Fikih

Hukum Seputar Aqiqah dalam Islam

4 Mins read

Aqiqah merupakan salah satu di antara sunnah Nabi saw yang berkaitan dengan tata cara mengasuh atau memberikan tarbiah pada anak pasca dilahirkan. Di antara sunnah Nabi lainnya pasca kelahiran anak adalah mendoakan bayi agar terhindar dari gangguan setan, men-tahnik-nya (menyuapi dengan kurma), memberinya nama yang baik, meng-khitan-nya. dan selainnya. Namun, pada tulisan ini akan terfokus untuk membahas terkait ”Aqiqah” dan prosesnya. Bagaimanakah hukum aqiqah dalam Islam?

Hukum Aqiqah dalam Islam

Perlu diketahui bahwasannya aqiqah merupakan salah satu di antara sunnah yang diadopsi dari perbuatan atau kebiasaan orang-orang jahiliyah selain dari perayaan pernikahan (Walimatul ursy’), dan kebiasaan lainnya yang tetap dipertahankan pada masa datangnya Islam. Ada sedikit perubahan yang dilakukan Islam terhadap tata cara aqiqah yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.  Diceritakan mengenai aqiqah pra Islam ini dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak dari sahabat Buraidah yang artinya;

“Di masa jahiliyah, apabila kami mendapatkan anak, kami menyembelihkan untuknya seekor kambing, kami cukur rambutnya, lalu kami oleskan darah kambing itu di kepalanya. Pasca Islam datang, apabila kami mendapatkan anak, kami menyembelih untuknya seekor kambing, kami cukur rambutnya, kemudian kami oleskan minyak Za’faran (sejenis wewangian) di kepalanya”.

Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa kebiasaan orang-orang Jahiliyah ketika mendapatkan anak adalah menyembelih seekor kambing, kemudian darah dari bekas penyembelihan itu dioleskan ke kepala bayi, sehingga kebiasaan inilah yang diperbaiki oleh Islam dengan mengganti objeknya dari darah menjadi minyak Za’faran.

Asy-Syarbani mengatakan bahwasannya, “Mengoleskan darah kambing ke kepala bayi hukumnya makruh”, sedangkan menurut keempat ulama mazhab fikih yang masyhur; Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali perbuatan tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan mudarat bagi bayi berupa penyakit (Manhaj at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah li ath-Thifl, 2000).

Baca Juga  Lembaga Amil Zakat Tak Boleh Semena-Mena Menentukan Besaran Haknya

Hadis-Hadis Mengenai Aqiqah

Pertama, Hadis dari Samurah ra diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:

كُلُّ غُلَام ٍمُرْتَهِنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُمَاطُ عَنْهُ الْأَذَى

Artinya: “Setiap anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya, kemudian sembelihlah hewan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya dan kelak ia akan dihindarkan dari segala penyakit (gangguan).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Kedua, Hadis dari Ummu Kurz al-Ka’biyah, dia berkata:

أَنّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَقِيْقَةِ فَقَالَ: عَنِ اْلغُلَام ِشَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ, لَايَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَوْ اِنَاثًا

Artinya:“Bahwasannya dia (Ummu Kurz) bertanya kepada Nabi saw terkait aqiqah, kemudian Nabi saw menjawab: “Anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing, tidak mengapa kambing itu jantan atau betina.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim).

Ketiga, Hadis dari Samurah ra diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ غُلَامٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ, يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَ يُسَمَّى فِيْهِ, وَيُحْلَقُ رَاْسُهُ

Artinya: “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan baginya pada hari ketujuh, diberikan nama, dan dicukur rambut kepalanya”. (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Keempat, Hadis Asma’ binti Yazid ra diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

اَلْعَقِيْقَةُ حَقٌّ, عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُتَكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Artinya: “Aqiqah adalah perbuatan yang benar. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk perempuan satu ekor kambing”. (HR. Ahmad)

Kelima, Hadis Buraidah ra diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

الْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ أَوْ لِأَرْبَعِ عَشْرَةَ أَوْ لِاحْدَى وَعِشْرِيْنَ

Artinya: “Kambing aqiqah disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu.” (HR. at-Thabrani)

Baca Juga  Cak Nur: Pernikahan Muslim dan Non-Muslim Itu Boleh Saja!

Dari hadis-hadis di atas Syaikh ad-Dahlawi berpendapat yang dimaksud dengan “tergadaikan” dalam hadis adalah seperti halnya suatu barang yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali setelah ditebus dahulu, tetapi ada kemungkinan maksudnya adalah keselamatan dan pertumbuhan si bayi tergantung pada aqiqahnya.

Catatan Seputar Aqiqah

Dari beberapa hadis di atas dapat diambil kesimpulan:

Pertama, aqiqah dilakukan dengan cara menyembelih kambing untuk bayi, memberi nama yang baik untuknya, mencukur rambutnya, dan mengolesi kepalanya dengan minyak Za’faran atau wewangian jenis lainnya.

Kedua, objek hewan aqiqah adalah kambing dan jenisnya boleh jantan atau betina. Sebab, seandainya boleh selain kambing maka Nabi saw pasti sudah memberikan contoh ketika mengakikahi anak-cucunya dengan unta atau selainnya.

Ketiga, jumlah hewan bagi anak laki-laki dua ekor dan bagi anak perempuan satu ekor. Jika tidak mampu beraqiqah dengan dua ekor bagi anak laki-laki, maka diperbolehkan satu. Ini disandarkan pada Hadis Ibnu Abbas riwayat Abu Dawud yang menyatakan bahwa, “Rasulullah saw mengaqiqahi Hasan dan Husein masing-masing satu ekor kambing”.

Keempat, waktu aqiqah dibolehkan pada hari ke-7, atau ke-14 dan atau ke-21 (disesuaikan dengan kemampuan finansial). Melihat zahir hadis, pembagian waktu tersebut disesuaikan dengan istitha’ah (kemampuan) orang tua atau wali anak. Jika tidak mampu beraqiqah, maka tidak mengapa tidak melaksanakannya.

Ada juga pendapat yang menyatakan boleh beraqiqah ketika sudah mampu di luar 3 waktu dalam hadis atau mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa. Pendapat tersebut disandarkan pada Hadis Anas riwayat Abdur-Razaq, al-Bazzari, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi: “Bahwa Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri pasca diutusnya menjadi nabi.”

Hukum Melaksanakan Aqiqah

Kaum Muslimin yang memiliki isthitha’ah (kemampuan) dan pengetahuan terkait aqiqah tentu dapat melaksanakan aqiqah ini. Bagi yang tidak mampu dan tidak mengetahui tuntunan, tentu tidak dituntut demikian (Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 1, 1990). Adapun mengenai hukum melaksanakan aqiqah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Baca Juga  Berpuasa pada Yauma 'Asyura

Sekelompok dari kalangan Zahiriy menyatakan bahwa hukum akikah adalah wajib. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat hukum akikah itu tidak wajib ataupun sunnah, melainkan hanya sebagai tathawwu’ (pemberian sukarela) sebagai bentuk rasa syukur telah dikarunia anak. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa hukum melaksanakan aqiqah adalah nadb (sunnah). Perbedaan pendapat ini muncul disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami atsar-atsar terkait dengan aqiqah. (Ibnu Rusyd, Bidayātul Mujtahid, 2016).

Hukum Daging, Kulit, dan Bagian Lain

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa orang yang mengaqiqahi anaknya itu sama halnya seperti menyembelih hewan kurban, maka tidak boleh baginya menyembelih kambing dalam kondisi buta, pincang, tanduknya patah atau rusak, dan dalam keadaan sakit. Kemudian tata cara pembagiannya agak sedikit berbeda dengan kurban, jikalau kurban dibagikan dagingnya dalam kondisi mentah atau belum dimasak, sedangkan aqiqah sudah dalam bentuk makanan atau sudah dimasak. Seluruh keluarga pun boleh memakan dagingnya. Ada catatan penting bahwa daging dan kulit dari hewan penyembelihan tersebut tidak boleh dijual (Bidayātul Mujtahid, 2016)

Demikianlah sedikit pembahasan terkait dengan aqiqah. Sesungguhnya tulisan ini belum membahas secara utuh dan komprehensif mengenai aqiqah, tetapi tulisan ini dapat dikatakan sebagai rangkuman dari pembahasan dan hukum aqiqah dalam Islam. Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam bis Shawwab.

Editor: Nabhan

Ahmad Farhan Juliawansyah
6 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *