Perspektif

Pola Interaksi Islam dan Budaya: Tinjauan Kritis Puritanisme dan Sinkretisme

4 Mins read

Puritanisme – Semua agama yang diturunkan dari langit ke bumi akan bersinggungan dengan budaya di masyarakat. Persinggungan ini merupakan suatu keniscayaan karena perbedaan dimensi ruang dan waktu keduanya.

Misal dalam penurunan syariat Islam di tengah masyarakat jahiliyah Arab, ada saat di mana budaya itu diseleksi yang cocok dan yang tidak. Budaya menyembelih kurban untuk anak yang baru lahir misalnya, di Arab jahiliyah, darah sembelihan itu akan diusapkan ke kepala bayi di depan berhala.

Ketika Islam datang, budaya berkurban itu dipertahankan, hanya saja mengusap darah dan berhalanya dihapuskan. Esensinya diubah dengan diniatkan kepada Allah, dimasukkan nilai sedekah, bersyukur, maka jadilah syariat Aqiqah. Dengan begitu Islam datang di ruang dimensi manusia sebagai standar menilai budaya.

Ketika Islam telah sempurna diturunkan, maka muncul beberapa kecenderungan umat dalam merespon budaya. Terkait fenomena ini, beberapa cendekiawan muslim mengkategorikannya dengan puritanisme dan sinkretisme Islam.

Pengkategorian ini didasarkan pada pola interaksi agama dalam merespon budaya. Paham puritan, berpendapat bahwa Islam harus dibersihkan dari budaya seperti bid’ah, takhayul, khurafat dalam paham maupun praktiknya. Sedangkan Islam sinkretis memandang budaya sebagai sarana berlangsungnya transformasi agama. Maka Puritanisme dan Sinkretisme selalu menarik untuk dikaji secara kritis.

Puritanisme

Secara bahasa, puritanisme berasal dari kata pure atau murni. Istilah ini pertama kali muncul pada abad akhir abad ke 16 dan 17 di Inggris. Puritanisme menggambarkan paham jemaat gereja yang menginginkan pemurnian ajaran dari paham sekuler dan paganisme.

Dalam Islam sendiri, wacana puritanisme pada era kontemporer akan selalu berhubungan dengan gerakan Wahhabi di Arab Saudi. Gerakan ini dimotori oleh seorang ulama abad ke 18 yaitu Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1792 M).

Baca Juga  Daftar Lima Pesantren Besar di Jawa Timur

Gagasan utamanya yaitu umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus, maka solusi satu-satunya adalah kembali ke sumber ajaran yang murni yaitu Al-Qur’an dan sunah.

Penyimpangan yang dimaksud di sini yaitu tasawuf, tawassul, rasionalisme, ajaran Syiah, serta praktik lain yang dinilai Bid’ah. Karena karakter dari puritan ini yaitu selalu mencurigai budaya di luar Arab sebagai pencemar kemurnian Islam.

Islam puritan memosisikan agama sebagai suatu kerangka ajaran normatif transenden, baku, statis, dan kekal. Struktur hukum dan ajarannya harus merujuk pada teks kitab suci dan sunnah yang diimplementasikan di Makkah dan Madinah sebagai basis lahirnya Islam tanpa mengalami proses historisasi ajaran.

Di sini sifat transenden Al-Qur’an dan Sunnah dipandang tidak bersentuhan dengan budaya manusia. Maka corak interaksi agama dan budaya yang seringkali ditampilkan Islam puritan ini biasanya terlalu kaku dalam merespon perubahan.

Sinkretisme

Sinkretisme berasal dari Bahasa Inggris syncretism yang berarti kombinasi dari kepercayaan atau praktik yang berbeda bentuk. Sinkretisme adalah percampuran dua tradisi atau lebih, dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi kepercayaan baru dan berusaha tidak terjadi benturan dengan budaya atau tradisi lama.

Contoh praktek sinkretisme agama bisa dilihat dari sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Islam menyebar di Nusantara menggunakan pendekatan akomodatif dan toleran terhadap budaya lokal, sehingga meminimalisir pertumpahan darah dan menciptakan keharmonisan.

Misalnya di Jawa ada Wali Songo yang mengubah tradisi slametan, kenduri, peringatan kematian yang awalnya dari Hindu kemudian secara substansi diislamkan. Meski begitu, di kalangan tertentu tradisi yang sudah bercampur ini malah menciptakan aliran baru yaitu Islam Kejawen.

Yaitu orang yang beriman kepada Allah Swt akan tetapi masih mengamalkan praktik syirik seperti adanya sesaji untuk roh leluhur yang dianggap perantara saat acara selamatan. Terkait hal ini, Geertz membagi muslim Jawa menjadi golongan Santri dan Abangan.

Baca Juga  Fazlur Rahman, Intelektual yang Terusir dari Kampung Halamannya Sendiri

Santri merepresentasikan golongan yang lebih memperhatikan ajaran Islam daripada upacaranya. Sedangkan Abangan lebih menekankan perincian upacara (ritual) yang lekat dengan animisme, dinamisme.

Praktik Sinkretisme yang terjadi di kalangan Abangan telah menempatkan agama setara dengan budaya dan meleburkan keduanya. Agama Islam masuk ke dalam budaya lokal tanpa diberi kekuatan, sehingga budaya bebas mengeksplorasi Islam sambil tetap menjaga keutuhan nilai tradisi.

Tinjauan Kritis

Pembagian muslim puritan dan sinkretis, tidak dengan mudah diterima umat Islam secara umum. Alasannya yaitu pembagian ini akan mengotak-ngotakkan Islam yang nantinya hanya akan memperbesar jurang perbedaan dan membuat umat Islam terpecah.

Oleh karena itu, banyak muslim merasa tidak nyaman mengakui adanya keretakan di dalam umat Islam. Meski di saat yang sama, Islam mengajarkan memberikan kesaksian kebenaran walaupun berbeda pendapat dengan saudara muslimnya, karena mengabaikan atau bersikap acuh itu merupakan sebuah dosa.

Dalam hal ini, mengakui adanya realitas muslim puritan dan sinkretis yang ekstrim akan membantu umat Islam mengidentifikasi posisi Islam yang benar, sehingga tidak terjadi kebingungan.

Islam puritan dan sinkretis dikategorikan berdasarkan hubungan antara agama dan budaya. Dengan asumsi dasar bahwa agama Islam merupakan standar dalam menilai dan memfilter budaya yang cocok, maka puritan dan sinkretis dapat dinilai dari skalanya dalam memosisikan budaya itu.

Puritanisme

Misalnya dalam Islam Puritan ekstrim, ia akan menolak berbagai campur tangan budaya sehingga menimbulkan resistensi dan kekakuan berlebihan (red: Islam ekstrimis, fundamentalis tekstual).

Hal ini tentu akan mengurangi dimensi universalisme Islam karena kesulitan mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan puritan yang masih menerima dinamisasi budaya dengan selektif, ia akan bisa luwes mengikuti zaman.

Upaya purifikasi ini disebut juga tajdid atau pembaharuan dengan dua dimensi yaitu pemurnian ajaran Islam sesuai dengan sumber utama dan dinamisasi kondisi zaman. Contoh dalam hal ini yaitu Muhammadiyah sebagai gerakan puritan.

Baca Juga  Metode Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Ia tetap mempertahankan nilai Islam yang murni, tetapi tidak anti terhadap budaya dengan spirit seleksi. Sama halnya dengan sinkretisme, apabila ia ekstrim hingga mencampur adukkan agama dengan budaya syirik, maka ia akan tertolak.

Berbeda dengan sinkretisme yang mengedepankan nilai Islam, seperti halnya tradisionalisme NU. Hal ini terjadi karena ia mendialekkan ajaran-ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal yang dalam prakteknya bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Interaksi terhadap kebudayaan di sini berupa islamisasi inti ajarannya, sehingga tradisi itu terbebas dari syirik.

Sampai pada tahap ini, akan ada pertemuan antara puritan moderat dengan sinkretis moderat pada tataran inti ajaran Islam. Mereka memegang dasar/dalil masing-masing yang sama-sama kuat, sehingga toleransi keduanya memungkinkan.

Karena tanpa gerakan purifikasi, ajaran Islam akan kehilangan nilai transendennya, sedangkan tanpa gerakan sinkretis/interaksi budaya, Islam akan kehilangan relevansinya terhadap zaman. Wallahu ‘alam bi showab.

Editor: Yahya FR

Amri Adhitya
5 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *