Review

Melacak Genealogi Intelektual Ulama Betawi

3 Mins read

Jakarta sebagai kota metropolitan dalam sejarah perkembangannya banyak dipengaruhi oleh para ulama Betawi. Para ulama Betawi ini selain berjuangan melawan kolonial penjajah, juga sangat berperan dalam memberikan kontribusi dalam menyebarkan Islam dengan khazanah keilmuan. Hal itu sebagaimana diungkap dalam buku berjudul, “Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21)”. Buku setebal 142 halaman ini berkisah tentang peran, kontribusi, dan jaringan keilmuan yang dibangun.

Buku Jaringan Ulama Betawi ini yang mencakup ulama Betawi sejak abad ke-19 sampai abad ke-21 sekarang ini pada dasarnya masih menggunakan definisi ‘konvensioanl’ tentang ulama. Dalam definisi konvensional itu, ulama adalah mereka yang belajar ilmu-ilmu agama Islam, apakah secara langsung kepada ulama tertentu atau dalam lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti halaqah, madrasah, dan pesantren.

Mereka yang kemudian memiliki pengetahuan cukup memadai dan bahkan ahli dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam seperti, fiqih, tafsir, atau tasawuf dan selanjutnya mengabdikan dirinya dalam masyarakat Muslim, yang kemudian mengakui mereka sebagai ulama.

Jaringan Keilmuan Ulama Betawi

Ulama Betawi yang diungkapkan dalam karya ini jelas terlibat dalam jaringan ulama yang berpusat di Makkah. Sebagai contoh Syekh Junaid al-Batawi yang belajar dan bermukim (mastauthin) di Makkah memiliki guru-guru dan murid-murid di kota suci ini. Diantara murid Syekh Junaid al-Batawi yang cukup terkenal adalah Syekh Nawawi al-Banteni dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Hal ini secara ‘sempurna’ menggambarkan jaringan ulama, karena apa yang disebut sebagai jaringan ulama itu melibatkan hubungan dan jaringan antara murid dan guru, guru dengan guru, dan murid dengan murid. Hubungan yang membentuk jaringan ulama itu terjalin pertama-tama melalui sanad keilmuan dan kedua melalui silsilah tasawuf dan tarekat. Jaringan keilmuan ulama Betawi menjadi sesuatu yang penting jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan di etnis Betawi.

Baca Juga  Habib Husein: Menemukan Tuhan di Hati Kita

Menurut Ridwan Saidi, pemimpin etnis Betawi yang disegani dan diikuti kepemimpinannya adalah guru dan mu’allim (kepemimpinan ulama), sedangkan pemimpin Betawi yang disegani saja adalah jagoan. Dari dua kelompok elit Betawi ini, ulama Betawi yang memiliki pengaruh yang paling besar. Hal ini bisa dimaklumi karena religiusitas orang Betawi yang tinggi dan melekat dalam siklus hidupnya, membuat ketergantungan dengan ulama begitu tinggi. Ketergantungan ini secara langsung mempertinggi intensitas arus transfer ilmu pengetahuan dari ulama Betawi ke masyarakatnya.

Institusi Pendidikan Ulama Betawi

Di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama, yakni pondok pesantren, madrasah, dan majelis taklim. Sebelum kemerdekaan, pondok pesantren di Betawi adalah pondok pesantren salafi atau tradisional. Salah satu pondok pesantren salafi yang terkenal adalah yang didirikan oleh Guru Marzuqi, Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Madrasah di Indonesia dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Khusus di Betawi, madrasah yang pertama kali berdiri adalah madrasah “Jam’iyatul Khair” yang didirikan oleh Habib Ali bin Idrus Shahab. Ulama Betawi yang pernah didik di madrasah ini diantaranya adalah Syekh Dr. Nahrawi Abdussalam al-Indunisi.

Menyusul kemudian madrasah “Unwanul Falah”, Kwitang yang didirikan oleh Habib Ali Al-Habsyi pada tahun 1911. Murid-murid yang didik di madrasah ini dan kemudian menjadi ulama besar Betawi adalah KH. Abdullah Syafi’i, KH. Thohir Rohili, KH. Zayadi Muhadjir, KH. Muhammad Naim Cipete, dan Mu’alim KH. Syafi’i Hadzami.

Majelis taklim merupakan institusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan, sebagian besar majelis taklim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi.

Baca Juga  Kitab Ar Ra’ah al-Ghamidhah dan Kepakaran Habib Salim Jindan

Sentra Intelektual Ulama Betawi

Di dalam buku Jaringan Ulama Betawi ini, banyak sekali membahas tokoh-tokoh ulama Betawi, baik yang laki-laki maupun perempuan. Setidaknya terdapat dua sentra intelektual ulama Betawi yang dibagi berdasarkan periodenya, yakni: 1). Pada pertengahan abad ke-19, 2). Pasca kemerdekaan sampai Orde Baru, 3). Era Reformasi sampai sekarang.

Adapun sentra ulama abad ke-19 yang berasal dari Pekojan adalah Syekh Junaid al-Batawi, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Mughni Kuningan, Guru Mahmud Menteng Atas, dan Guru Mujib bin Sa’abah Tanah Abang. Sedangkan ulama Betawi pasca kemerdekaan sampai Orde Baru adalah KH. Hasbiyallah Klender, KH. Syafi’i Hadzami Gondangdia, KH. Thohir Rohili Kampung Melayu, KH. Ali Syibromasili Kuningan, dan KH. Abdul Hanan Said Mangga Besar.

Sentra ulama Betawi era Reformasi sampai sekarang adalah KH. Mundzir Taman Klender, KH. Abu Hanifah Cibubur, KH. Sabilarrosyad Gondangdia, KH. Kazruni Ishaq Mampang, KH. Cholil Ridwan Pasar Rebo, Abuya KH. Abdurrahman Nawi Tebet, dan KH. Syukur Ya’kub Tanah Abang.

Semoderen-moderennya Jakarta, tetap suasana religius masih dapat dirasakan, entah sampai kapan. Karena semua tergantung dari kemampuan ulamanya dalam melakukan regenerasi dan kemauan umatnya untuk tetap belajar agama di tengah godaan kehidupan dunia.

Biodata Buku

Judul: Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad Ke-19 sampai Abad ke-21)

Penulis: Rakhmad Zailani Kiki, dkk

Penerbit: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre)

Tahun: 2018

Halaman: 142

ISBN: 978-602-98707-0-1

Editor: Soleh

Related posts
Review

Kitab Ar Ra’ah al-Ghamidhah dan Kepakaran Habib Salim Jindan

2 Mins read
Perkembangan pemahaman keagamaan muslim Nusantara tidak dapat dipisahkan dari peran besar ulama Hadrami, khususnya kalangan sayyid. Para sayyid di Nusantara dikenal sebagai…
Review

Resensi Buku: Berlayarlah! Jangan Lupa Pulang

1 Mins read
“Katanya Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Kalimat itu menjadi napas utama dalam buku ini. Berlayarlah! Jangan Lupa Pulang bukan sekadar kumpulan tulisan, melainkan…
Review

Ketika Bumi Benar-benar Tak Dapat Dihuni

4 Mins read
Dulu, dunia ini adalah kanvas hijau yang dilukis dengan tangan-tangan cahaya. Angin berhembus lembut di antara pepohonan yang menjulang tinggi, menyanyikan lagu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *