Isu poligami dalam Islam selalu menjadi bahan diskusi yang hangat. Dari ruang pengajian hingga forum akademik, topik ini tak pernah kehilangan daya tariknya. Poligami seringkali dianggap sebagai ajaran agama yang sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan sebagian orang menjadikannya simbol keistimewaan laki-laki dalam Islam. Namun, ketika kita melihat lebih dalam, ternyata praktik poligami menyimpan sejumlah persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Terutama jika ditinjau dari sisi moral, keadilan, dan kemanusiaan. Di titik inilah, pandangan kritis dari tokoh seperti Amina Wadud menjadi sangat menarik untuk dikaji.
Amina Wadud bukanlah sosok asing dalam diskursus Islam dan keadilan gender. Ia dikenal sebagai sarjana Muslim perempuan yang berani menawarkan perspektif baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam karya-karyanya, ia selalu menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip utama dalam memahami teks-teks keagamaan. Termasuk dalam hal ini adalah soal poligami. Bagi Wadud, ayat-ayat yang sering dijadikan dasar untuk membenarkan poligami tidak bisa dipahami secara lepas dari konteks sosial dan moral yang melingkupinya.
Dalam Surah An-Nisa ayat 3, disebutkan bahwa laki-laki boleh menikahi dua, tiga, atau empat perempuan jika mereka takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Namun di akhir ayat tersebut juga dikatakan bahwa jika takut tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu istri saja. Di sinilah letak persoalan yang sering diabaikan. Banyak orang hanya menyoroti bagian awal ayat, yang membolehkan poligami, tanpa memberi perhatian serius pada syarat yang menyertainya, yaitu keadilan. Padahal, syarat tersebut bukan syarat ringan. Bahkan dalam Surah An-Nisa ayat 129, Allah menegaskan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil kepada istri-istrinya, betapapun keras usahanya.
Bagi Amina Wadud, ini adalah tanda yang sangat jelas bahwa Al-Qur’an tidak sedang mempromosikan poligami, melainkan justru mempersempit ruangnya. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, poligami dilakukan secara tidak terbatas dan sering kali merugikan perempuan. Maka Islam hadir membawa aturan yang ketat, membatasi jumlah maksimal, dan meletakkan keadilan sebagai syarat mutlak. Tafsir yang hanya melihat ayat pertama tanpa mempertimbangkan ayat-ayat lainnya, menurut Wadud, adalah tafsir yang tidak utuh dan cenderung bias gender.
Yang menarik, pendekatan Wadud bukan hanya bertumpu pada teks semata, tetapi juga pada konteks sosial dan pengalaman perempuan. Ia percaya bahwa tafsir yang adil harus melibatkan suara perempuan sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek yang ditafsirkan. Selama ini, tafsir Al-Qur’an didominasi oleh laki-laki, dan dalam banyak hal, hasilnya mencerminkan sudut pandang maskulin yang tidak selalu selaras dengan nilai-nilai keadilan yang diajarkan Islam. Oleh karena itu, Wadud mengusulkan agar metode tafsir juga dikritisi dan dibangun ulang dengan semangat keadilan dan kesetaraan.
Dalam praktiknya, poligami hari ini sering kali melahirkan ketidakadilan, baik secara emosional maupun ekonomi. Banyak perempuan yang merasa tersakiti karena dijadikan “pilihan kedua” tanpa persetujuan atau pertimbangan matang. Anak-anak juga kerap menjadi korban dari dinamika keluarga yang tidak stabil akibat poligami. Dalam banyak kasus, alasan keadilan yang menjadi syarat utama justru tidak pernah benar-benar dipenuhi. Maka, jika realitasnya demikian, pantaskah poligami terus dipertahankan sebagai sesuatu yang sah tanpa kritik?
Amina Wadud tidak serta-merta menolak poligami secara mutlak. Ia hanya ingin mengingatkan bahwa pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tidak boleh dilepaskan dari prinsip moral Islam itu sendiri. Islam tidak hanya menekankan kepatuhan hukum, tetapi juga keadilan sebagai tujuan. Maka ketika suatu praktik, meskipun dibolehkan secara literal, namun tidak membawa keadilan pada benyak hal, maka praktik tersebut perlu dikaji ulang. Dan inilah semangat ijtihad yang sebenarnya, yaitu menggali kembali makna teks dalam terang kondisi sosial yang terus berkembang.
Sebagian pihak mungkin menganggap pendekatan Wadud sebagai bentuk liberalisasi ajaran Islam. Namun sesungguhnya, pendekatan ini justru berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang adil dan penuh kasih sayang. Jika penafsiran terhadap Al-Qur’an melahirkan praktik yang menyakiti atau merendahkan martabat manusia, maka bisa jadi bukan teksnya yang bermasalah, melainkan cara kita membacanya. Dalam hal ini, Wadud mengajak umat Islam untuk lebih kritis, reflektif, dan bertanggung jawab dalam memahami ajaran agamanya.
Kritik Wadud terhadap poligami adalah bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali semangat etis Al-Qur’an. Ia menolak pembacaan yang kaku dan hanya berorientasi pada hukum lahiriah. Islam, menurutnya, adalah agama yang menempatkan keadilan sebagai fondasi. Oleh karena itu, tafsir yang sejati bukan hanya soal apa yang dibolehkan atau tidak, tetapi juga soal apa yang paling membawa maslahat bagi umat.
Di tengah meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, pendekatan Amina Wadud memberikan angin segar dalam kajian Islam kontemporer. Ia tidak menolak tradisi, tapi mengajak untuk menafsirkan ulang tradisi dengan hati-hati dan kritis. Ia tidak melawan teks, tetapi berusaha menggali makna terdalamnya. Dan ia tidak menawarkan jawaban mutlak, tapi membuka ruang diskusi yang lebih inklusif.
Pada akhirnya, pandangan Wadud tentang poligami bukan sekadar soal perbedaan pendapat, tapi soal bagaimana kita memahami ajaran Islam secara lebih manusiawi. Ketika kita berpegang pada prinsip keadilan, maka praktik keagamaan pun akan lebih mencerminkan kasih sayang dan kemuliaan Islam itu sendiri. Dan mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk tidak lagi mengagungkan poligami sebagai simbol kekuasaan laki-laki, tetapi mulai melihatnya dengan kacamata kritis, sebagaimana yang telah diupayakan oleh Amina Wadud.
Editor: Soleh