Perspektif

Memahami Pesan Al-Qur’an Lewat Sastra

3 Mins read

Semua ulama sepakat jika Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa bangsa Arab, tetapi ketika dikatakan jika Al-Qur’an adalah sastra, maka sebagian ulama menolaknya. Padahal jika dikaji lebih jauh maka akan terlihat jika Al-Qur’an memang karya sastra, sebuah sastra yang lahir dari bangsa Arab, menjadi sastra terbesar yang dikenal manusia.

Di dalam sebuah esai yang ditulis oleh Nasr Hamid Abu Zayd, dia menjelaskan jika bukti tenang ke-sastra-an Al-Qur’an bisa dilihat dari prilaku keseharian masyarakat Arab pada saat pertama kali Al-Qur’an turun.

Al-Qur’an pertama-tama turun di tengah kaum Quraisy. Mereka dikenal sebagai kaum yang memiliki ilmu sastra cukup tinggi.

Al-Qur’an yang turun di tengah-tengah mereka sebagai mukjizat tentu memiliki kandungan sastra yang tinggi. hal ini bisa dilihat dari beberapa tokoh Quraisy yang kagum terhadap Al-Qur’an sehingga mereka memutuskan untuk masuk Islam. Nasr Hamid menjelaskan lebih lanjut dalam esainya, jika Nabi-Nabi terdahulu juga mendapatkan mukjizat sesuai kondisi dari kaumnya.

Nabi Musa yang hidup di tengah-tengah kaum yang memiliki ilmu tentang sihir, maka mukjizatnya berupa hal-hal yang melebihi sihir. Kemudian ada juga Nabi Isa yang hidup di tengah-tengah kaum dengan ilmu kedokteran yang cukup maju, maka Allah memberikan Nabi Isa mukjizat untuk bisa menyembuhkan orang buta, penyakit kolera, dan bahkan bisa menghidupkan orang mati.

Maka ketika Al-Qur’an turun (surat-surat Makiyah khususnya) pasti memiliki kandungan nilai sastra yang cukup tinggi. Anda bisa melihat ayat yang pertama kali turun, yakni surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Coba dibaca dengan nada puisi, maka tentu akan sangat indah sekali.

Pesan Al-Qur’an Dibaca dengan Metode Sastra

Proses penggalian makna Al-Qur’an lewat media sastra pertama kali digaungkan oleh Amin al-Khuli. Salah satu dosen di Universitas al-Azar, Kairo, Mesir. Tesisnya bahwa Al-Qur’an bisa dibaca secara sastra adalah karena banyak ulama Islam kontemporer yang mereduksi makna dari pesan Al-Qur’an.

Baca Juga  Karya Sastra Ulama (4): Tiga Bagian Puisi Gus Mus

Misalnya ayat-ayat tentang Ilmu sains, menurut Amin al-Khuli ayat-ayat tersebut tidak tetap jika diungkap artinya hanya dengan sains semata. Salah satu contohnya adalah ayat 5 surat Az-Zumar yang menjelaskan bahwa bentuk bumi adalah bulat.

Wacana dari Al-Qur’an tersebut kemudian diteliti oleh para ilmuwan dan hasilnya adalah benar, bahwa bumi berbentuk bulat. Ini adalah salah satu mukjizat Al-Qur’an yang bisa dibaca lewat sains terkini.

Tetapi Amin al-Khuli menyatakan tidak tepat untuk menangkap pesan Al-Qur’an hanya sebatas sains tersebut. Mengartikan Al-Qur’an benar berdasarkan sains di atas adalah benar, tetapi Amin al-Khuli mengajarkan untuk memahami pesan di dalamnya lebih dalam lagi.

Amin al-Khuli menjelaskan lebih lanjut ada 2 hal yang perlu dilakukan oleh seorang mufasir ketika mereka ingin menafsirkan Al-Qur’an. Pertama adalah paham yang ada di dalamnya itu sendiri. Ilmu ini termasuk ilmu Ulumul Qur’an, Ilmu Qiroat, dan apa-apa yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Kedua seorang mufasir harus paham ilmu-ilmu yang ada di luar Al-Qur’an, ilmu ini termasuk melihat tentang bagaimana kondisi sahabat ketika satu ayat turun. Lalu mampu mengkontekskan ayat tersebut dengan zaman sekarang ini. Dalam khazanah Arab, ilmu ini seperti Asbabul Nuzul, sejarah kondisifikasi Al-Qur’an, dan lainnya.

Dengan dua metode tersebut Amin mengharapkan Al-Qur’an tidak hanya dipahami sebagai dari satu disiplin ilmu. Tetapi Al-Qur’an adalah termasuk karya sastra, karya universal. Seperti halnya sastra bisa menjelaskan segala disiplin ilmu.

Kesastraan Al-Qur’an

Pendapat Amin al-Khuli di atas harus diikuti dengan pemikiran jika Al-Qur’an adalah karya sastra. Hal ini menurut Amin adalah dasar dari seorang mufasir ketika mereka ingin mengkaji Al-Qur’an.

Setelah seorang mufasir sudah bisa memandangnya sebagai sastra, maka terserah dari mufasir tersebut ingin mengarahkan pada bidang kajian tertentu. Karena dengan latar kajian kesastraan, maka sang mufasir tidak akan berhenti pada satu bidang tersebut.

Baca Juga  Melampaui Pluralisme: Manajemen Konflik Keagamaan di Indonesia

Amin juga berpendapat jika para sahabat dahulu memahami makna Al-Qur’an karena paham bahasa sastra yang digunakan oleh Al-Qur’an.  Dengan pembacaan sastra, maka seorang muslim akan mampu memahaminya sama persis dengan para sahabat dahulu.

Banyak murid-murid Amin al-Khuli yang menerusakan ajarannya salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Sama seperti gurunya, Nasr hamid juga berpandangan jika Al-Qur’an adalah karya sastra universal.

Karena sebuah karya sastra terbesar dengan sifat kesastraan(yang universal) maka Al-Qur’an bisa didatangi dari berbagai sudut pandang. Semua disiplin ilmu bisa masuk kedalam Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sastra berarti penyejuk bagi pembacanya. Inilah yang perlu dipahami, khususnya bagi pendakwah milenial.

Editor: Rozy

Avatar
1 posts

About author
Bekerja sebagai freelance content writer di beberapa media, bisa dihubungi lewat nomor 085330537636. Untuk nomor rekening saya, bank BRI, An Lohanna Wibbi Assiddi, dengan nomor 649301012933531
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds