Ulul Albab
Orang yang menggunakan akal sehat dalam beragama, oleh Al-Qur’an disebut dengan Ulul Albab. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, maka menjadi “orang-orang yang berakal sehat”. Akademisi Islam yang berakhalak mulia, sebagaimana tujuan IMM, tidak lain adalah menciptakan manusia Ulul Albab.
Di dalam Al-Qur’an kata Ulul Albab disebut sebanyak 16 kali. Empat belas di antaranya selalu berkaitan dengan kata kerja “yaddzakkaru” yang artinya berarti “berpikir” atau “belajar”. Kata kerja tersebut selalu disebutkan dalam bentuk fi’il mudlari (present tense). Dua lainnya dengan kata benda “Dzikra” yang artinya “pelajaran”.
Dalam pola Bahara Arab future continous tense diwakili oleh fi’il mudlari ini. Artinya yang dilakukan Ulul Albab adalah berpikir progresif, yang berpijak pada kondisi saat ini untuk yang akan datang. Semakna dengan kata progresif adalah berkemajuan, sebagaimana spirit Muhammadiyah sebagai Islam berkemajuan.
Karakteristik Ulul Albab
Dari 16 ayat yang menyebutkan kata Ulul Albab tidak ada satupun yang menjelaskan definisinya secara jelas. Namun ayat-ayat tersebut memberikan gambaran dan karakteristik Ulul Albab. Karakteristik tersebut antara lain:
(1) berpikir kritis, objektif, dan bersikap terbuka (QS. Az-Zumar/39: 18; Al-Maidah/5: 100);
(2) taat dalam beribadah (QS. Az-Zumar/39: 9);
(3) mengetahui hakekat Tuhan (beriman dan bertakwa (QS. Ibrahim/14: 52; Ath-Thaalaq/65:10) ; (4) memiliki kesolehan sosial (QS. Al-Baqarah/2: 197);
(5) mampu memahami alam semesta (scientist) (QS. Ali Imran/3: 90; Shaad /38; Az-Zumar/29: 21): 43);
(6) mampu memahami firman Tuhan di dalam kitab suci (QS. Al-Baqarah/2: 269; Ali Imran/3: 7; Ar-Ra’du/13: 19; Shaad/38: 29; Al-Ghaafir/40: 53);
(7) mampu menyingkap tabir kisah-kisah dan sejarah di dalam Al-Qur’an (QS. Yusuf/12: 111);
(8) mampu mengambil pelajaran dari sebuah hukum (syari’at) (QS. Al-Baqarah/2: 179).
Pengertian lain yang seirama dengan Ulil Albab di dalam Al-Qur’an adalah kata “qaumun yatafakkaruun”, “alladzina yatafakkaruun”, atau “yatafakkaruun” tanpa subjek yang menyertainya, yang masing-masing artinya “kaum yang berpikir” dan “orang-orang yang berpikir”.
Tiga kata ini disebutkan untuk maksud yang sama sebanyak 13 kali di dalam Al-Qur’an. Konteks ayat yang memuat kata ini sama skemanya dengan ayat-ayat Ulul Albab di atas.
Perintah Menggunakan Akal dalam Al-Qur’an
Adapun perintah untuk menggunakan akal sehat di dalam Al-Qur’an menggunakan kalimat la’alakum yatafakkaruun atau la’alakum tatafakkaruun. Kalimat ini disebutkan sebanyak lima kali.
Penggunaan kata “la’ala” menunjukan sebuah perintah yang memuat harapan untuk yang diperintah (objeknya). Jadi sesungguhnya Allah sangat mengharapkan akal yang sudah diberikan kepada manusia digunakan dengan sebaik-baiknya.
Jadi perintah menggunakan akal sehat dengan bentuk “la’ala” bukan hanya sekedar perintah, melainkan menjadi anjuran yang diharapkan oleh Allah bagi orang beriman dalam kehidupan ini. Kalimat ini lebih halus, karena menuntut yang diperintah untuk “sadar”.
Berbeda dengan fiil amri dengan timbangan “if’al”. Perintah seperti ini tidak menutut kesadaran terlebih dahulu. Sadar tidak sadar, lakukan saja. Namun kata la’ala menjadi sebuah kehormatan bagi manusia yang dianugerahi akal dan kesadaran. Itulah alasan agama tidak boleh dipaksakan. “Laa ikraha fii ad-diiin”, artinya “tidak ada paksaan dalam beragama”.
Perintah Menggunakan Akal Sehat dalam Bentuk Pertanyaan
Sementara ada juga model perintah menggunakan akal sehat tetapi dalam bentuk pertanyaan. Meskipun sebenarnya pertanyaan tersebut merupakan sindiran bagi yang ditanya (istifham inkari).
Hal seperti ini diungkap dalam Al-Qur’an dengan lima model.
Pertama, dengan kalimat “afalaa tatafakkaruun” artinya “Apakah kamu tidak berpikir? (Aslinya memang tidak berpikir).
Kedua, dengan kalimat “afalaa yatadzakkaruun” artinya “Apakah kamu tidak mempelajarinnya” (makna sesungguhnya memang tidak dipelajari).
Ketiga, menggunakan kalimat “afala ta’qiluuna” artinya “apakah kamu tidak memikirkannya?” (Makna aslinya tidak menggunakan akal).
Keempat, dengan kalimat “afalaa yatadabbaruun” artinya “apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Makna sesungguhnya tidak mau mengambil ibrah dan pelajaran).
Kelima, dengan kalimat “afalaa tubshiruun” artinya “apakah kamu tidak melihat?” (Makna sesunggunya memang tidak melihat dan peduli).
Al-Qur’an Tidak Berkontradiksi dengan Akal
Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Al-Qur’an tidak ada kontradiksi sama sekali dengan akal. Peran dan fungsi akal sangat berbeda dari Al-Qur’an. Itulah sebabnya, menegasikan akal dalam memahami Al-Qur’an menjadi sebuah argumentasi yang sesat dan menyesatkan.
Namun perlu diperhatikan yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah akal yang sehat. Bukan akal yang dibalut dengan nafsu. Menurut Immanuel Kant, akal sehat adalah “akal murni” bukan akal “instrumental” yang pada pembahasan sebelumnya disebut “logika formal”.
Akal instrumental adalah akal yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan, budaya, dan hegemoni kekuasaan, sehingga tidak mampu melakukan objektivikasi terhadap masalah. Dalam bahasa lainnya tidak dapat berpikir jernih. Akal murni atau akal sehat adalah akal yang merdeka, yang bergantung hanya pada kebenaran (haqq). Dari alasan inilah Hamka setuju bahwa pemikir itu harus bebas dan merdeka (free thinker).
Editor: Rozy