Inspiring

Kesederhanaan Buya Syafii yang Membuat Kita Malu

4 Mins read

Waktu itu matahari sudah hampir terbenam. Menunjukkan tanda bahwa malam akan segera tiba. Erik Tauvani datang ke rumah Buya Syafii Maarif di Nogotirto, Sleman. Ia akan menjemput Buya untuk menghadiri sebuah acara.

Ketika sampai di dekat rumah Buya, ia melihat sosok Buya sedang “ngangkring” (baca: nongkrong di angkringan) di dekat rumahnya. Buya, seorang guru bangsa, profesor, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang amal usahanya bejibun itu duduk di angkringan kecil di dekat rumahnya. Sama sekali tak membuat sekat dengan masyarakat kecil di sekitarnya. Sama rasa, sama rata.

Bahkan, ketika menyadari mobil yang menjemputnya sudah datang, ia bergegas sambil membawa pisang goreng di dalam plastik putih. “Erik, pisang goreng ini enak sekali. Ayo dimakan,” ujar Buya. Sebuah pesan kepada orang disekitarnya untuk bersikap egaliter. Memakan makanan yang biasa dimakan orang kecil.

Buya bahkan tidak merasa “gengsi” untuk memuji makanan di angkringan kecil tersebut. Selain suka dengan pisang gorengnya, ia juga suka dengan nasi kucing di sana. Hal ini barangkali berkebalikan dengan kebanyakan dari kita, yang belum menjadi apa-apa, namun selalu ingin makan di tempat yang mewah.

Jika tokoh besar selalu dikaitkan dengan sifat elitis, maka mari kita lihat kisah salah satu guru bangsa yang dimiliki Indonesia, Buya Syafii Maarif. Erik Tauvani dalam buku Mozaik Keteladanan Buya memberikan catatan-catatan menarik yang patut direnungkan oleh seluruh anak bangsa.

Buya Syafii Tak Mau Merepotkan Orang Lain

Buya sering melakukan pekerjaan rumah sendiri. Mulai dari menyapu halaman, membersihkan kaca, mencuci pakaiannya sendiri, hingga belanja ke pasar dengan sepeda. Padahal, pria kelahiran 1935 tersebut, ketika buku Mozaik Keteladanan Buya ditulis, telah berusia 85 tahun.

Baca Juga  Bagai Meniti Jalan Sunyi: Begini Rahasia Buya Syafii Ketika Menulis

Namun, barangkali justru kemandirian Buya tersebutlah yang membuat usianya begitu panjang dan relatif sehat. Padahal lagi, sebagai tokoh besar, mudah saja bagi Buya mempekerjakan orang lain untuk membantunya.

Itu baru urusan domestik. Di urusan lain, dalam berbagai seminar yang masih Buya hadiri misalnya, Buya selalu menolak ketika panitia atau orang sekitar ingin membawakan tasnya. “Saya masih kuat,” jawab khas Buya. Dalam lain kesempatan, Buya sering berpesan, “Tubuh itu jangan dimanjakan.”

Selain dikenal suka bersepeda di sekitar kampungnya, Buya juga tidak pernah sungkan jika harus pergi menggunakan sepeda motor.

Meneladani Pak AR

Dalam hal ini, Buya ingin mencontoh AR Fakhruddin atau yang lebih dikenal dengan Pak AR. Pak AR adalah salah satu Ketua Umum PP Muhammadiyah yang dikenal dengan sifat zuhud dan wara’.

Suatu ketika, ada yang usul agar Buya memberikan kesempatan kepada orang lain yang ingin membantunya. Selain untuk meringankan beban, hal tersebut juga akan menjadi kebahagiaan bagi yang membantu.

Siapa orang yang tidak bahagia bisa bertemu apalagi membantu tokoh sekaliber Buya? Namun, jawaban Buya tak kalah canggih. “Pak AR saja bisa, masa saya tidak. Ini di Muhammadiyah ada contohnya hehe,” ujar Buya.

Buya Syafii: Pribadi yang Saleh Sosial

Dalam buku Mozaik Keteladanan tersebut dikisahkan jika orang terdekatnya ingin menemaninya dalam perjalanan, Buya selalu menjawab, “Sudah ada yang menemani.” Tahukah pembaca sekalian, siapa yang dimaksud Buya? Tidak lain tidak bukan adalah tongkat penuntun yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi. Artinya, Buya tidak ingin merepotkan orang lain.

Dalam kisah lain, pada akhir Juli 2019, Buya terbaring di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Ketika itu, Erik menanyakan kabar Buya. “Anda tidak perlu khawatir,” jawab Buya. Ia bertanya lagi siapa yang menjaga Buya. “Banyak sahabat di muka bumi,” jawab Buya kembali. Buya melanjutkan, “Rik, jangan beri tahu siapapun.”

Baca Juga  Lima Alasan Mengapa Buya Syafii Maarif Patut Anda Hina

Buya, tidak bisa tidak, adalah orang yang sangat saleh secara sosial. Ia memiliki sikap zuhud, wara’, egaliter, bersahaja, dan yang paling penting adalah tidak gila harta, kehormatan, bahkan jabatan. Selain saleh sosial, Buya juga saleh secara spiritual.

Masyarakat Nogotirto mengenal Buya bukan hanya sebagai orang yang selalu rajin datang ke masjid, namun juga merawat masjid, baik merawat fisik bangunan maupun keramaian. Bahkan, menurut penuturan Erik, orang-orang lebih mudah menjumpai Buya di masjid daripada di rumah.

Buya Syafii Tidak Gila Jabatan

Perihal tidak gila jabatan ini, penting untuk diceritakan bahwa ketika Presiden Jokowi dilantik sebagai kepala negara, Jokowi meminta Buya untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Dengan halus, Buya menolak tawaran prestisius dari orang nomor satu itu. “Saya sudah tua, cari yang lebih muda,” jawab Buya.

Dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jogja ke Solo, azan zuhur sayup-sayup terdengar. Dengan sigap, Buya mengambil air wudhu di toilet kereta dan salat sambil duduk. Dalam kisah lain, menjelang bulan Ramadhan sebelum datang pandemi, Buya berbincang-bincang dengan takmir masjid di Nogotirto tempat Buya biasa salat berjamaah. Waktu itu sudah selesai salat isya’.

Buya ingin memastikan bahwa seluruh fasilitas masjid dalam keadaan baik. Takmir tersebut memberi tahu Buya bahwa ada lampu di dekat tempat wudhu yang mati. Kemudian, tanpa pikir panjang, Buya pulang ke rumah mengambil senter. Ia kemudian kembali ke masjid untuk mengecek langsung kondisi lampu tersebut.

Dua Sikap Buya Syafii yang Menarik

Sebagai penutup, mari kita cermati dua sikap yang sungguh menarik dari Buya. Pertama, sebagaimana kita tahu, banyak sekali orang yang membenci Buya karena pikiran-pikirannya yang terlampau agresif dan keberanian Buya dalam mengkritik sesuatu yang salah. Buya adalah tokoh yang ingin selalu meluruskan kiblat bangsa tanpa takut terhadap apapun.

Baca Juga  Senyum Mujahid dari Buya Syafii Maarif

Menariknya, ujaran kebencian dan makian yang dialamatkan kepadanya tidak pernah ia tanggapi. “Ah, sudahlah. Biarkan saja,” begitu jawab Buya ketika bicara soal hujatan yang dialamatkan kepadanya.

Kedua, nasehat Buya untuk membaca. Buya sering berpesan agar masyarakat rajin membaca. “Curi sebagian waktu tidurmu untuk membaca. Bergumullah dengan ilmu pengetahuan sepanjang waktu, tiada henti, sampai mati,” pesan Buya.

Ada satu kalimat Buya yang akan membuat kita tercengang dan merasa malu. Suatu ketika, kepada Erik Buya pernah berseloroh, “Saya ini termasuk malas membaca. Saya hanya kuat membaca 13 jam dalam sehari. Amien Rais, dia kuat membaca 16 jam dalam sehari.”

Konten ini adalah hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Republik Indonesia

Editor: Yahya FR

Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds