Fikih

Bisakah Seorang Pria Menikahi Dua Perempuan Sekaligus?

4 Mins read

Berita di salah satu teve swasta itu memaksa saya membuka lagi buku terkait hukum perkawinan Islam di Indonesia. Apa saya yang salah ingat bagaimana prosedur berpoligami yang benar? Apakah mungkin seorang pria menikahi dua mempelai wanita sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Ataukah mempelai di video itu yang tidak berpedoman pada hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia?

Berita Pria Menikahi Dua Perempuan Sekaligus dan Hukum Berpoligami Islam

Berita itu juga bisa dilihat di portal berita online. Tampak jelas di video berita berdurasi dua menit empat detik itu, seorang pria menggandeng dua perempuan yang berdandan dan bergaun pengantin. Pria tersebut lantas melaksanakan ijab kabul dua kali secara bergantian untuk dua gadis yang digandeng tadi, dalam waktu bersamaan. Peristiwa sakral ini terjadi Lombok Barat, NTT.

Memang hukum Islam membolehkan seorang pria untuk berpoligami, menikahi perempuan dua, tiga, hingga empat. Hukum Islam yang klasik maupun kontemporer senada tentang itu. Keterangan di beberapa kitab fiqh klasik dengan jelas membolehkannya.

Sementara dalam hukum Islam kontemporer, terdapat dua kubu ihwal poligami. Satu kubu membolehkan dengan persyaratan yang ketat. Kubu lainnya memandang poligami dilarang karena ada satu syarat yang sulit tercapai, yaitu adil yang seadil-adilnya.

Saya utarakan pendapat atau aturan yang membolehkan poligami dengan prosedur ketat. Biar bisa dipakai untuk memberi pandangan atas poligami dalam berita di atas. Kompilasi Hukum Islam (KHI) misalnya, menyebutkan dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang pria bisa berpoligami: adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (pasal 58).

Persyaratan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Agama (PA). Padahal PA baru akan mengabulkan permohonan beristri lebih dari satu ketika istri minimal berada dalam salah satu dari tiga kondisi; tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, atau mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan (KHI pasal 57).

Baca Juga  Nalar Poligami yang Ternoda

Persyaratan Berpoligami Menurut Undang-Undang

Ketentuan persyaratan poligami di atas juga termaktub di Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Pasal 4 dan 5 UU ini memiliki redaksi yang sama persis dengan persyaratan di KHI. Pertanyaan saya, bagaimana pria di Lombok Barat itu mengetahui kondisi kedua mempelai wanita sekaligus? Memastikan bahwa salah satunya, misalnya, mungkin tidak dapat melahirkan keturunan. Atau jangan-jangan memang mempelai pria itu sudah tahu luar dalam kondisi kedua mempelai wanita? Sepertinya tidak lah.

Anggap saja salah satu dari dua perempuan itu memang sejak awal diketahui bahwa dirinya mandul. Entah karena pengakuan atau melalui prosedur medis yang tersedia. Sehingga bisa dijadikan pembenar bagi pria untuk menikahi dua perempuan, yang salah satunya memenuhi kriteria untuk dimadu.

Persoalan belum selesai. Untuk mau dimadu, si istri harus memberikan persetujuan. Tidak cukup hanya secara lisan di rumah dan face to face antara kedua pasangan, persetujuan itu harus mendapatkan legalitas dari PA. Sebagaimana tertuang di UU Perkawinan dan KHI, pengadilan bisa memberi izin bagi suami untuk berpoligami jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Nah, untuk mengabulkan permohonan izin poligami bagi suami, PA butuh waktu. Tidak cukup sehari atau dua hari lho. Menurut informasi kawan advokat yang biasa mendampingi klien mengajukan izin poligami, butuh waktu paling tidak sebulan untuk mendapatkan putusan izin poligami dari pengadilan. Dari proses pengajuan, penjadwalan, pemeriksaan oleh hakim, hingga akhirnya hakim memberikan putusan berupa izin poligami.

Perjuangan untuk berpoligami belum selesai disini. Mempelai pria harus mengurus kembali persyaratan dan prosedur perkawinan dalam rangka poligami di Kantor Urusan Agama (KUA). Izin poligami dari pengadilan tadi merupakan senjata utama agar KUA mau mencatat perkawinan kedua dalam rangka poligami. Dalam prosedur normal, KUA membutuhkan waktu minimal dua minggu untuk menjadwalkan pernikahannya. Sampai disini, bisa dipahami kalau untuk poligami butuh waktu paling tidak satu setengah bulan. Tidak bisa bim salabim, seketika langsung dapat dua istri.

Baca Juga  Poligami Bukan Solusi Mencegah HIV/AIDS!

Tidak Ada KUA, Menikah Siri?

Lalu kenapa pria di Lombok Barat itu bisa menikahi dua perempuan sekaligus? Saya menduga, perkawinan itu dilakukannya secara siri. Perkawinan yang memang memenuhi semua rukun perkawinan, mempelai pria dan wanita, wali mempelai perempuan, dua orang saksi, dan ijab kabul. Hanya saja, perkawinan itu tidak dicatatkan di KUA.

Dugaan saya berangkat dari ketiadaan petugas KUA di video berita itu. Memang disitu tampak jelas mempelai pria, dua orang mempelai perempuan, orang tua atau wali mempelai perempuan, dan tokoh agama. Beberapa kali melihat video tersebut, saya tidak menemukan petugas KUA disana.

Menurut kajian Syarifudin dalam Jurnal Mahkamah vol. 9 no. 1 tahun 2015, nikah siri merupakan fenomena yang masih berlangsung di Indonesia. Yang melakukannya tidak hanya masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Bahkan kalangan elit berpendidikan tinggi juga turut menjalankan nikah siri. Di antara alasan yang diajukan adalah untuk mencegah pergaulan bebas antara pasangan yang berlawan jenis.

Masih menurut Syarifudin lagi, ada dua bentuk nikah siri yang dipraktikkan di masyarakat. Satunya berupa perkawinan dengan semua rukun syarat terpenuhi namun tidak dicatatkan di KUA. Yang satu lagi, perkawinan tanpa wali dari mempelai perempuan. Karena wali tidak menyetujui perkawinan tersebut. Pastinya juga, yang seperti ini tidak dimintakan pengesahan ke KUA.

Jika perkawinan di Lombok Barat itu merupakan nikah siri, ya sangat mungkin sekali untuk langsung menikahi dua perempuan sekaligus. Sebab untuk menikah dua kali berturut-turut, nikah siri tidak membutuhkan persyaratan-persyaratan yang ketat dan jlimet sebagaimana diatur dalam UU perkawinan dan KHI.

Menikah Siri yang Menyisakan Ketidakpastian

Patut dicamkan, nikah siri hanya menyisakan ketidakjelasan dan ketidakpastian. Lebih-lebih kalau terjadi percekcokan rumah tangga di kemudian hari. Misalnya terjadi kasus istri tidak mendapatkan nafkah yang layak dari suaminya, maka si istri tidak punya ruang untuk menuntut suami agar memenuhi kewajibannya. Mau kemana? Lha nikanya memang tidak ada bukti otentik tertulis.

Baca Juga  Ciri-ciri Shalat Khusyuk

Oleh karena itu, tujuan pernikahan agar menjadi rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah akan digapai dengan pernikahan yang legal, dicatatkan, sesuai hukum yang berlaku. Al-Qur’an saja memerintahkan untuk mencatat akad transaksi utang piutang. Maka sudah selayaknya akad nikah yang lebih sakral diharuskan untuk dicatat secara sah.

Editor: Zahra

Avatar
2 posts

About author
Saat ini mengabdi sebagai dosen Hukum Islam di UIN Walisongo. beberapa tulisannya pernah dimuat di harian Suara Merdeka, Koran Wawasan, Media Indonesia.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *