Perspektif

Endhog-Endhogan: Sebuah Tradisi Menyambut Maulid Nabi

3 Mins read

Menuju hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, hampir di seluruh penjuru Kota Gandrung, Banyuwangi berjejer dengan berbagai macam kreasi endhog (baca: telur) yang dihias pada sebuah tempat, untuk ditancapkan pada debog Pisang.

Tak lupa dihias dengan berbagai kreasi yang epik dan apik. Meriahnya hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tak hanya disambut dengan kelap kelip lampu Langgar dan Mushalla. Tapi juga dengan warna warni bunga hias, yang siap terpampang di seluruh sisi kota.

Lantunan irama nasyid dan shalawat selalu berkumandang. Riuh Mahallul Qiyam menjadikan setiap hati trenyuh mendengarnya. Begitu besar kecintaan pada Rasulullah untuk mengharapkan syafa’at-nya di hari akhir kelak.

Endhog – Endhogan: Cara Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW, adalah sebuah perayaan besar bagi umat Islam. Setiap dari Muslim, tak rela untuk melupakan hari yang bersejarah bagi umat Muslim seluruh dunia.

Untuk menunjukkan suatu kecintaannya pada Rasul, ada banyak sekali perwujudan yang tertuang pada sebuah arti yang bermakna. Salah satunya adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi, khususnya.

Masyarakat Banyuwangi, mempunyai tradisi yang unik dibandingkan kota-kota lainnya. Mereka punya suatu ciri khas dalam suatu adatnya untuk merayakan perayaan Maulid Nabi dengan tradisi Endhog – Endhogan.

Dalam bahasa Jawa sendiri, endhog berarti telur. Apa hubungannya dengan perayaan Nabi Muhammad SAW? Tentu, ulama dan juga kyai Belambangan tak sepele memilihkan suatu tradisi dan juga pepeling (baca: pengingat) untuk umat muslim pada saat itu.

Sejarah Terbentuknya Tradisi Endhog – Endhogan

Dahulu, Banyuwangi adalah salah satu daerah yang sangat terisolir dari sebuah peradaban yang maju. Mayoritas, masih sangat menganggap bahwa Tuhan tak berada dalam hatinya.

Baca Juga  Dulu Jihad Berperang Sekarang Jihad Berdamai

Untuk menciptakan sikap dan wujud ilahiy, harus melihat sesuatu yang bersifat materi atau berwujud di hadapannya. Untuk bisa merasakannya-pun tak cukup.

Maka, Tuhan dan kepercayaan yang hadir masih saja berwujud dinamisme, dan animisme; berwujud pada suatu benda yang menurutnya istimewa, baik pohon, batu, roh dan sebagainya.

Mereka semua tak menganggap, bahwa ada Tuhan yang lebih besar dan agung dibandingkan dari apa yang mereka sembah saat ini. Untuk meyakinkan itu semua kepada masyarakat kaum agamis tapi tak tercerahkan sepenuhnya, para Ulama’ Belambangan pun berfikir keras, agar dakwahnya dapat diterima oleh masyarakat.

Berbagai cara dikerahkan, hingga pada akhirnya salah satu Ulama’ kita, Kiai Kholil bertemu dengan KH. Abdullah Faqih yaitu salah satu Ulama’ yang berada di daerah Songgon, Banyuwangi.

Beliau mengindetikkan dan mengenalkan kepada masyarakat saat itu, agar bisa tersentuh dan tercerahkan dengan cahaya Islam. Mengenalkan arti kata iman, islam dan ihsan.

Apakah dengan semudah itu memperkenalkannya kepada segenap lapisan masyarakat? Tentu tidak. Ulama’ kita tentu menggunakan strategi dan juga unggah ungguh yang sangat mulia agar bisa diterima kemudian ikut menuju dakwah Rasulullah.

Maka, salah satu tradisi yang diperkenalkan kepada seluruh masyarakat saat itu adalah endhog – endhogan.

Apa yang Tersirat dari Tradisi ini?

Telur adalah salah satu makanan pokok dan juga sumber tenaga bagi manusia. Dipilih simbol telur, karena memiliki 3 lapisan yang menjadi bagian penting di dalamnya; kulit, putih telur, kemudian kuning telur yang berada pada inti telur itu sendiri.

Lalu, apa hubungan dari simbol keislaman yang ada? Maka, pada saat itu, Ulama’ kita menghadirkan suatu representasi luar biasa agar dapat dipahami oleh masyarakat saat itu.

Baca Juga  Kesamaan Gagasan Merebut Tafsir Lies Marcoes dengan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Beliau menafsirkan bahwa kulit telur diartikan sebagai tanda keimanan, lalu putih telur sebagai simbol Islam, dan kuning telur disimbolkan sebagai ihsan.

Lalu, bagaimanakah interpretasi selanjutnya agar masyarakt bisa lebih memaknai itu semua? Ulama kita kembali menerangkan, bahwasanya ini semua adalah aspek dan juga identitas yang harus dimiliki oleh setiap manusia.

Karena pada dasarnya, segala sesuatu bermula pada sebuah kepercayaan, maka akan bermuara pada sebuah perilaku yang baik, sebagai wujud penghambaan pada sesuatu yang dipercayai.

Dengan ini dapat kembali ditafsirkan, bahwa seseorang tidak akan pernah bisa berbuat, berperilaku, bertingkah laku jika tidak mempercayainya. Maka setelah timbul suatu kepercayaan, diharapkan kepadanya untuk siap berserah diri, lalu taat dan patuh pada setiap perintah.

Itulah interpretasi singkat dari sebuah analogi telur. Seseorang tidak akan pernah bisa mencapai pada taraf ihsan jika tak berada dalam hatinya sebuah iman. Begitu pula saat kita ingin memakan telur.

Tak akan pernah bisa menikmati bagian yang istimewa yaitu kuning telur, jika kita tak membuka cangkang kulitnya, dan menikmati putih telurnya terlebih dahulu.

Lalu, hubungannya dengan debog pisang, ataupun bambu yang menusuknya, diibaratkan dengan jiwa dan raga seorang manusia. Bahwa, 3 aspek terpenting tadi harus selalu difahami, dimaknai, dimengerti lantas diaplikasikan dalam kehidupan manusia sehari harinya.

***

Setelah Ulama’ kita bisa masuk pada setiap relung hati masyarakat pada masa itu, tentu dengan mudah untuk mengenalkan dan melahirkan kecintaan pada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah rahmatan li-l-aalamin.

Maka, sejak saat itu. Telur menjadi sebuah identitas penting bagi seluruh masyarakat muslim Belambangan. Jika perayaan Maulid Nabi mulai mendekati tanggalnya.

Maka, seminggu bahkan sebulan sebelumnya, jodhang atau debog (baca: batang pisang) berjejer dimana mana. Para pengrajin sunduk endhog – endhogan mulai kebanjiran order untuk pesanan Langgar dan Mushalla.

Baca Juga  Teori Evolusi Agama Robert N. Bellah: dari Mistis, Dogmatis, hingga Estetis

Semoga, kita tak hanya merayakan ataupun ikut melangsungkan tradisi ini tanpa memaknai arti sesungguhnya. Karena, rugi rasanya jika hanya merayakannya tanpa banyak mengerti apa yang dimaksudkan dengan dakwah yang seharusnya disampaikan kepada seluruh umat Muslim.

Dengan ini, semoga senantiasa menambah kecintaan kita kepada Baginda Rasulullah SAW, yang kelak akan memberikan syafaat-nya di hari akhir kelak. Allahumma amiin.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswi Guru Gontor Putri Kampus 3
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds