Biografi Frithjof Schuon
Nama Frithjof Schuon masih asing di telinga kita, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dialah salah seorang intelektual yang menginspirasi penuh keintelektualan Seyyed Hossein Nasr, salah seorang intelektual muslim kontemporer.
Frithjof Schuon lahir di Basel, Swiss, pada tahun 1907. Semenjak usia dini ia sudah gemar mempelajari filsafat Plato dan karya-karya Goethe, penyair kondang Jerman. Selain itu, ia juga gemar membaca Bhagavad Gita, Weda, yang didapat dari koleksi pribadi ayahnya.
Pada usia 17 tahun, Schuon sudah sering berkorespondensi dengan Rene Guenon, salah seorang intelektual Islam asal Perancis yang waktu itu berdiam di Kairo. Schuon menggunakan kehidupannya sebagai medan pengembaraan spiritual yang pada akhirnya ia memutuskan memeluk Islam.
Dikabarkan bahwa Schuon masuk Islam di tangan salah seorang mursyid Syadziliyyah, Syaikh al-‘Alawi, dan kemudian Schuon diberi nama Isa Nur al-Din Ahmad.
Schuon juga seseorang yang menggandrungi metafisika Timur. Saat di Paris ia bekerja sebagai tukang jahit, ia juga menyempatkan waktu untuk belajar bahasa Arab di sebuah masjid.
Schuon menikah dengan seorang seniman, bernama Catherin Schuon, yang juga gandrung perihal metafisika. Schuon meninggal pada tahun 1998, pada usianya yang ke-91 tahun (Kania: 2014).
Frithjof Schuon dan Metafisika Universal
Karya-karya Frithjof Schuon pada kenyataannya mengisi suatu tempat khusus yang menyangkut metafisika dan agama, sekaligus yang berusaha mempermasalahkan filsafat Barat. Nada pembicaraannya yang otoritatif, ungkapannya yang jelas, dan alkimianya yang mengubah bahasa manusia mengemukakan kebenaran-kebenaran terdalam.
Pandangan Schuon adalah pandangan yang menyangkut metafisika universal. Schuon menggabungkan wawasan metafisikanya yang tiada bandingannya dengan pengetahuannya yang luas dan bestari mengenai pelbagai agama dalam aspek doktrinal, etika, estetika, lebih-lebih spiritual.
Ia berupaya menelisik pada jeluk terdalam mengenai tradisi-tradisi agama yang berlainan. Selain itu, Schuon mengkritik secara filosofis peradaban Barat modern dengan berbagai penyimpangannya (Schuon: 1998).
Ia mempromosikan agar kata filsafat (philosophy) dikembalikan ke makna etimologinya, cinta (philo) kebijaksanaan (sophia), bukan malah misosophia (benci kebijaksanaan).
Pandangan Schuon tentang Konsep Dasar Islam
Agama Islam terdiri dari tiga elemen. Pertama, iman, yang mengandung segala sesuatu yang harus dipercaya; Kedua, Islam, syariat atau hukum, yang mengandung segala yang harus dilakukan; dan Ketiga, ihsan, tindakan kebajikan, yang memberikan arahan untuk melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan, atau dengan kata lain, yang memperdalam iman dan tindakan.
Ihsan secara ringkas, menurut Schuon, adalah ketulusan dari kehendak dan inteligensi. Ihsan merupakan keterikatan total kepada Kebenaran (al-Haqq) dan kepatuhan sepenuhnya kepada syariat. Yang berarti bahwa, di satu pihak mengenal al-Haqq sepenuhnya, dan di lain pihak mematuhi syariat dengan seluruh keberadaan yang terdalam—tidak hanya setengah-setengah serta pura-pura. Jadi, ihsan di sini bertemu dengan esoterisme (aspek batin agama) atau bahkan identik dengannya (Schuon: 2000).
Hal-ihwal di atas, maksud Schuon, merupakan premis-premis dari persepektif Islam, yang menjelaskan setiap aplikasinya dan harus tak boleh dilalaikan oleh siapa pun pemeluknya untuk memahami setiap bagian dari aspek Islam.
Schuon juga menjelaskan bahwa dua prinsip mendasar tentang Tuhan (the Absolute) dan tentang manusia dapat ditemukan dalam dua kalimat syahadat Islam.
Pertama, “La ilaha illa ’Llah” yang bertumpu pada Tuhan, dan yang kedua “Muhammadur rasulu ’Llah” yang bertumpu pada misi kenabian.
Sebenarnya kedua kalimat syahadat tersebut, menurut Schuon, berpuncak dalam kata “Allah” yang meliputi dan sekaligus mengatasi segenap keberadaan.
Dalam nama “Allah”, suku kata yang pertama diucapkan pendek, singkat, menunjukkan “Yang Absolut”, sedangkan yang kedua lebih panjang, meluas, menunjukkan “Yang Tak Terhingga”.
***
Konsep dasar Islam semuanya, sebagaimana diakui Schuon, dibabarkan dalam Al-Qur’an. Bagi Schuon, Al-Qur’an adalah teofani agung dalam Islam.
Al-Qur’an menjadi pemisah (al-furqan) antara benar dan salah. Dalam arti keseluruhan, Al-Qur’an—yang terkadang disebut sebagai al-Furqan—merupakan kumpulan parafrase yang mengekspresikan syahadat (Schuon: 2011).
Sementara itu, sunah Nabi SAW (hadis) juga menjadi penting sebagai pedoman kedua untuk menuntun keberislaman umat muslim.
Schuon mengaitkan Al-Qur’an dengan “amalan” (sunah / hadis) Nabi. Menurutnya, sunah Nabi SAW terdiri atas beberapa dimensi, yakni fisik, moral, sosial, spiritual, dan lain-lain.
Bahkan di atas semuanya, dalam hierarki nilai-nilai, Schuon mengakui bahwa terdapat sunah ruhani yang menyangkut “ingat kepada Tuhan” (dzikr) dan prinsip-prinsip “perjalanan spiritual” (suluk).
Dalam titik ini, Schuon menunjukkan kecenderungannya pada tasawuf. Dengan demikian, Schuon mengakui bahwa seluruh sunah Nabi SAW mengacu pada hubungan antara Tuhan dan manusia (Schuon: 1998).
Bukanlah aneh mengapa Seyyed Hossein Nasr, dengan satu dan lain cara, sering mengutip atau meminjam cara pandang Schuon dalam mengkritik modernisme Barat.
Sebab, Schuon, sebagai orang Barat sendiri, tahu betul dan memahami secara jernih kerusakan nilai yang terjadi dalam peradaban Barat. Pemikiran Schuon ini menjadi penanda penting pergeseran metafisika yang kembali pada spiritualitas.
Editor: Yahya FR