Ibnu Taimiyah – Menurut Hamka, tasawuf merupakan suatu jalan kerohanian atau kebatinan yang merupakan suatu pandangan hidup dalam perkembangan agama Islam.
Pada awalnya, pandangan hidup tersebut bercermin dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Namun, oleh para ahli tasawuf menghubungkannya dengan filsafat, etika, estetika, dan lain-lain (Hamka, 2018: xi).
Pada akhirnya melahirkan khurafat dan tahayul dalam corak dan praktik tasawuf yang kemudian menuai kritikan dari Ibn Taimiyah terhadap tasawuf.
Biografi Ibnu Taimiyah
Ibn Taimiyah mempunyai nama lengkap Taqiyuddin Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah. Beliau lahir di kota Harran, Syria pada 10 Rabi’ul Awwal 661 H dan wafat di Damaskus pada 20 Dzulqaidah 728 H.
Ayahnya bernama Syihabuddin Abd al-Salam (627-672 H) adalah ulama besar yang mempunyai jabatan tinggi di Masjid Agung Damaskus, yaitu menjadi imam besar dan khatib di masjid tersebut.
Selain itu, beliau adalah guru dalam bidang tafsir dan hadis. Abd al-Salam juga menjabat sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadits al-Sukkariyah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam bermahzab Hanbali (Zaenudin Idris, 2019: 104).
Ibn Taimiyah merupakan seorang Hanabilah yang cenderung tekstual dalam memahami nash dan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Dalam hal tasawuf, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa istilah sufi lebih tepat dinisbahkan kepada kata suf (bulu domba) yang identik dengan zahid awal yang dianggap sebagai cikal bakal kaum sufi.
Maka, Ia menolak pendapat yang menyatakan bahwa kata sufi dinisbahkan kepada ahl al-suffah, karena jika demikian akan menjadi sufiah. Demikian juga dinisbahkan kepada saff al-awwal berarti menjadi safiah yang juga tidak tepat penisbahannya kepada safa, karena akan menjadi safa’iah atau safawiah.
Ibn Taimiyah Membahas Tasawuf
Dengan metode historis, Ibn Taimiyah membahas pertumbuhan dan perkembangan tasawuf. Pertama-tama, Ia melihat kepada dua sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis, pemahaman generasi salaf (sahabat dan tabi’in).
Setelah mempertimbangkan ucapan-ucapan generasi salaf tersebut, Ibn Taimiyah mengkaji pemikiran tokoh-tokoh setelah tabi’in.
Kritik Ibn Taimiyah terhadap pandangan kaum sufi adalah adanya dikotomi antara tasawuf dengan fiqh dan hadits yang justru memalingkan diri dari ajaran Islam yang sebenarnya (Syaifan Nur, 2017: 67-69).
Sufi-Sufi yang Dikritik oleh Ibnu Taimiyah
Ia juga mengkritik kaum sufi yang dianggapnya menyeleweng, yaitu:
Pertama, Abu Yazid al-Bustami (804-874 M) mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan tasawuf yang mana seorang sufi telah merasa menyatu dengan Tuhan. Atau tingkatan yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu menjadi satu. Sehingga, salah satu dari mereka dapat memanggilnya dengan “Hai Aku”. Dalam al-Ittihad, fana’-nya sufi membuat dia kehilangan kesadaran dan berbicara dengan nama Tuhan.
Kedua, al-Hallaj (866-923 M) dengan ajaranya al-Hulul, yaitu konsep yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di dalamnya setelah manusia tersebut lenyap sifat-sifat kemanusian.
Menurut al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat dua unsur, yaitu nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Dengan dua unsur yang dikemukakan al-Hallaj, persatuan antara manusi dengan Tuhan dapat terwujud dengan hulul.
Ketiga, Ibn ‘Arabi (1165-1240 M) yang mengembangkan konsep hulul menjadi menjadi wahdatul wujud.
Ibn ‘Arabi mengubah nasut menjadi al-khalq dan lahaut menjadi al-Haq. Menurutnya, kedua unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk yang ada ini dalam aspek lahiriah dan aspek batiniah.
Pembagian Fana’ Menurut Ibnu Taimiyah
Kemudian, Ibn Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga, yaitu fana’ ibadah (fana’ dalam ibadah), fana’ Syuhud al-Qalb (fana’ pandangan hati), dan fana’ wujud Ma Siwa Allah (fana’ terhadap wujud Allah).
Ibn Taimiyah mengkritik fana’ wujud ma Siwa Allah yang dianggapnya kufur, karena wujud Khalik adalah wujud makhluq yang berarti tidak mengakui adanya wujud selain Allah yang menurut Ibn Taimiyah kafir dan zindiqyang patut dijatuhi hukuman mati.
Ibn Taimiyah cenderung bertasawuf dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti tarekat tertentu, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.
Tasawuf ala Ibn Taimiyah ini, cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang (Amin Syukur dan Masharudin, 2002: 29-33).
Maksud dari Ibn Taimiyah mengenai tasawuf adalah mengembalikannya kepada ajaran kerohanian dan kebatinan ala Nabi Muhammad dan mempersempit ruang gerak akal tentang konsepsi Tuhan.
Editor: Yahya FR