News

Peran Muhammadiyah: Penguatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya

4 Mins read

IBTimes.ID – Maarif Institute dan Institut Leimena berkolaborasi bersama Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, RBC Institute A. Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust, berupaya menguatkan literasi keagamaan lintas budaya masyarakat melalui penyelenggaraan Webinar Internasional bertajuk “Kontribusi Madrasah dalam Kerukunan Umat Beragama”, yang akan diadakan pada Sabtu (28/8).

Kegiatan ini akan menghadirkan sejumlah narasumber nasional dan internasional, di antaranya Dr. Amirsyah Tambunan, MA (Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia), Dr. Chris Seiple (Senior Fellow, University of Washington), Prof. Dr. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat UIN Sunan Kalijaga); Aly Aulia, Lc. M.Hum (Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta); dan Samah Norquist (Mantan Penasehat Utama Kebebasan Beragama Internasional, USAID).

Pengalaman Muhammadiyah: Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Adalah Prof Syafiq A Mughni dalam pidato kuncinya bercerita tentang pengamanan Muhammadiyah. Sepuluh tahun silam, ada seorang tokoh Evangelis datang ke kantor PP Muhammadiyah. Ia menyatakan akan ada konferensi 2 minggu yang akan menghadirkan 10 tokoh muslim, Kristen, dan Yahudi ortodoks. Mengapa Muhammadiyah yang diundang? Menurut Ketua PP Muhammadiyah itu, hal tersebut dikarenakan Muhammadiyah aktif menyelenggarakan pendidikan Islam, sekaligus mendorong perdamaian di Indonesia.

Menurut Syafiq Mughni, Muhammadiyah memiliki pikiran-pikiran dalam berbagai dokumen resminya yang menganjurkan toleransi, menghargai pendapat orang lain, dan menghargai perbedaan. Ia juga menyebut bahwa umat Islam tidak didorong untuk memperbanyak musuh, melainkan memperbanyak kawan.

“Bekerja sama dengan pemerintah, dengan seluruh kelompok Islam, dan umat lain sekalipun beda agama. Kita didorong berkerja untuk siapapun, untuk melahirkan kehidupan yang memenuhi hajat kehidupan orang banyak,” ujarnya dalam Webinar yang digelar oleh Maarif Institute dan Institut Leimena. Sabtu (28/8). Dalam kesempatan ini, ia hadir untuk memberikan ceramah kunci.

Islam untuk Semesta Alam

Senada dengan Syafiq Mughni, Panelis pertama Buya Amirsyah Tambunan menyebut bahwa sejatinya, agama mengajarkan keamanan, kenyamanan, ketertiban, dan kedamaian. Akan tetapi, agama juga mendorong pemeluknya untuk senantiasa berpikir jernih, jujur, dan melarang kekerasan, kezaliman, manipulasi dan korupsi.

Baca Juga  Anomali Wajah Politik-Agama

“Mengapa umat beragama justru melakukan hal-hal yang dilarang? Ini tidak mudah dijawab karena kita hidup dalam situasi yang dinamis, dalam persaingan yang kompetitif dan terkadang tidak sehat,” ujar Buya Amirsyah.

Menurutnya, Rasulullah SAW tidak hanya diutus untuk kelompok tertentu, melainkann untuk seluruh manusia dan alam. Maka Islam mengajarkan toleransi dan kasih sayang. Islam bukan agama yang menolak nilai-nilai kemanusiaan.

Pendekatan Baru Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Sementara itu, Chris Seiple menyebut bahwa literasi keagamaan lintas budaya bukan berarti mencampur adukkan agama. Literasi keagamaan lintas budaya juga bukan sekularisme. Ia justru sangat memperhitungkan kemahakuasaan Tuhan. Karena literasi tersebut tidak merendahkan yang lain.

“Mengetahui pihak lain, bukan untuk mengangkat agamanya, melainkan martabatnya. Sehingga bisa bekerja sama dan saling mendengar. Ini dibuat dari konteks lokal. Jadi bukan benda asing yang dipaksakan untuk masuk ke dalam budaya tertentu,” tegasnya.

Menurutnya, ada tiga kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh setiap umat beragama. Pertama, kompetensi personal. Kompetensi ini digunakan untuk memahami diri sendiri. Kedua, kompetensi komparasi. Kompetensi ini digunakan untuk memahami agama yang berbeda sebagaimana memahami diri sendiri. Ketiga, kompetensi kolaborasi, agar antar umat beragama dapat bekerja sama.

Multidisiplin, Interdisiplin, dan Trandisiplin sebagai Pondasi Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Sementara itu, Amin Abdullah menyampaikan bahwa guru madrasah harus memegang erat surat Al-Hujurat ayat 11-13. Menurutnya, ayat tersebut mengajarkan agar sesama umat beragama (1) saling mengenal, (2) tidak saling merendahkan, (3) menghindari buruk sangka, (4) tidak mencari-cari kesalahan orang lain; (5) tidak saling mengejek (menggunjing), bahkan tidak berburuk sangka dan mencari kesalahan-kesalahan agama lain.

“Inti keberagamaan yang disebut dalam Alquran itu 3 saja. Iman kepada Allah (man aamana billahi), hari akhir (wal yaumil akhir), dan amal saleh (wa amila shalihan). Ini penting sekali bagi guru agama, guru madrasah, dan guru-guru pada umumnya. Bahkan kita harus berbuat baik dan adil kepada semua umat beragama di dunia. Masing-masing agama punya doktrin seperti ini,” tegas pria kelahiran Pati, Jawa Tengah tersebut.

Baca Juga  Marpuji Ali: Memperluas Dimensi Al-Maun

Menurutnya, madrasah adalah titik temu antara pesantren dan sekolah, bukan dikotomi antara ilmu umum dan agama. Padahal, dulu dua entitas tersebut tidak bisa bertemu. Di madrasah tidak ada egoisme keilmuan, tetapi saling menembus, saling memberi masukan, saling memberi imajinasi kreatif. Metode seperti itu yang diinginkan oleh literasi keagamaan lintas budaya.

Madrasah, imbuh Amin Abdullah, harus mampu mengkombinasikan antara teologi, pedagogi, sosiologi, antropologi, psikologi, dan lain-lain. “Guru-guru madrasah di Indonesia sudah memiliki landasan untuk itu. Jadi di Indonesia ini luar biasa,” tutup Amin Abdullah.

Karena itu, lanjut Amin Abdullah, di tangan guru madrasah yang kompeten nasib bangsa bergantung. Terutama dalam membangun hubungan antara materi keagamaan Islam dan ilmu sosial dan sains kealaman yang integratif.

Guru adalah kunci untuk memainkan proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai universal seperti toleransi, hidup berdampingan secara damai, saling memahami, terbuka menerima kehadiran orang lain yang berbeda, baik dari segi etnis, kultur, adat istiadat, agama, dan budaya.

Pengalaman Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Aly Aulia dalam pemaparan materinya menyebut bahwa madrasah berada di tengah-tengah antara pesantren dan sekolah Islam. Namun, di sisi lain, madrasah sering mendapatkan stigma sebagai penghambat kemajuan Islam. Dalam perkembangannya, madrasah memiliki tantangan perkembangan global dan teknologi.

“Madrasah memiliki peran yang harus direaktualisasikan. Madrasah mampu merealisasikan pembaharuan sistem pendidikan Islam. Madrasah juga harus menjembatani sistem pendidikan. Dengan kaidah menjaga tradisi yang baik sekaligus mengambil kemajuan yang lebih baik. Ini adalah salah satu prinsip pengelolaan madrasah,” ujar Ali.

Maka madrasah harus menghasilkan lulusan yang tidak hanya pintar dalam agama, namun juga pintar dalam mendakwahkan agama dan memberikan kemaslahatan di tengah masyarakat.
Ada tiga aspek penting dalam madrasah.

Baca Juga  Kunjungan Ulama Perempuan dari 4 Negara ke Indonesia: Perkuat Advokasi Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial

Pertama, imbuh Aly, internalisasi nilai untuk menjadi manusia yang baik. Setelah itu, santri menjadi sejahtera dan mensejahterakan orang lain. Kedua, integrasi keilmuan. Menurut Aly, di madrasah tidak hanya dipelajari ilmu-ilmu agama, namun juga ilmu-ilmu umum. Ketiga, basis kemasyarakatan. Belajar tidak hanya di kelas, melainkan di masyarakat untuk berkiprah serta berinterkai dengan keragaman, baik agama maupun status sosial yang ada di masyarakat.

Menurut Aly Aulia ada empat kontribusi madrasah dalam membangun hidup harmonis: (1) pendidikan untuk mengenal diri sebagai landasan mengembangkan sikap rendah hati dan tidak sombong; (2) pendidikan untuk memahami alam secara intelektif dan emotif sebagai sikap syukur kepada Tuhan; (3) memanfaatkan sumberdaya alam tanpa merusaknya; dan (4) menanamkan rasa persaudaraan terhadap berbagai jenis lingkungan sosial.

Guru Berperan Penting

Dalam kesempatan yang terakhir, Samah Norquist menyebut bahwa guru di madrasah memiliki peran yang penting. Guru memiliki peran yang penting, khususnya agar membuat setiap umat beragama mampu memahami umat beragama yang lain.

“Guru ini bagi kita sangat penting untuk mendidik diri kita supaya memahami orang lain. Pendidik berperan membangun generasi beradab yang mau menerima orang lain,” ujarnya.

Untuk menguji kesejatian keberagamaan seseorang adalah dapat dilihat dari kesediannya membeka orang lain yang berbeda keyakinan tutupnya.

Reporter: Azaki K dan Yusuf RY

Avatar
1457 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
News

28.536 Guru PAI di Sekolah Ikuti PPG 2024 untuk Tingkatkan Kompetensi dan Kesejahteraan

1 Mins read
IBTimes.ID, Jakarta (20/12/24) – Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah sukses melaksanakan Pendidikan Profesi…
News

Adaptif Terhadap Zaman, Dosen Ilmu Komunikasi UNY Adakan Pelatihan Pelayanan Prima di PCM Depok Sleman

2 Mins read
IBTimes.ID – Menghadapi perubahan era yang berjalan sangat cepat dan dinamis, serta membutuhkan adaptasi yang juga cepat, diperlukan keahlian khusus untuk menghadapi…
News

Festival Moderasi Keindonesiaan: Menyemai Moderasi Beragama di Kalangan Milenial dan Gen-Z

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta (15/12/24) — Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia menyelenggarakan acara Festival Moderasi Keindonesiaan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds