Inspiring

Naturalisme Al-Razi: Akal adalah Anugerah Terbesar!

3 Mins read

Perkembangan Teologi Naturalisme di Barat

Pengkajian mengenai suatu kepercayaan kepada Tuhan dan agama memanglah menjadi soal yang tidak akan pernah ada habisnya.

Sebab, manusia pada dasarnya tidak akan pernah bisa dilepaskan dari unsur-unsur kerohanian yang akan terus menjadi misteri selama masih mengada dalam semesta.

Dalam sejarah dunia kefilsafatan Barat, teologi naturalisme pernah berkembang menjadi paham-paham radikal. Yang pada mulanya, diawali oleh gerakan humanisme di Italia pada abad ke-14. Kemudian renaissance, aufklarung, lalu memuncak menjadi paham radikal mulai abad ke-16 sampai abad ke-18.

Secara global, pokok-pokok pemikiran mereka adalah menganggap bahwa alam semesta ini selain sudah memiliki hukum-hukum yang pasti, juga alam sudah sempurna, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi Tuhan (Himsyari Yusuf, 2013).

Teologi Naturalisme Al-Razi

Berbeda halnya dengan konsep teologi naturalisme Al-Razi yang bernuansa naturalis-Islamis. Demikian Al-Razi juga menolak pemikiran filosof Yunani seperti Socrates yang cenderung spiritualis-metafisis, menolak pemikiran Plato yang cenderung idealis, dan menolak pemikiran Aristoteles yang cenderung mekanistis-biologis.

Dengan penolakan-penolakan di atas, artinya Al-Razi telah memfilter mana yang sesuai dengan paradigma Islam dan mana yang menyimpang. Sehingga ia menceburkan dirinya kejalan filosofis dari pada jalan teologis dalam mencari kebenaran.

Kecenderungan ini, tidak kemudian membuatnya untuk menolak dasar-dasar teologis atau metafisis tentang eksistensi Tuhan. Melainkan, ia menggunakan naturalisme sebagai metodologi untuk menguatkan peran-peran kemanusiaan.

Dalam lintas sejarah pemikiran Islam, Al-Razi tidaklah berdiri sendiri dalam teologi naturalisnya. Ada pula beberapa filosof lainnya yang membangun gagasan-gagasannya dengan melalui metodologi naturalis, seperti Ibnu Miskawaih (w. 442 H/1032 M) dengan karyanya yang berjudul Al-Asghar (kebahagiaan kecil) yang menjelaskan tentang konsep evolusi naturalistik manusia dalam proses kehidupan.

Baca Juga  Cara Berpikir Qur'ani Mulla Shadra

Ada pula Ibnu Sina (w. 428 H/1032 M) yang juga menjelaskan tentang konsep gradasi tentang yang ada (gradation of being) dari alamiah sampai menjadi sosok pribadi yang berakal. Hal demikian juga dikembangkan oleh Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Khaldun yang memaparkan tentang evolusianisme dan naturalisme dalam memahami realitas.

Biografi Al-Razi

Al-Razi memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Ibn Yahya Al-Razi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Al-Razi saja. Dan di Barat, nama Al-Razi dikenal dengan nama Rhazes.

Ia lahir di daerah Ray, dekat Teheran, Persia pada 1 Sya’ban 251 H (865 M.) dan wafat pada 5 Sya’ban 313 H (925 M). Ia hidup pada masa pemerintahan Dinasti Samaniyah (204-395 H). Pada masa mudanya, Al-Razi dikenal sebagai tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi.

Dikota Ray pula, Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada madrasah Ali ibn al-Thabari (w. 240 H/855 M), dan belajar filsafat kepada al-Balkhi, seorang pengembara yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.

Dengan tingkat ketekunan yang tinggi dalam menggeluti bidang keilmuan serta kecerdasannya, telah membuatnya menjadi doktor terbesar yang terlahir dari rahim sejarah keemasan Islam. Ia juga telah menghasilkan lebih dari 200-an karya yang berkelindan di tiga tema besar yakni kedokteran, ilmu-ilmu alam, dan filsafat.

Karya terbesar Al-Razi adalah al-Khawi yang berbicara tentang ilmu kedokteran. Sementara dalam bidang filsafat, Al-Razi menulis al-Sirah al-Falsafiyyah, Rasa’il al-Falsafiyyah, dan al-Ilm al-Ilahi.

Gagasan Naturalisme Al-Razi

Dalam menelusuri pemikiran atau sisi nalar naturalisme Al-Razi, dapat disederhanakan dalam beberapa gagasan. Gagasan yang paling fenomenal Al-Razi adalah al-Aql (akal). Menurut H. Zuhri, akal bagi Al-Razi merupakan salah satu unsur penting dalam menelusuri sisi naturalisme (H. Zuhri, 2015).

Baca Juga  Imam Syafii Tak Pernah Mengharamkan Filsafat

Sebagaimana yang ditulis dalam al-Thibb al-Ruhani, akal merupakan salah satu elemen psikis yang dianggap sebagi karunia Tuhan yang paling besar, paling berguna, dan paling baik atas diri manusia, yang melebihkan manusia atas makhluk-makhluk lain.

Masih menurutnya, akal juga memungkinkan manusia untuk meningkatkan derajat hidupnya, membuat manis, dan indah kehidupan, serta membantu meraih berbagai tujuan dan cita-cita.

Sisi naturalisme Al-Razi yang lain adalah tentang proses penyebaran agama di suatu masyarakat. Menurut Al-Razi, proses penyebaran agama di suatu masyarakat tidaklah berlangsung secara terbuka atau terang-terangan.

Dalam proses penyebaran tersebut para pemimpin keagamaan cenderung memanipulasi rasionalitas dan memberi jarak dalam membaca fenomena-fenomena naturalistik dengan menyelipkan doktrin-doktrin atau ajaran kegamaan.

Sehingga, Al-Razi lebih menekankan pendekatan Burhani, yakni pendekatan filsafat dengan asumsi bahwa akal tidak akan bertentangan dengan agama dan sebaliknya, agama yang benar tidak pula akan bertentangan dengan hukum-hukum akal.

Kemudian pandangan tersebut menjalar ke konsep kenabian dan menanyakan dimana letak urgensi kenabian. Al-Razi bertanya, apakah secara naluri dan alamiah dengan akalnya manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, jawabnya, tentu saja dapat. Jika demikian halnya maka dimana letak urgensi kenabian?

Pertanyan tersebut, tidak lantas Al-Razi menghapus konsep kenabian. Melainkan pertanyaan tersebut menjadi titik tekan Al-Razi, bahwa meskipun ada nabi, maka tidak serta-merta melepaskan nalar intelektualitasnya untuk mencapai kebenaran. Justru nalar intelektualitas itulah letak asali manusia yang sebenarnya, yang melebihkannya dari makhluk-makhluk lainnya.

Wallahu A’lam Bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *