Moderasi

Dari Muamar hingga Mukhlas: Seribu Wajah Muhammadiyah

5 Mins read

Muhammadiyah adalah sebuah teks hidup yg dinamis karena hidup di tengah realitas kehidupan masyarakat. Sehingga bebas dibaca (ditafsir) oleh siapa saja (si pembaca) dengan beragam motif.

Dalam kajian hermeneutika (tafsir kontemporer) posisi sebuah teks (baca: Muhammadiyah) akan bermakna atau bernilai tergantung dari si pembaca dalam membaca teks tersebut.

Artinya si pembaca mempunyai posisi sangat penting dalam mempersepsikan, mengkonstruksi isi, makna, dan tujuan dari teks (Muhammadiyah) itu berada.

Si pembaca bisa berasal dari para anggota, kader, pengurus, jamaah Muhammadiyah, atau bisa pula berasal dari luar komunitas Muhammadiyah.

Perbedaan Cara Membaca adalah Sebuah Keniscayaan

Pada konteks pembacaan terhadap teks Muhammadiyah, si pembaca bisa sangat berbeda dan beragam hasil bacaan terhadap nilai, makna, dan memposisikan secara ideal maupun faktual Muhammadiyah d itengah realitas masyarakat.

Perbedaan hasil bacaan terhadap teks Muhammadiyah oleh si pembaca (jamaah maupun non jamaah) merupakan hal lumrah dan wajar walaupun teks yang dibaca sama yaitu teks Muhammadiyah.

Karena pada hakikatnya, manusia dan dunia ini dinamis terus bergerak dan akan berhenti jika Allah mengutus Malaikat Isrofil meniup Terompet “Sangsakala” tanda hari kiamat datang, baru semua berhenti.

Selain itu, perbedaan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan dan ragam latar belakang sosio-kultur, sosio-ideologi, sosio-pengetahuan, dan sosio-religi si pembacanya (baca: jamaah dan orang luar Muhammadiyah).

Maka dari alur konstruksi pemikiran di atas, menurut hemat saya, sangat wajar jika dikemudian hari Muhammadiyah mempunyai beragam wajah ” dhu awjuh” pola gerakan.

Tiga Ragam Wajah Muhammadiyah

Berdasarkan dari hasil pembacaan dan reflektif secara sosio-fenomenologi, saya menemukan minimal tampak ada tiga ragam wajah Muhammadiyah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, yaitu ragam wajah sosio-ideologi, wajah pemikiran sosio-keislaman, dan wajah sosio-kultural.

Terkait ragam wajah tersebut, sedikit saya urai dibawah ini:

Pertama, Ragam Wajah Sosio-Ideologis Jamaah Muhammadiyah

Berdasarkan pembacaan dan pengamatan di lapangan, hemat saya ada empat ragam wajah sosio-ideologis Muhammadiyah yang sampai saat ini masih saling berebut kuasa ideologi di kalangan jamaah Muhammadiyah.

Di antara ragam wajah sosio-ideologis Muhammadiyah adalah:

1) Muhammadiyah Amar Makruf Nahi Munkar (Muamar)

Wajah ini merupakan hasil perjumpaan pola pemikiran dakwah Islam Front Pembela Islam (FPI) dengan pola pemikiran dakwah Islam Muhammadiyah. Terutama dalam mengkonsepsi dan mengimplementasikan dakwah amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Meskipun memegang konsep amar makruf nahi munkar, namun nahi munkar lebih menonjol ditampakkan dalam kelompok ini.

Baca Juga  Jihad Politik versus Jihad Literasi

Walaupun secara organisasi FPI berdasarkan Konstitusi menjadi organisasi terlarang di Indonesia, namun secara ideologis (cara pandang dakwah keagamaan), FPI masih hidup subur. Karena ideologi tidak bisa mati.

(2) Muhammadiyah-HTI (MuHaTI)

Wajah ini merupakan hasil perjumpaan pemikiran politik keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan pemikiran politik keagamaan jamaah Muhammadiyah.

Walaupun secara hukum organisasi HTI dilarang beroperasi, tetapi secara ideologi politik keagamaan, mereka yang mengusung kesatuan politik dan agama dalam bentuk sistem Khilafah Islamiyyah terus bergerak dengan beragam wadah ditengah masyarakat.

(3) Muhammadiyah-Salafi (MuSafi)

Wajah ini merupakan efek dari perjumpaan jamaah Muhammadiyah dengan ideologi jamaah Salafi terutama terkait konsepsi ideal pembentukan ideal komunitas Muslim di tengah masyarakat saat ini.

Dimana mereka mengidealkan komunitas Muslim saat ini mengikuti atau menerapkan secara formal dalam semua aspek kehidupan baik wilayah privat hingga publik seperti pada zaman “Salafus as-Salih”.

Zaman Salafus as-Salih merupakan sebutan untuk menunjukan pola kehidupan keseharian masyarakat Islam pada era Nabi Muhammad, era Sahabat Nabi Muhammad SAW, era Tabii’in, dan era Tabi’it Tabiin. 

Dengan slogan “ihya as-ssunnah” mereka ingin menghidupkan kembali Sunnah Nabi Muhammad SAW dalam semua laku kehidupan keseharian, mulai cara makan, cara pakaian, cara beribadah hingga cara kehidupan publik.

Maka sering kita saksikan perdebatan terkait ukuran kesalehan seseorang sering diukur dengan cara makan, cara berpakaian dan sebagainya.

(4) Muhammadiyah-Wahabi (MuHabi)

Wajah ini merupakan efek dari perjumpaan ideologi jamaah Muhammadiyah dengan Jamaah Wahabi.

Perjumpaan MuHabi ketemu pada kesamaan aras ideologi pemurnian (tanjih) yang diusung oleh gerakan Muhammadiyah dan gerakan Wahabi, walaupun dalam pemahaman dan aplikasi gerakan ada perbedaan yang tajam di antara keduanya.

Di antara kesamaan ideologi di antara keduanya adalah bertemu pada implikasi dari ideologi Tanjih, yaitu dalam tataran sikap keberagamaan yang memunculkan gerakan pumurniaan tauhid dari ideologi kesyirikan, dengan wujud gerakan anti TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat) di masyarakat.

Kedua, Ragam Wajah Pemikiran Keislaman Jamaah Muhammadiyah

1) Muhammadiyah Liberal (MuhLib)

Wajah ini merupakan tampilan dari cara pandang (paradigma) pemikiran jamaah terutama para ilmuan (sarjana) Muhammadiyah yang lebih akomodatif terhadap ide kebebasan individu untuk mendorong kemajuan sosial masyarakat.

Baca Juga  Yuddy Chrisnandi: Ukraina Memiliki Hak untuk Menentukan Masa Depan Sendiri

Dalam rangka mendorong kemajuan sosial, mereka mensinergikan antara kajian keislaman dengan kajian sosiologis, filosofis, psikologi, antropologis, politik, hukum, ekonomi, bahasa, teknologi, dan sebagainya.

Sehingga kesan yang tampak kelompok ini dalam penggunaan akal pada porsi maksimal sehingga tampak rasionalis dan terbuka dengan arus perubahan dari manapun termasuk dunia Barat.

Mereka sangat terbuka dengan ide-ide dari Sarjana Barat seperti ide demokrasi, pluralisme, liberalisme, humanisme, multikulturalisme yang cenderung mengusung paham kebebasan akal manusia.

2) Muhammadiyah Moderat (Murat)

Wajah ini merupakan tampilan dari cara pandang (paradigma) jamaah terutama para ilmuan, sarjana aktivis Muhammadiyah yang memilki cara pandang keseluruhan (kaffah) terhadap Islam itu sendiri par excelence, tanpa harus terjebak dikotomisasi kepentingan sektarian atau aliran pemikiran liberal atau radikal ekstrim.

Menurut Syahrul Alim diksi wasatha (moderat) berkonotasi “adil” menjadi kata kunci utama dalam membentuk suatu masyarakat politik yang heterogen.

Masyarakat berkeadilan dengan demikian melekat sebagai citra perjuangan masyarakat muslim yang sesungguhnya, melepaskan diri dari cara pandang atas fanatisme etnis, kekelompokan atau sektarianisme ideologis, bahkan perbedaan-perbedaan agama dan keyakinan.

Itulah sebabnya, prinsip “Islam wasathiyah” yang kerap kali identik dengan cara pandang keagamaan yang universal—tanpa sekat perbedaan-perbedaan sektarianisme ideologis—cenderung lebih terbuka, toleran, menghindari cara-cara kekerasan (moderasi) karena terdorong suasana keadilan yang harus diwujudkan dalam bentuk kepentingan bersama (m.kumparan.com/8/2/2019).

Dari pandangan di atas dapat dipahami bahwa wajah Muhammadiyah-Moderat ( MuRad) adalah wajah Muhammadiyah yang terbuka, toleran menghindari cara kekerasaan dan mendorong keadilan bersama tanpa melihat ideologi, suku, agama, dan ras dalam membingkai kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.

Ketiga, Ragam Wajah Sosio-Kultural Jamaah Muhammadiyah

1) Muhammadiyah Nasionalis (MuNas)

Wajah ini merupakan tampilan dari jamaah Muhammadiyah yang secara prilaku sosio-kultural pengagum Soekarno (Bapak Marhaen) walaupun tetap berkiblat ke KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) pada paham dan prilaku keagamaan.

Kelompok ini lebih cenderung pilihan politiknya ke kelompok politik Nasionalis seperti simpatisan atau pengurus PDIP.

Walaupun secara jamak warga Muhammadiyah biasanya cenderung pilihan politiknya pada partai politik berbasis Islam. Tetapi mereka dengan beragam latar dan alasan lebih cenderung ke kelompok partai berideologi Nadionalis. Mereka ini oleh Prof Munir Mulkhan sering disebut dengan Muhammadiyah Marhaen (MarMud).

Baca Juga  Muhammadiyah dan Lapangan: Dari Shalat Id sampai Sepakbola

Fenomena MarMud di atas saat ini lagi marak dan menarik untuk diriset lebih dalam, terutama ada kecenderungan kaum muda Muhammadiyah yang tertarik dan masuk terlibat kepengurusan PDIP di beberapa level.

2) Muhammadiyah NU (MuNu)

Wajah ini merupakan tampilan jamaah Muhammadiyah yang secara sosio-kultural masih mengikuti tradisi sosio-kultural jamaah Nahdliyyin (NU).

Kelompok ini biasanya adalah simpatisan Muhammadiyah. Mereka biasanya bekerja sebagai karyawan di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), seperti di Rumah Sakit Muhammadiyah (RSM), lembaga pendidikan Muhammadiyah (Sekolah, Kampus) atau lembaga sosial ekonomi Muhammadiyah.

Kecenderungan mereka jika di lingkungan kerja di AUM mereka akan mengikuti semua pola tradisi sosio-kultural Muhammadiyah. Hal ini dilakukan mungkin sebagai bagian dari komitmen mereka dalam bekerja.

Namun jika pulang ke rumahnya, mereka biasanya masih tetap melakukan tradisi atau ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh Sahabat kita Jamaah Nahdliyyin (NU). Hal ini dilakukan mungkin bagian dari menghormati atau memang sulit untuk keluar dari pemahaman yang sudah mengakar.

Argumentasi di atas hanya menerka secara sosiologis jadi bisa benar bisa salah. Maka fenomena ini menarik untuk di riset lebih dalam untuk mendapatkan gambaran utuh. Dan sebutan Muhammadiyah-NU (MuNU) juga sudah pernah digunakan oleh Prof Munir Mulkhan pada saat riset di daerah Wuluhan Jember.

3) Muhammadiyah Ikhlas (Mukhlas)

Wajah ini merupakan tampilan dari prilaku sosio-kultural jamaah Muhammadiyah yang ingin berusaha semaksimal mungkin mengikuti dan mempraktikkan manhaj ideologi dan tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah secara kaffah di lingkungan masyarakat.

Wajah ini oleh Prof Munir Mulkhan memiliki karakter fanatik atau ada istilah “Tus” Muhammadiyah “Tus”. Biasanya tampilan prilaku sosio-kultural keagamaan mereka tidak mau selametan orang mati, tidak qunut Subuh, tidak ziarah kubur, tidak zikir suara keras, dan sebagainya.

Mereka sangat kuat memegang tradisi Muhammadiyah. Dan biasanya mereka ini kebanyakan jamaah Muhammadiyah di pinggiran atau di desa-desa.

Demikian pembacaan saya yang bisa salah dan bisa benar, pembacaan ini dari prespektif sosio-fenomenologis yang tidak bicara salah-benar hanya mengungkapkan fenomena sosiologis dikalangan jamaah Muhammadiyah, sehingga bisa didiskusikan lebih lanjut, semoga ada manfaat.

Editor: Yahya FR

Sholikh Al Huda
14 posts

About author
Direktur Institut Studi Islam Indonesia (InSID), Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jatim, Dosen Pascasarjana UMSurabaya
Articles
Related posts
Moderasi

Moderasi Beragama Seharusnya Dinamis, Bukan Statis!

3 Mins read
Moderasi beragama, istilah itu selalu bergema di setiap lapisan masyarakat Indonesia yang multi-agama. Mereka membicarakan agar bagaimana umat antar-agama bisa bersama meskipun…
Moderasi

Pengaruh Positif Dakwah Habib Husein

4 Mins read
Beragamnya suku, bahasa, kebudayaan, dan agama, menjadikan negara Indonesia patut dijuluki negara yang plural dan multikultural. Terlebih, dari banyaknya kepercayaan (agama) di…
Moderasi

Hamka & Bung Karno: Potret Persahabatan Ulama dan Negarawan

3 Mins read
Hamka Bung Karno – Suatu sore, bulan Juni 1970. Ketika itu, ulama Muhammadiyah penulis Tafsir Al-Azhar tengah bercengkerama bersama keluarga di rumahnya,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds