dirajut sebagai syarat mutlak bagi Indonesia untuk melewati berbagai tantangan berbangsa dan bernegara, termasuk pagebluk Covid-19 yang masih menghantui hingga saat ini.

Mungkin atas dasar niat baik tersebut juga, Presiden Jokowi mengajak mantan rivalnya dalam Pemilu 2019 untuk ikut bergabung dalam kabinet. Harapannya, masyarakat yang sempat terpolarisasi dapat kembali bersatu sekaligus mengesampingkan perbedaan pandangan politik yang sempat meruncing.

Sayangnya, niat baik tersebut sepertinya belum berbuah manis. Polarisasi masyarakat sepertinya masih rawan untuk kembali terulang. Bisa dibuktikan dengan cenderung terbelahnya masyarakat secara ekstrem dalam menyikapi isu Palestina-Israel.

Baca Juga  Alasan Napi Koruptor Tak Pantas Mendapatkan Asimilasi Corona

Apabila untuk membela “saudara jauh” saja sebagian warganet tega untuk memberikan stigma negatif tertentu kepada saudara sebangsanya sendiri, maka sangat dimungkinkan fenomena serupa akan kembali terulang dalam Pemilu 2024 mendatang. Polarisasi pun tak terhindarkan. Pertanyaannya, apakah kita tidak lelah terus-terusan menghadapi fenomena demikian?

Polarisasi Harus Disikapi Secara Serius

Kerawanan kembali munculnya polarisasi masyarakat secara ekstrem perlu disikapi secara serius oleh elit bangsa ini. Kalau perlu, “diredam” sedini mungkin. Bagaimanapun, polarisasi yang muncul dengan saling mendiskreditkan identitas satu sama lain jelas akan berdampak destruktif bagi kepentingan tumbuh kembang bangsa ini.

Bagaimana mungkin kita ingin turut melaksanakan ketertiban dunia, apabila di dalam negeri sesama anak bangsa selalu ribut satu sama lain?

Sebenarnya pemerintah memiliki banyak sekali cara yang berpotensi dimanfaatkan untuk meminimalisir timbulnya polarisasi khususnya di jagat maya.

Misalnya saja Program Literasi Digital Nasional yang baru-baru saja diluncurkan. Andaikan dilaksanakan dengan optimal, saya pribadi optimis program tersebut dapat membantu meminimalisir munculnya polarisasi yang disebabkan kurang etis dan berbudayanya warganet dalam memanfaatkan dunia digital.

Editor: Yahya FR

Jauhari
2 posts

About author
Jurnalis di Wali-News.com
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds