Falsafah

Konsep Tuhan Feuerbach dan Al-Farabi, Apa Bedanya?

3 Mins read

“Lain ladang, lain belalang”. Itulah yang cukup untuk melukiskan perbedaan mendasar dari segi infrastruktur Feuerbach dan al-Farabi dalam membangun argumen-argumen tentang Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir.

Tentu berbeda antara Kristen dan Islam baik dari segi peribadatan, budaya hingga peradabannya, walaupun sama-sama meng-Esa-kan Tuhan sebagai yang Awal dan yang Akhir; sama-sama bermunajat dan meritual keagamaan yang telah diaturnya sedemikian rupa. 

Memang tak terbantahkan bahwa Tuhan adalah pusat dari keseluruhan atas ciptaan dan sebagai Pencipta bagi keseluruhan yang mengada dalam kesemestaan.

Tuhan Sumber Kebahagiaan

Aksioma-aksioma seperti ini lantas di perkuat lagi oleh St. Augustinus (354-430) yang mengatakan, “Hanya dalam Tuhanlah, manusia dapat mencapai kebahagiaan”. Pemikiran-pemikirannya kala itu sangat berpengaruh pada keagamaan di dunia Eropa.

Demikian pula St. Thomas Aquinas (1225-1274) sebagai pelengkap Augustinus yang juga mengatakan bahwa “Tujuan manusia adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan yang sejati itu ialah dapat memandang yang Ilahi, yakni Tuhan itu sendiri” (Suseno, 1996: 82).

Augustinus dan Aquinas sama-sama bertolak pada pemikiran Aristoteles, tetapi mereka memberikan dimensi baru dalam membangun argumen-argumen rasio yang memanipulasi logika untuk meyakinkan bahwa inilah (Kristen) agama yang benar, yang dapat membawa kebahagiaan yang sejati dalam naungan Ilahi.

Pada abad ke tiga dan ke empat, dunia Kristen kala itu sedang bersitegang antara paham Arianisme dengan paham Alexander. Paham Arianisme meyakini bahwa Zat Yesus Kristus itu berbeda dengan Zat Tuhan Allah. Sementara paham Alexander menyatakan sebaliknya, bahwa Zat Yesus Kristus dan Tuhan Allah itu sama.

Ketika Filsafat Dilarang untuk Dipelajari

Kendati demikian, maka terjadilah sidang Agung Gereja atau konsili yang diprakarsai oleh Konstantin di Nicea pada tahun 325 M. Dikarenakan adanya pengaruh Kaisar, walhasil sidang tersebut dimenangkan oleh keyakinan Alexander dan keyakinan tersebut menjadi agama negara yang sah.

Baca Juga  Sejak Kapan Allah Ada?

Adapun beberapa putusan yang sangat ironi, yaitu dilarangnya mempelajari filsafat dan alam pikiran Yunani dan hanya diperbolehkan untuk mempelajari logika Aristoteles seperti Eisagoge, Categories dan DE Interpretation saja (Bunyamin, 2020: 24).

Feuerbach: Tuhan adalah Proyeksi Imajiner Manusia

Kaitannya dalam hal ini, Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah sosok filsuf yang secara tajam mengkritisi agama Kristiani. Seperti pada tulisannya “The Essence of Christianity”, yang menurut Feuerbach Tuhan dan agama adalah proyeksi imajiner manusia.

Artinya, dalam kesadaran manusia terdapat ide-ide atau sebentuk pengetahuan yang keluar dari dalam manusia sebagai “engkau” ketika manusia dideferensiasi dalam dirinya antara “aku” dan “yang lain”. Yang juga berarti bahwa kesadaran manusia akan Tuhan tak lain adalah kesadaran akan dirinya sendiri (Hasiholan, 2017: 4).

Selain itu, Feuerbach juga menolak pemikiran Hegelian yang didalamnya terdapat kesadaran sebagai entitas-entitas dan predikat-predikat abstrak lainnya. Karena Feuerbach sendiri meyakini bahwasannya kodrat tertinggi itu hanyalah kebenaran material; bukan Ide Absolut.

Baginya, yang awal, tengah, dan akhir dari pada Tuhan dan agama ialah manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itulah biang keladi atas proyeksi imajinatif tentang agama, bahkan Tuhan sekalipun. Dengan sebab-sebab itulah, Feuerbach hendak ingin menerangi esensi gelap agama dengan obor rasio. 

‘Gelap’ yang dimaksud Feuerbach di sini tiada lain adalah kegelapan yang dibuat oleh agamawan yang merendahkan kemanusiaan dan meninggikan Tuhan, yang padahal Tuhan itu hanyalah sebentuk ciptaan kesadaran manusia.

Dengan begitu, sebenarnya Feuerbach memiliki misi untuk meninggikan derajat kemanusiaan, yakni manusia itu seharusnya bekerja dengan tekun, bukan malah bermunajat atau berdoa dengan tekun.

Karena bagi Feuerbach, agamalah yang sebenarnya membuat penyakit-penyakit spiritual, yakni penyakit egoisme atau individualisme pada moral manusia.

Baca Juga  Islam dan Demokrasi: Pandangan Sarjana Kristen Palestina Joseph Massad (Bagian 2)

Konsep Ketuhanan Menurut Al-Farabi

Berbeda halnya dengan konsep ketuhanan al-Farabi (872-950) yang mendudukkan Tuhan sebagai yang Murni (Maha Suci), bukan atas proyeksi imajiner manusia.

Dalam hal ini, sebenarnya al-Farabi telah menyinggungnya, di mana ia mengklasifikasikan daya-daya manusia kedalam empat daya yang terususun secara herarkis, yakni: daya nutritif, daya inderawi, daya imajinatif, dan daya rasional.

Menurut al-Farabi, daya imajinatif manusia berperan penting dalam hal kenabian dan ketuhanan. Imajinasi atau takhyil adalah sama dengan Phantasia-nya Aristoteles. Ia merupakan daya penyimpan dan penimbang yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan tentang hal yang dapat di indera setelah objek-objek itu lenyap dari indera, kemudian meyusunnya kembali dan membentuk citra baru (Hafid, 2007: 238).

Barang kali berangkat dari sanalah Feuerbach hendak menggugat esensi yang ada di dalam agama Kristiani. Sementara al-Farabi yang merupakan seorang muslim, ia menyebut Tuhan itu sebagai “Akal Murni”. Yang dengan ini berarti ia meyakini secara penuh bahwasannya ajaran ketauhidan dalam agama Islam adalah benar adanya.

Dalam gagasan filosofisnya, ia memperkenalkan teori Emanasi yang didalamnya terdapat runtutan akal; mulai akal pertama (Akal Murni/Tuhan) hingga akal kesepuluh. Dari akal ke sepuluh inilah bumi muncul beserta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar, seperti: air, udara, api, dan air .

Dan terjadinya atau timbulnya fenomena alam seperti langit, bintang, bulan dan planet-planet itu adalah hasil dari akal-akal yang berpikir tentang dirinya dan mengahasilkan fenomena-fenomena kealaman tersebut.

Konsep Tuhan: Antara Al-Farabi dan Feuerbach

Jadi secara tidak langsung, al-Farabi di sini telah menjawab fakta sejarah dan kebenaran agama, sementara Feuerbach sendiri merupakan saksi atas proyeksi imajiner keagamaan Kristiani.

Baca Juga  Saya Terkucilkan di Sekolah Karena Belajar Logika dan Filsafat

Walaupun sebenarnya mereka berdua juga tidak secara langsung membenarkan atau menyalahkan satu agama dengan agama yang lainnya. Akan tetapi satu dengan yang lainnya telah memberikan gagasan filosofisnya yang berdasarkan akal mustafad; akal yang dapat menangkap cahaya yang di pancarkan oleh Tuhan.

Wallahu A’lam Bishawab.

Editor: Yahya FR

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds