Review

Pemikiran Budi Hardiman: Aku Nge-Klik maka Aku Ada!

3 Mins read

Tulisan ini akan mencoba membaca (review) pemikiran Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul “Aku Klik, Maka Aku Ada” buku ini banyak menyiratkan terkait realitas perkembangan teknologi yang kemudian banyak merubah pola dan tingkah laku kehidupan manusia.

Dunia Digital dan Homo Digitalis

Perkembangan teknologi sudah banyak yang mewanti-wanti dampak yang akan ditimbulkan, selain dari perubahan yang akan sangat membantu. Semua kegiatan masyarakat yang dulu bisa dilakukan secara offline, sekarang semua dipindahkan menjadi online.

Bahkan seseorang yang tidak eksis di dunia offline, ternyata ia sangat eksis dan lebih agresif. Budi Hardiman menyebut manusia dengan homo sapiens seperti Yuval Noah Harari. Saat ini homo sapiens berubah menjadi homo digitalis disebabkan sapiens saat ini lebih eksis di dunia online.

Budi Hardiman mencoba merenungkan ini semua dengan menganalisis pemikiran para filsuf terkait hakikat keberadaan manusia dalam era digital. Keberadaan homo sapiens saat ini menjadi penting, untuk ditinjau kembali dengan menggunakan pendekatan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

Kembali membicarakan manusia di era digital, yang secara tidak sadar alat yang selama ini digunakan ternyata diam-diam memakai dirinya juga. Dalam artian manusia yang menggunakan alat, sebaliknya pula alat juga menggunakan manusia. Keduanya tidak bisa lagi dibedakan, sebab hubungan yang begitu erat dan tidak bisa dipisahkan.

Manusia ketika tidak membuka gadget dalam jangka waktu beberapa menit. Maka ia akan merasa sebagai manusia yang kehilangan eksistensi di dunia ini. Jadi, keberadaan manusia saat ini dilihat dan diukur dari keaktifannya dalam dunia digital.

Dalam keadaan apapun, teknologi pasti akan selalu berada disamping manusia. Bahkan dalam gadgetnya, ia mampu membawa ratusan bahkan ribuan buku untuk dijadikan bahan konsumsi bacaan. Ditambah lagi dengan komunikasi yang dilakukan sesama homo sapiens, perlahan berahli kepada komunikasi digital yang sangat intens.

Budi Hardiman mengatakan “selamat tinggal kepada komunikasi konvensional dan selamat datang di revolusi digital”. Dimana perang-perang pun dilakukan secara online, menghujat secara online, mencaci, memaki orang lain tidak harus bertemu fisik dengan orang tersebut.

Baca Juga  Muslim Tanpa Masjid Versi Baru

Buku ini mencoba mengulas kembali eksistensi manusia di era digital. Di sini Budi Hardiman mencoba menggunakan pendekatan filsafat dengan mengajukan pertanyaan, siapakah manusia di era digital?

Budi Hardiman: Fenomenologi di Era Digital

Fenomena yang terjadi dalam revolusi digital, telah banyak merubah manusia. Realitas tentang dirinya, pemaknaan baik dan buruk, itu semua seketika berubah. Manusia tidak lagi memikirkan sebuah kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara. Terjadinya revolusi digital dari homo sapiens menuju homo digitalis telah merubah pola pikir dan eksistensi manusia.

Bahkan, alat yang selama ini kita gunakan mampu mengiterpretasikan eksistensi kita. Heidegger mencoba membaca ini dengan pemikiran metafisikanya dalam karyanya “Sein und Zeit (Ada dan Waktu)” Heidegger mencoba membaca manusia sebagai titik tolak pembahasannya tentang makna ‘ada’. Sebab makna ‘ada’ saat ini, tidak lagi disamakan dengan apa yang dikatakan oleh Descarter. Sehingga perubahan yang besar telah merubah peradaban manusia.

Pemikiran Budi Hardiman memberikan satu tesis, bahwa di era digital ini kita tidak lagi mengenal manusia itu seperti apa. Eksistensinya berubah dari Dasein ke Digi-sein, kata Heidegger. Sehingga kehidupan umat manusia tidak lagi berbicara banyak tentang kesadaran.

***

Saat ini, kita semakin sulit membedakan antara realitas yang asli dan fiksi. Hari ini kita berada pada tindakan yang memang tidak harus menghadirkan tubuh. Di dunia online, tubuh tidak bersama dengan si penyampai informasi, kita hanya akan banyak membayangkan bagaimana tubuh yang dibelakang layar tersebut.

Banyak kemudian masalah yang dihadirkan dalam revolusi digital, salah satunya adalah eksistensi manusia yang berubah dari homo sapiens menjadi homo digitalis. Dimana alat bisa menjadi sebuah tongkat sihir yang ketika kita klik tombolnya, maka akan tersedia segala kebutuhan yang kita cari.

Baca Juga  Membaca Teori Oligarki, Membaca Indonesia

Dalam bukunya, Budi Hardiman membuka realitas yang terjadi di era digital ini. Termasuk kebenaran yang tidak lagi autentik, cara bersikap yang brutal di media online, kebebasan yang kebablasan, serta merajalelahnya hoaks yang tak lagi terbendung.

Kebenaran itu semua seakan-akan hilang, disebabkan revolusi digital yang tidak terbendung pada diri homo sapiens saat ini. Bukan hanya itu, fanatisme juga terjadi di media sosial sebagai bagian dari eksistensi manusia.

Pada intinya, segala tindakan sosial, politik, budaya, pendidikan, agama dan sebagainya menjadi penting untuk kembali dibicarakan pada era revolusi digital ini. Sebab, semuanya berubah menuju era digital yang tidak terbendung.

Tanpa kita sadari, kita telah dikuasai oleh teknologi, penyampaian informasi di media sosial juga menjadi bagian dari eksistensi manusia. Kita tidak perlu lagi bersusah payah untuk mencarinya sendiri, cukup dengan “aku klik, maka aku ada”.

Budi Hardiman, Hilangnya Manusia Autentik

Alat teknologi yang hari ini ada, bagi Budi Hardiman hanyalah sebagai mode of being. Sebab, pada realitasnya manusia dikuasai olehnya. Manusia tidak lagi autentik, karena keberadaanya dilihat dari eksistensinya di media sosial.

Eksistensi ini yang kemudian Budi Hardiman disebut sebagai “Aku Klik, Maka Aku Ada” kata ini membedakan apa yang dimaksud Descarter tentang eksistensi manusia di kehidupan offline, yang hari ini hampir tidak lagi menjadi penting.

Sebab, semua ruang-ruang manusia telah dibawa ke dalam kehidupan online. Keberadaan manusia secara ontologi, hampir tidak bisa tersentuh dengan realitas yang ada. Begitupun secara epistemologi, keberadaan manusia menjadi abstrak.

Keberadaan manusia akan dapat ditemui dalam kehidupan online, dibandingkan dengan offline. Online bersifat lebih terbuka dibandingkan offline. Atas perbedaan inilah, yang kemudian Budi Hardiman mencoba membuka diskusi terkait hilangnya eksistensi manusia dalam pijakan bumi.

Baca Juga  1984: Buku Favorit Tokoh Dunia yang Meramal tentang Totalitarianisme

Alat teknologi yang kita miliki saat ini, berubah menjadi sosok nyawa kedua yang harus tetap hidup. Sebab, jika dia tak ada, maka hidup manusia atau homo digitalis akan menjadi hampa.

Editor: Saleh

Asman
3 posts

About author
Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Review

Resensi Buku "Pemilu dan Pilkada 2024"

1 Mins read
Sinopsis Regenerasi kepemimpinan yang menjadi hajatan bangsa setiap 5 tahun sekali harus menjadi momentum penting untuk membawa Indonesia ke masa yang lebih…
Review

Resensi Buku: Kedewasaan Beragama

1 Mins read
Sinopsis Di tengah dunia yang terus berubah dengan segala kompleksitas masalahnya, agama semestinya menjadi semacam oase di tengah padang tandus. Agama menjadi…
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *