Narasi Novel Kubah
Perilaku Ekstrem – Tahun 1980, terbit sebuah novel berjudul Kubah karya pengarang Ahmad Tohari. Novel tersebut bercerita tentang seorang tahanan politik yang dibebaskan setelah peristiwa 65. Satu hal yang menarik adalah novel tersebut menggambarkan bagaimana sebuah paham ekstrem sengaja ditanamkan pada seseorang.
Karman, nama sang tokoh, menghadapi berbagai pengalaman hidup yang cukup traumatik sejak kecil: kemiskinan, petani yang menderita, ketidakadilan, hingga patah hati. Dia kemudian ditolong oleh orang-orang dari partai.
Mereka pun memberi Karman pekerja prestige yang mustahil ditolaknya; menjadi aparat desa. Sejak itu, Karman dekat dengan para penolongnya itu. Mereka memfasilitasi apapun yang pemuda itu butuhkan, termasuk soal wanita.
Dari sini, infiltrasi paham komunis dilakukan. Ideologi yang diajarkan seolah jadi solusi hidupnya, sekaligus sebagai bahan bakar untuk menumbuhkan kebencian Karman pada kondisi, sistem nilai, dan tatanan yang berlaku.
Pemuda itu percaya, fanatik, lalu tumbuh menjadi kader militan. Baginya, ideologi yang dianutnya lah yang paling benar dan harus ditegakkan dengan segala cara.
Cerita dalam novel tersebut menggambarkan bagaimana sebuah paham ditanamkan secara terencana bahkan sistematis. Para aktor radikal menyasar orang-orang yang terpuruk.
Entah karena ekonomi, tekanan sosial, kurangnya pendidikan, atau goncangan lain dalam hidupnya. Mereka pun hadir dalam hidup orang-orang tersebut sebagai penolong.
Di sisi lain, dari kisah itu, kita membaca bahwa keadaan-keadaan sosial tertentu rupanya dapat menjadi pintu masuk paham-paham yang salah, termasuk yang ekstrem.
Narasi Buku Mahabarata
Kisah yang hampir sama kita dapati pula dalam karya satra lain yang legendaris Mahabarata, yakni pada tokoh muda bernama Karna.
Ia adalah orang yang sangat berbakat, bahkan keahliannya menyamai Arjuna. Tapi dia mendapat perlakuan diskriminatif dari resi Durna karena dia berasal dari kasta rendah.
Sebagai kesatria yang tercampakkan dan tak diakui, ia pun berambisi mendapatkan derajat yang lebih tinggi. Kurawa menolongnya dengan menjadikannya adipati, posisi tertinggi yang bisa didapat seorang kesatria.
Karna sejatinya adalah saudara dari Pandawa. Ia pun tahu bahwa Pandawa ada di pihak yang benar. Bahkan ibu kandungnya, Kunti, memohon padanya untuk bersatu dengan keluarga. Tapi Karna memutuskan mengambil pilihan ekstrem, yakni meninggalkan ibu kandung dan saudara-saudaranya dan tetap memihak kurawa.
Dia memilih kubu yang “jahat”. Ia sudah terlanjur kecewa pada Kunti yang membuangnya saat lahir sebab ayahnya tak jelas. Ibu para Pandawa itu pun tak mengutarakan fakta sejak awal. Selain itu sebagai balas budi Kurawa, Karna pun harus memberikan loyalitas totalnya pada mereka.
Baik Karman atau Karna, diselimuti rasa kecewa pada keadaan. Karman kecewa pada pamannya, kecewa pada Haji Bakir yang sebenarnya telah menolongnya, kecewa pada kekasihnya, kecewa pada nasib, hingga kecewa pada Tuhan.
Dalam kekecewaan itu, tak ada lagi ruang baginya untuk berpikir jernih. Alih-alih, ia seolah menemukan alternatif jawaban di dalam paham ekstrem tersebut. Demikian juga pada tokoh Karna, kekecewaan dan pengalaman diskriminasi telah membekukan hatinya.
***
Kita dapat mengatakan bahwa pilihan yang diambil tokoh-tokoh tersebut berangkat dari ego mereka, atau bentuk pendangkalan berpikir dan sebuah kenaifan.
Dalam memandang persoalan, perspektif yang digunakan hanyalah kebenaranku atau kepentingannya sendiri. Dan akibatnya pun kita tahu, Karman akhirnya berkonflik dengan orang-orang terdekat hingga akhirnya ia diburu.
Sementara Karna, ia membuat saudara-saudaranya sendiri menderita hingga turut menumpahkan banyak darah pasukan Pandawa pada perang Baratayudha.
Tapi, kita tak bisa menafikan bahwa sejatinya mereka adalah korban dari sebuah sistem yang tak memberikan keadilan. Karman adalah korban ketidakadilan ekonomi. Sementara Adipati Karna adalah korban dari sistem budaya yang diskriminatif. Ia bahkan mendapat perlakuan diskriminasi dari ibunya sejak baru hadir ke dunia.
Mereka adalah jiwa-jiwa yang telah retak yang hanya mencoba merebut makna hidup yang telah dinista oleh sistem yang berlaku.
Jalan yang dipilih adalah salah, iya. Tapi, itu adalah satu-satunya jalan yang mereka tahu. Atau setidaknya jalan yang ditunjukkan oleh orang yang diyakini mau berbaik hati dan peduli pada mereka: seperti orang-orang partai pada Karman dan Kurawa pada Karna.
Tak ada Faktor Tunggal dalam Perilaku Ekstrem
Dan barangkali, seperti itu pula wajah asli dibalik perilaku ekstrem yang terjadi di berbagai belahan dunia ini, yakni ketidakadilan ekonomi, hukum dan sistem. Pakar politik timur tengah, Ahmed T. Kuru, dalam bukunya menjelaskan bahwa tidak ada faktor tunggal tunggal dari perilaku ekstrem.
Ada banyak sebab, misal faktor esensial: yaitu perilaku ekstrem yang berangkat dari tafsir atas keyakinan. Tapi harus diakui, dalam sejarah manusia, ketidakadilan juga selalu memunculkan benih-benih ekstremis yang berusaha melawan ketidakadilan tersebut terlepas benar atau salah caranya.
Dalam kisah Mahabharata, Adipati Karna gugur. Ia pun tercatat sebagai pihak jahat. Tapi lain dengan Karman, ia mendapatkan kesempatan kedua. Kekhawatirannya akan ditolak warga rupanya salah.
Orang-orang menerimanya dengan baik. Termasuk anak dan istrinya yang sempat terlantar, juga orang yang dulu dia paling musuhi, Haji Bakir. Haji Bakir bahkan memlersilahkan Karman mengabdi dan mencari nafkah di masjid miliknya.
Akhir nasib Karman sebenarnya adalah sebuah resolusi hubungan antara pelaku ekstremis dengan masyarakat. Penerimaan yang baik oleh lingkungan, tanpa stigma, menjadi sintesis dari sebuah ideologi ekstrem yang bersarang di pikiran seseorang.
Tapi di sisi lain, cara itu pun bisa jadi sebuah pencegahan. Kepedulian dan perhatian setiap anggota masyarakat satu sama lain merupakan filter awal dari masuknya paham-paham yang salah.
Masyarakat pun memiliki mekanisme kolektif sebagai alarm ketika mulai ada indikasi ekstremisme pada anggota kelompok mereka.
Akhirnya, barangkali segala perilaku radikal, ekstrem atau menyimpang yang tak kunjung hilang di negeri kita adalah akibat dari sudah hilangnya nilai-nilai kolektivitas dalam masyarakat: menjunjung kepentingan bersama, saling peduli, saling perhatian dan saling mengasihi. Kini orang sudah tak peduli satu sama lain, khususnya masyarakat perkotaan. Masing-masih sudah acuh antar sesama warga, tak kenal siapa tetangganya, serta tak merasa bertanggung jawab memantau anak-anak sekitarnya.
Perilaku radikal bak hama di sebuah kebun. Dia menganggu dan bisa merusak tanaman sekitarnya. Tapi, lingkungannya jualah yang mendukung hama tumbuh subur.
Editor: Yahya FR