Review

Tak Hanya di Medsos, Kini Paham Radikalisme Juga Mengincar Pendidikan Kita

6 Mins read

Radikalisme I Selama beberapa dekade, Indonesia telah mempertahankan reputasinya sebagai negara yang “tidak religius maupun sekuler” (dalam terma Gus Dur Indonesia disebut negara bukan-bukan)— sebuah kompromi filosofis, atau teka-teki, yang mencerminkan ketegangan ideologis yang telah berlangsung lama antara kekuatan konservatif dan liberal.

Radikalisme agama memang bukanlah fenomena baru di Indonesia, akan tetapi benih-benih pemikiran ekstrimisme telah bercokol cukup subur di negeri ini. Ketika ancaman teror menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara, beberapa kalangan sarjana seperti Angel Rabasa, Zachary Abuza, Kumar Ramakrishna, Sidney Jones, bahkan menganggap Indonesia menjadi salah satu kawasan yang dianggap sebagai basis strategis teroris.

Namun demikian, Islam Indonesia – dalam pandangan Azyumardi Azra – telah (dan masih) sebagian besar dikenal sebagai Islam dengan ‘wajah tersenyum’. Tetapi setidaknya dalam dekade terakhir, mengambil keuntungan dari keterbukaan demokrasi, beberapa tokoh dan kelompok memperkenalkan ide-ide dan praksis Islam radikal yang memiliki asal-usul transnasional yang pada gilirannya dapat mempengaruhi masa depan Islam Indonesia. Fenomena semacam ini oleh kalangan kesarjanaan semisal Martin van Bruinessen, Greg Fealy menyebutnya sebagai conservative turn.

Remaja dan Toleransi Agama Setengah Hati

Beberapa kesarjanaan tengah mengamati bahwa Indonesia hari ini tengah mengalami conservative turn, yakni suatu pergeseran atau pembalikan wajah Islam Indonesia ke arah yang konservatif. Penjelasan tentang ini Anda bisa membaca karya Martin van Bruinessen dan Greg Fealy. Tanpa diduga sebelumnya, Mun’im Sirry membangun aktualitas isu ini dengan menyuguhkan pandangan Bruinessen bahwa bentuk conservative turn yang paling kentara barangkali diperlihatkan oleh sejumlah fatwa kontroversial oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Bruinessen merujuk pada fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme adalah haram.

Dengan menguatnya peran Islam dalam kehidupan publik, dan seturut dengan meningkatnya eskalasi intoleransi terhadap kelompok penganut beda agama, maka makin kuatlah argumen para kesarjanaan tersebut. Di lain itu, pergeseran wajah Islam Indonesia tersebut berdampak pada kalangan muda sebagaimana lokus riset Mun’im Sirry.

***

Melalui hasil survei terhadap 700 mahasiswa dari 7 kampus negeri yang ditengarai telah terpapar paham radikal dan 500 siswa SMA di 5 kota di Jawa Timur, serta wawancara mendalam (in-depth Interview) dengan 70 mahasiswa dan 50 siswa, temuan Sirry mengungkapkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan tidak semata corong perpanjangan kebijakan pemerintah atau mekanisme untuk mereproduksi lembaga pemerintahan tertentu dengan mengabaikan kemungkinan pendidikan yang berlangsung dari waktu ke waktu – meminjam istilah Talal Asad – sebagai suatu proses yang diskursif (discursive tradition).

Lebih lanjut, temuan Sirry juga memberi horizon tersendiri bagi pengkaji isu radikalisme dan ekstremisme bahwa ternyata kalangan remaja ini menerima gagasan toleransi agama dengan setengah hati. Sikap mendua ini sangat jelas terlihat dari ‘koalisi besar’ terhadap toleransi agama dan koeksistensi kerukunan hidup beragama serta penolakan keras mereka terhadap radikalisasi pada saat yang bersamaan, terlebih jika sudah menyangkut isu-isu sensitif temporal semisal ucapan Selamat Natal, dan Kepemimpinan non-Muslim.

Baca Juga  Review Novel: Gadis Pantai Karya Pram

Di kalangan mereka, lanjut Sirry, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa menerima atau menghargai perbedaan keyakinan dan praktik agama tanpa prasangka. Apa yang kiranya hilang dalam toleransi setengah hati ini adalah rasa kepedulian (care) dan keramahtamahan (hospitality). Memang harus diakui, sistem kurikulum pendidikan kita tidak cukup mengakomodir multikulturalisme dan pentingnya chemistry dalam menjalin sebuah hubungan yang harmonis.

Saling Mengenal sebagai Kunci

Poin penting yang ditekankan dalam buku ini adalah bahwa toleransi mensyaratkan sebuah proses interaktif dan dialektis dalam menyangga sikap toleransi. Misalnya, pertemuan-pertemuan antar beda kelompok, saling mengenal satu dengan yang lain, dan adanya partisipasi aktif antar keduanya. Toleransi setengah hati – sebagaimana asumsi Sirry – akan muncul manakala pemahaman dan kedekatan dengan kelompok lain, minim atau tidak intens. Bahkan, tidak adanya pertemuan yang interaktif dan dialektis bisa melahirkan keengganan untuk terlibat langsung dengan liyan.

Remaja dalam Ekosistem Dunia Maya

Proses radikalisasi yang menarget para remaja kita tidak terlepas dari sumbangsih dunia maya. Alih-alih dianggap sebagai ancaman sekularisasi, kemunculan cara baru penyebaran informasi di tataran dunia maya ditangkap oleh Gary R. Bunt dalam Hashtag Islam sebagai celah untuk meneruskan nilai-nilai Islam ke setiap relung kehidupan seorang Muslim. Terlebih, keberadaan media massa digital yang bercorak intensif sekaligus eksesif menjadi sebuah kendaraan praktis untuk mewujudkan agenda perubahan dalam Islam, baik di konteks lokal maupun global, misalnya pergeseran model otoritas keagamaan, transformasi sosial, aktivisme Islam, fenomena e-jihad, hingga wacana pembangunan negara Islam. Semua fenomena ini hanyalah pucuk es dari kompleksitas antara Islam dan teknologi digital di era modern.

Adanya ruang publik alternatif selain ranah tatap muka bagi sesama Muslim lewat pemanfaatan teknologi – yang disebut Bunt sebagai Cyber-Islamic Environment/CIE (‘lingkungan siber Islam’) – turut memberikan perubahan pada wajah Islam kontemporer, utamanya perihal penyampaian serta pemahaman pesan berbasis ajaran agama. Senada dengan Bunt, Mun’im Sirry mengakui adanya intensitas lonjakan user (pengguna) terutama kalangan mahasiswa/i yang mengakses konten-konten radikal di dunia maya ketimbang pelajar SMA.

Temuan Sirry mengonfirmasi tesis Bunt bahwa ekosistem dunia maya atau CIE hadir sebagai wadah politis yang tidak hanya membuka peluang kebebasan berpendapat, tetapi juga ajang pemeliharaan kontrol baru atas umat Islam sebagai bentuk respons dari pemegang otoritas tertinggi, seperti negara atau kelompok ulama. Oleh karena itu, penting di sini untuk menyertakan CIE dalam isu remaja dan radikalisasi.

Baca Juga  Najib Burhani: Kelompok Ekstremis Mengincar Anak Muda di Media Sosial

Tiga Persoalan Sentral

Buku ini dibagi tiga bagian yang meliputi intoleransi agama di lingkungan sekolah, radikalisasi di perguruan tinggi, dan radikalisme di dunia maya hingga ujaran kebencian (hate speech). Bagian pertama berfokus pada asbabun nuzul (asal-muasal) intoleransi agama di kalangan pelajar SMA. Sedangkan bagian kedua menilik bagaimana dan kenapa radikalisasi menjadi permasalahan yang terus tumbuh dan berkembang di dunia kampus.

Apakah ini dikarenakan tingginya tingkat partisipasi individu dalam jaringan kelompok radikal di kampus? Kemudian pada bagian ketiga membandingkan sejauh mana pelajar SMA dan mahasiswa/i perguruan tinggi terpapar paham radikal di dunia maya dan terjerumus pada ujaran kebencian (hate speech).

Bagian pertama Mun’im Sirry mengetengahkan beberapa lembaga survei seperti Setara Institute, Wahid Institute, dn Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) yang secara umum mengemukakan bahwa sebagian pelajar SMA dari 34 provinsi di seluruh Indonesia terpapar paham radikalisme. Namun penelitian Mun’im Sirry cenderung berbeda dari hasil survei tersebut.

***

Sebagaimana dikatakan Mun’im Sirry, ia mengungkapkan sebanyak 12 SMA dan 500 pelajar di Jawa Timur sebagian besar sangat mendukung gagasan toleransi. Bagi mereka – dalam temuan Mun’im Sirry – tidak masalah kalau berteman dengan orang yang berbeda agama dan mereka tegas menolak aksi-aksi kekerasan dan penganiayaan yang menjadi ciri khas aksi kelompok-kelompok radikal.

Tanpa diduga sebelumnya, Sirry telah menguak dinamika yang diabaikan dalam beberapa lembaga survei di atas. Dinamika yang dimaksud adalah bagaimana pandangan kalangan remaja terkait isu-isu krusial seperti pluralisme masyarakat dan navigasi perbedaan agama terdinamisasi begitu variatif dan ekstensif. Sebagaimana argumen yang dibangun dalam buku ini, kalangan remaja sebenarnya tidak memiliki keyakinan yang established dalam menjalani pengalaman keseharian mereka tatkala berinteraksi dan berdialektika dengan orang yang berbeda keyakinan agama sehingga mereka cenderung menerima gagasan toleransi agama hanya setengah hati.

Lebih lanjut, penjelasan Sirry cukup knowledgeable dalam memperkaya perspektif kita dan berbagai teori tentang radikalisasi dan deradikalisasi, serta membantu mengungkap permasalahan radikalisme di kalangan anak muda, khususnya di kampus-kampus.

Remaja, Pendidikan, dan Radikalisasi

Dalam pengantarnya, Sirry mengemukakan bahwa topik kaitan dunia pendidikan dengan radikalisasi sudah banyak dibahas namun sebagian besar baru berfokus di negara Barat. Karena itu, dalam buku ini Sirry menawarkan diskusi aktual teoretis mengenai faktor-faktor kompleks yang membentuk weltanschauung kalangan kaum muda tentang keragaman agama beserta cara meresepsinya dan juga awal mula hingga bagaimana mereka bisa terpapar paham radikal.

Baca Juga  Kata yang Rapuh: Bahasa Indonesia akan Hancur Jika Kita Lebih Suka Bahasa Asing

Lebih jauh, Sirry juga menguak bagaimana proses deradikalisasi di kalangan remaja serta bagaimana mereka berhasil keluar melepaskan diri dari jeratan ideologi radikal. Bagi Sirry, persoalan bagaimana kalangan remaja Indonesia bisa terpapar paham radikalisme ini sangat menarik, bukan hanya karena Indonesia merupakan salah satu negara paling beragam dalam hal agama, etnisitas/ kesukuan, sosio-ekonomi, melainkan juga kompleksitas sistem pendidikannya.

Buku ini akan memperlihatkan bahwa infiltrasi ideologi radikal ke dalam lembaga-lembaga pendidikan Indonesia berlangsung dalam suatu cara yang bukan sebagai hasil indoktrinasi sebagaimana terjadi di madrasah radikal di Pakistan atau di Bangladesh, namun juga bukan semata disebabkan oleh konten-konten radikal di dunia maya.

***

Secara sosiologis, dinamika dan pergulatan keterlibatan mahasiswa baru dalam kelompok radikal ini menarik untuk dicermati, karena mereka hadir, dalam kata-kata McNay yang dikutip Bagong Suyanto, “self-determining agents yang mampu menantang dan melawan struktur dominasi.” Bahkan ada juga yang memilih jalan deradikalisasi dengan melepaskan diri dari lingkungan radikalisme. Temuan dalam buku ini juga telah mengkonfirmasi kesimpulan Aly dan Striegher bahwa “tidak ada satu jalan menuju radikalisasi dan tidak ada pola yang berbeda untuk membuat profil individu melalui tahapan radikalisasi mana pun” dan deradikalisasi.

Dengan menyingkap motif atau motor penggerak utama hingga mereka bertransmutasi menjadi radikal, buku ini menawarkan eksplanasi kritis dengan segudang pertanyaan berbobot yang menarik untuk dielaborasi lebih lanjut. Tentu keberagaman motif juga mengonfirmasi bahwa radikalisasi tidak mesti berakhir dengan aksi teroris dan kekerasan sebagaimana yang sudah menjadi pemahaman umum.

Akan tetapi, sebagian besar kalangan muda radikal ini, dalam hemat Sirry, ternyata menolak cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, meskipun sesungguhnya dalam gradasi tertentu mereka juga berpandangan ekstrem seperti mendukung sistem kekhalifahan, menolak ideologi kemajemukan Indonesia berdasar Pancasila, atau memperlihatkan sikap-sikap intoleran terhadap kelompok non-Muslim dan minoritas lain.

Tanpa mengurangi kerenyahan dan keistimewaan buku ini, kajian dalam buku ini, layaknya penelitian yang masih terus bisa berkembang, perlu mendalami langkah preventif atau pencegahan sejak dini sehingga anak-anak muda kita tidak terpapar dan terjerumus dalam aksi-aksi radikal dan ekstremisme beragama. Akan lebih baik jika kajian pengembangan buku ini ditindaklanjuti dalam kerangka teoritis maupun praksis bagaimana merumuskan langkah yang tepat untuk mengantisipasi infiltrasi paham radikal mulai dari hulu hingga hilir sehingga Islam Indonesia tetap menikmati reputasinya sebagai jawara Islam moderat.

Daftar Buku

Judul Buku  : Pendidikan dan Radikalisme: Data dan Teori Memahami Intoleransi Beragama di Indonesia

Penulis        : Mun’im Sirry

Penerbit      : Suka Press

Terbit          : 2023

Tebal           : 427 Halaman

ISBN : 978-623-7816-70-6

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *