Maraknya Kasus Perceraian
Kasus perceraian yang menimpa pasangan suami-istri di Indonesia telah mencapai tingkatan yang sungguh memprihantinkan. Penyebabnya beragam, mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tidak mendapatkan kepuasan dalam aspek pemenuhan kebutuhan (ekonomi), kondisi emosional dan psikis yang labil, ditambah dengan dampak negatif dengan hadirnya media sosial yang menjadi dunia baru (ilusi) bagi pasangan yang sedang berkonflik untuk menuangkan masalah pribadi (keluarga) yang tidak dapat terpecahkan di dunia nyata. Sampai kurangnya pemahaman makna hakiki sebuah pernikahan dari segi Keagamaan.
Dalam laporan yang dikelurkan oleh Badan Pusat Satistik (BPS) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada tahun 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 % dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2021).
Data tersebut diyakini akan terus megalami peningkatan, apabila tidak segera diselesaikan dari akar rumput. Ditambah dengan belum berakhirnya pandemi Covid-19 yang melanda dan mempersulit keadaan.
Prinsip Perkawinan dalam Islam
Dalam Islam, seorang laki-laki mencintai seorang wanita, dan juga sebaliknya adalah sebuah fitrah atau sunnatullah, namun harus disalurkan dan diwujudkan melalui pernikahan (perkawinan).
Bahkan, Islam melarang menempuh hidup tabattul (hidup membujang) atau rahbaniyyah (hidup kependetaan). Dengan tujuan terjaminnya keturunan yang baik dan terwujudnya keluarga yang harmonis. Islam tidak membiarkan urusan perkawinan begitu saja. Bahkan Islam meletakkkan dasar dan prinsip tertentu yang menjamin terbentuknya keluarga yang sakinah dan keturunan yang baik.
Di antara prinsip yang diajarkan Nabi SAW terkait urusan ini adalah prinsip atau kriteria dalam memilih calon pasangan hidup. Pada hadis sebuah hadis, Nabi SAW mengajarkan tentang kriteria yang menjadi pertimbangan pokok manusia dalam memilih calon pasangannya, yaitu harta, keturunan, kecantikan, dan agama.
Sabda Nabi SAW: Nikahilah perempuan karena empat faktor: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang utama karena agamanya, karena ia akan mengikat tanganmu. (H.R Nasa`i, Juz VI, h. 68)
Tidak diragukan bahwa banyak faktor (alasan) yang menjadi pertimbangan seseorang dalam memilih calon pasangan hidupnya. Dari banyak faktor yang ada, secara realitas tampaknya, harta, keturunan, dan kecantikan/ketampanan merupakan yang paling dominan.
Karena itu dalam hadis Nabi SAW tersebut, faktor agama disebut urutan yang terakhir. Namun demikian, Nabi SAW memberi penekanan bahwa utamakanlah (prioritaskanlah) agama yang harus lebih dipentingkan.
Perhatikan ini Sebelum Menentukan Pasangan Hidup
Karena bagaimanapun, harta dan kecantikan bersifat nisbi, tidak bisa memberikan rasa cinta dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Lebih lanjut, Islam sebagaimana tersimpul dalam beberapa hadis Nabi SAW memberi pelajaran sebagai berikut:
Pertama, Melihat Calon Pasangan Hidup
Islam tidak menyukai spekulasi dalam segala hal. Islam tidak membolehkan jika seseorang melakukan akad transaksi atas sesuatu yang tidak dilihat. Atau sesuatu yang tidak mungkin diperkirakan kadarnya, atas sesuatu yang tidak mungkin didapat, seperti ikan dalam air dan burung di udara, atas sesuatu yang tidak ada wujudnya yang nyata seperti buah yang belum sempurna masaknya.
Demikian pula dalam hal perkawinan. Ini bukti Islam sangat menghormati kecenderungan hati dan keinginan pribadi seseorang. Karena itu sejalan dengan fitrah yang diletakkkan oleh Allah dalam diri manusia. Yang saling mengenal akan bisa rukun, sedang yang tidak saling mengenal akan bisa berselisih.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa Mughirah bin Syu’bah hendak melamar seorang wanita, lalu Nabi SAW bersabda: “Lihatlah dia, karena hal itu akan lebih membuat kamu serasi.”
Melihat calon pasangan hidup bukan hanya hak sang pelamar. Tapi juga hak wanita yang dilamar. Tapi harus diingat, bahwa yang diperintahkan dan dibolehkan adalah melihat bukan berduaan tanpa mahram.
Seperti yang dikenal dalam berbagai masyarakat modern sekarang dengan cara pergi berduaan yang dibenci oleh fitrah dan jiwa yang suci. Terlebih lagi oleh kaidah-kaidah agama.
Adapun batas boleh melihat menurut ketentuan fikihnya, para ulama berbeda pendapat. Namun jumhur ulama menyatakan batas kebolehan melihat itu adalah wajah, tangan, leher, dan kaki.
Ringkasnya, kebolehan melihat ini karena kebanyakan manusia memilih calon pasa-ngan hidupnya adalah salah faktor dominan kecantikan, ketampanan (fisik).
Kedua, Memudahkan dalam Mahar
Harta merupakan salah satu perhiasan dunia yang manusia cenderung kepadanya. Karena itulah harta, disebut dalam hadis, menjadi penilaian memilih calon pasangan hidup. Karena bagaimanapun, harta merupakan salah satu sarana (wasilah) pendukung yang tidak dapat diabaikan untuk menciptakan keluarga yang rukun dan damai.
Namun demikian Islam mengajarkan, jumlah harta tidak dijadikan syarat utama, atau harta tidak boleh mempersulit orang yang akan melakukan pelamaran atau peminangan calon istrinya. Sedapat mungkin mahar diringankan sesuai kemampuan si pelamar.
Dalam sirah Nabawiyah tersebut bahwa Rasulullah SAW menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib hanya dengan mahar yang jumlahnya empat ratus tujuh puluh dirham. Demikian pula beliau pernah menikahkan sahabatnya dengan mahar hapalan al-Qur`an.
Ketiga, Memperhatikan Asal Usul dan Lingkungan Keluarga Pasangan Hidup
Memiliki keturunan merupakan fitrah yang diinginkan oleh setiap orang. Secara genetik, keturunan yang baik akan melahirkan generasi keturunan yang baik. Atas dasar inilah, Nabi SAW dalam hadisnya menyebut agar memilih calon pasangannya dengan memperhatikan keturunan (nasab)nya.
Termasuk dalam prinsip ini adalah, sebaiknya tidak menikah dengan calon pasangan yang mempunyai hubungan kekera-batan yang dekat. Tapi usahakan dengan calon pasangan yang jauh hubungannya atau tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Sebagaimana Rasulullah memperingatkan dalam hadisnya: ”Menikahlah dengan wanita yang jauh kekerabatannya agar kamu tidak lemah”. Hal ini penting karena, secara genetis, semakin dekat hubungan kekerabatan antar suami dan istri, akan menimbulkan semacam penimbunan sifat-sifat yang tidak dikehendaki pada keturunan, seperti kekerdilan, idiot, dan penyakit lainnya.
Keempat, Memperhatikan Sifat dan Ibadahnya
Seseorang bermaksud menikah harus menyadari bahwa hubungan pernikahan tidak hanya pada sebatas penghalalan pemenuhan kebutuhan seksual belaka. Pernikahan memiliki tujuan lebih tinggi dan mulia. Karena, ia juga mencakup tujuan pemenuhan kebutuhan rohani, berupa tumbuhnya rasa cinta, keamanan dan kedamaian.
Semua itu, tidak terpenuhi kecuali dalam jiwa orang yang memiliki agama yang kuat, beriman kepada Allah dan percaya pada janji-Nya yang berusaha sekuat tenaga untuk mencapai ridha-Nya.
Karena itulah diujung sabdanya memberi penegasan dan penekanan dengan kalimat ”fazhfar bi dzati al-din” (utamakanlah pilihan yang memiliki agama). Karena, dengan agamalah kedamaian, kerukunan, dan kebahagian yang hakiki akan dirasakan.
Cukup banyak dalil (Nash) lainnya yang memperkuat sabda Nabi SAW yang memberi penekanan pada ”fazhfar bi dzati al-din”. Dalil Al-Qur`an misalnya: Q.S al-Nisa`/4:25 dan Q.S al-Baqarah/2: 221.
Dari hadis yang lain, Nabi SAW bersabda: Janganlah menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa jadi kecantikannya itu membuatnya lupa diri. Janganlah menikahi wanita karena hartnya, karena bisa jadi hartanya itu membuatnya sombong. Akan tetapi, nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh budak wanita yang hitam tapi beragama adalah lebih baik. (HR. Ibn Majah, Juz I, h. 583-584.)
Kriteria atau prinsip ini tidak hanya terbatas pada wanita yang dilamar, tapi juga pada laki-laki yang melamar. Bahkan ia harus lebih memiliki kriteria ini. Karena ia yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, menjadi teladan yang ihsan (baik) bagi istri dan anak-anaknya. Wallahu a’lam bishawab.
Editor: Yahya FR