Tafsir

Adakah Perkembangan Hukum Islam di Masa Sahabat?

4 Mins read

Hukum Islam – Di dalam kelompok masyarakat, pasti mengalami sebuah perubahan secara dinamis. Perubahan masyarakat tersebut terjadi di dalam berbagai aspek. Yang mana, perubahan tersebut seringkali memicu munculnya permasalahan-permasalahan baru. Baik di dalam masyarakat Islam seiring berkembangnya zaman. Sehingga, diperlukannya sebuah ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan  tersebut. 

Latar belakang munculnya tindakan ijtihad di kalangan para sahabat disebabkan oleh pemahaman mereka yang mendalam terhadap ajaran Islam dan kesadaran mereka yang tinggi untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim. Selain itu, mereka dianggap memiliki keutamaan khusus karena  hidup dan merasakan ajaran langsung dari Rasulullah.

Abu Bakar: Sahabat yang Diistimewakan

Ada empat orang sahabat yang diutamakan dari sekian banyak sahabat Rasulullah. Mereka diberi gelar dengan al-Khulafa al-Rasyidin; Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk senantiasa berpegang teguh dengan sunahnya dan juga sunah yang bersumber dari al-Khulafa al-Rasyidin.

Dari keempat orang sahabat tersebut ada satu orang yang yang lebih diutamakan oleh Rasulullah. Ia merupakan sahabat pertama yang masuk Islam dari kalangan dewasa. Ia senantiasa menemani Rasulullah baik dalam suka maupun duka. Ia juga merupakan seorang sahabat yang sangat cerdas dan beribawa, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq.

Ijtihad Sebagai Metode Penemuan Hukum Islam

Di samping itu, dijadikannya ijtihad sebagai metode penemuan hukum. Berawal ketika SAW akan mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz. “Apa yag akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?” Mu’adz menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Al-Qur’an!” Nabi bertanya lagi, “Bagaimana jika di dalam Al-Qur’an tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab, “Aku akan ber-ijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan satu perkara pun tanpa putusan.” Lalu Mu’adz mengatakan, “Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusanku untuk hal yang melegakanku”.

Baca Juga  Metode Istidlal Syaddzudz Dzariah dan Klasifikasinya

Sumber Asli Hukum Islam

Bercermin dari hadis tersebut bahwa sumber-sumber asli hukum Islam merupakan Al-Qur’an dan sunah. Apabila di dalam Al-Qur’an dan sunah tidak ditemukan, maka dapat diupayakan menemukan hukumnya melalui ijtihad.

Hal ini membuktikan bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa. Ijtihad sendiri telah ada dan dilakukan secara baik pada masa awal Islam. Kemudian, pada masa berikutnya, muncul sederetan mujtahid kenamaan.

Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan umat Islam. Pada masa inilah dihasilkan pemikiran dan karya yang sangat berharga bagi umat Islam berikutnya.

Secara umum, seseorang yang melakukan ijtihad harus benar-benar muslim, kukuh akidahnya, baik ibadahya, dan mulia akhlaknya. Serta telah memenuhi syarat-syarat berpikir yang benar.

Seorang mujtahid juga harus mengetahui bahasa yang digunakan di dalam dalil-dalil yang dipergunakan, terutama bahasa Al-Qur’an dan sunah. Serta, ia juga harus mengetahui secara baik seluk beluk Al-Qur’an dan sunah. Mengetahui dengan benar ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang menyangkut masalah yang dibahas.

Ketika melihat sejarah umat Islam, ijtihad telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini dapat dilacak antara lain dari riwayat berikut:

Dari Amr ibn al-‘Ashr r.a ia mendengar Rasulallah SAW bersabda, “Apabila seorang hakim hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya salah , maka untuknya satu pahala.”

Kisah Para Sahabat dalam Memutuskan Suatu Perkara

Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata bahwa setelah Rasulullah Saw wafat, Abu bakar al-Shiddiq menggantikannya dalam urusan kepemimpinan atas umat Islam. Banyak kelompok dari bangsa Arab yang kafir (keluar dari ajaran Islam dengan terang-terangan). Umar berkata, “Bagaimana bisa engkau memerangi orang lain sedangkan Rasulullah Saw telah bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka berkata bahwa tidak tuhan selain Allah. Siapa yang mengatakan demikian maka terlindungilah dariku harta dan darahnya. Maka penghitungan (amalannya) hanyalah pada Allah Swt.”Abu Bakar menjawab, “Demi Allah saya akan tetap memerangi orang-orang yang memisahkan atara shalat dan zakat, sebab sesungguhnya zakat adalah hak harta dan hak Allah. Kalaualah seseorang menghalangi langkahku dengan mengadukannya pada Rasulullah Saw maka akan ku bunuh dia.” Umar bin Khattab kemudian berkata, “Tidaklah pada yang demikian kecuali aku melihat Allah Swt telah melapangkan dada Abu bakar al-Shiddiq untuk berperang. Dan aku sadar bahwa ia dalam kebenaran.”(HR. Muslim).

Baca Juga  Abdullah Ahmed An-Naim: Mengapa Dekonstruksi Syariah itu Penting?

Hadis tersebut menjelaskan bahwa kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq pada awalnya bersifat personal, kemudian menjadi konsensus di kalangan Sahabat. Tidak ada pertentangan di kalangan mereka kecuali dari Umar bin Khattab.

Akan tetapi, lambat laun Umar bin Khattab dapat mengerti dan memahami mashlahat di balik keputusan yang diambil oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Kemudian, Umar juga memberikan dukungan penuh untuk memerangi kelompok-kelompok yang enggan membayar zakat. Bentuk ijtihad yang dilakukan oleh Abu Bakar tersebut dijadikan sebagai landasan hukum untuk menentukan kebijakan negara.

Terdapat pula kisah Umar bin Khattab dalam menentukan hukum Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian. Menurut hukum Islam hukumannya adalah had (potong tangan). Pandangan seperti ini didasarkan pada dalil Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38, yaitu, “Pencuri laki–laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka”. Disamping al-Quran, juga didasarkan pada dalil Sunnah qauli (ucapan), maupun fi’li (praktik) yang pernah dilakukan oleh nabi.

Umar Sang Pembeda Hukum

Namun, Umar Ibn Khattab pernah membatalkan hukuman tersebut ketika pada suatu tahun terjadinya era kelaparan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hukuman tersebut dibatalkan karena pencurian dilakukan oleh orang yang terdesak mencari makan.

Maka dari itu, dalam menentukan sanksi hukum, Umar selalu melihat pada latar belakang dari persoalan tersebut. Keputusan ini berarti didasarkan atas alasan darurat, alasan kepentingan, dan alasan menghidupi jiwa orang. Dasar pemikiran ini kemudian diikuti ijma’-nya oleh para ulama fikih.

Berbagai macam ijtihad tersebut muncul disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan–perubahan. Maka kondisi sepertinya telah mendorong eksistensi hukum mengalami perkembangan dan perubahan senada dengan perkembangan tuntutan kemasyarakatan.

Baca Juga  Al-Qur'an Bukan Kitab Panduan Terorisme

Perkembangan Hukum Islam di Masa Sahabat

Perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa sahabat merupakan suatu cara dalam menetapkan hukum yang tidak tidak tertulis secara jelas di dalam Al-Qur’an dan hadis.

Perkembangan hukum Islam harus ditegakkan dan dilaksanakan tanpa ada suatu tindakan maupun pandangan yang menyimpang atau menjauhi dari tujuan hukum Islam sendiri.

Meskipun terdapat perbedaan di kalangan para sahabat, namun hal itu tidak menimbulkan suatu permusuhan, karena masing-masing sahabat pada waktu itu juga memiliki dasar serta orientasi keilmuan yang berbeda-beda.

Semua itu mendukung sekali terhadap keputusan hukum yang  akan digunakan dalam memecahkan masalah yang muncul di kehidupan masyarakat Islam saat itu.

Editor: Rozy

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *