IBTimes.ID – Tulisan ini menguraikan bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah terhadap hadits-hadits pluralisme agama, yaitu sikap pandang Ibn Taimiyah dalam berinteraksi dan berapresiasi terhadap umat-umat yang lain, terutama terhadap ahl al-Kitab.
Dalam Jurnal karya Agusni Yahya berjudul “Fiqh Al-Hadits Ibnu Taimiyah tentang Pluralisme Agama” dalam Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1 April 2011, penulis menjelaskan pandangan-pandangan ulama masyhur Ibnu Taimiyah berkaitan dengan hadis-hadis pluralisme agama. Berikut ini beberapa hadits dan ayat yang dikemukakan Ibn Taimiyah tentang agama-agama selain Islam.
Pertama, Hadits tentang Nabi Muhammad lebih utama dari Nabi yang lain, yang artinya:
“Dari Abī Hurairah ia berkata: Rasul bersabda: saya adalah manusia yang lebih utama dari Nabi Isa bin Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi itu bersaudara dalam satu keluarga, ibu-ibu mereka memang banyak tetapi agama mereka satu.”
Ibn Taimiyah, sebagamana dikutip oleh Agusni Yahya mengatakan bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Sama-sama menyembah Allah semata-mata, tiada sekutu apapun bagi-Nya. Dialah yang patut disembah menurut cara yang diajarkan para nabiNya pada suatu masa, karena itulah agama Islam yang sesuai untuk masa itu.
“Syari’at yang datang kemudian kadangkala menghapus syariat sebelumnya sesuai dengan kehendak Allah. Nabi Muhammad pada awalnya diperintahkan shalat berkiblat ke Baitul Maqdis, kemudian dinasakh (diharamkannya) dan diganti untuk menghadap ke Ka`bah. Meskipun syari`at telah berbeda namun agama Islam tetap satu (dalam kurun yang berbeda),” tulis Agusni.
Menurut Ibnu Taimiyah, siapa yang berpegang kepada yang mansukh, tidak dipandang lagi sebagai muslim, karena tidak dianggap lagi agama para nabi setelah datangnya Nabi Muhammad. Barangsiapa tidak mau masuk ke dalam agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad, ia bukanlah seorang muslim. Barangsiapa meninggalkan syari`at para Nabi dan menciptakan sebuah syari`at, itu dianggap batal dan tidak boleh mengikutinya.
Kedua, hadits yang memrediksi bahwa umat Islam akan mengikuti langkah-langkah umat Yahudi dan Nasrani, yang artinya:
“Dari Abī Sa`īd al-Khudrī, ia berkata: Rasul bersabda: Sungguh kalian akan mengikuti jejak-jejak umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya. Mereka (para sahabat) bertanya: wahai Rasul, apakah kaum Yahudi dan Nasrani? Siapa lagi? (kalau bukan mereka).”
Ibn Taimiyah menerangkan beberapa fenomena umat Islam yang dianggapnya telah menyimpang akibat terpengaruh dengan sifat Yahudi dan Nasrani. Di antaranya adalah sekelompok mutasawwifah dan sejenisnya di mana mereka tidak mau menerima ajaran Islam dan tidak mau belajar kepada orang lain selain yang diajarkan oleh “kelompoknya” saja (kaum ekslusif).
Mereka memilih-milih orang atau kelompok, bukan menjadikan Nabi sebagai teladan. Bahkan sebahagian mereka, menurut Ibnu Taimiyah, memiliki sifat sebagaimana orang Yahudi. Menukar ajaran agamanya, menciptakan hadits-hadits palsu dan mendakwakannya sebagai hujjah agama.
Ibn Taimiyah juga menganggap sikap orang yang keterlaluan dalam memandang para Nabi dan orang salih, sehingga menciptakan mazhab hulul dan ittihad sebagai akibat keterpengaruhan mereka kepada kaum Nasrani. Penganut paham hulul dan ittihad dari sebahagian kaum sufi itu bahkan menurutnya lebih jelek daripada kaum Nasrani yang menjadikan (mengkultus) rahib dan kerahiban mereka sebagai tandingan Allah.
Ketiga, hadis yang menyebutkan bahwa umat Islam terpengaruh dengan budaya Persi dan Rumawi, yang artinya:
“Dari Abī Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda: Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya sejengkal demisejengkal dan sehasta demi sehasta. Lalu ada yang bertanya: Wahai Rasul, apakah seperti bangsa Parsi dan Rumawi? Beliau menjawab: manusia yang mana lagi kalau bukan mereka?”
Dari hadits ini terinformasikan bahwa di tengah umat Islam akan ada, selain orang yang meniru Yahudi dan Nasrani, juga ada yang meniru orang-orang `Ajam, orang asing (dalam hadits ini adalah orang Persi dan Rumawi).
“Oleh karena itu, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa umat Islam tidak dibolehkan meniru ahli kitab begitu juga `Ajam dari sisi agama dan budayanya. Karena dengan meniru mereka, ada umat Islam menjadi kufur, menjadi fusq, maksiat dan khatha’. Orang yang sampai keluar dari Islam (riddah), maka ia telah menjadi kafir,” tulis Agusni Yahya.
Keempat, hadits tentang akan tetap ada umat Islam yang istiqamah pada sunnah Nabi, yang artinya:
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang tetap membela kebenaran sampai terjadi kiamat. Mereka tahan terhadap orang yang melecehkannya dan mereka tetap tidak berubah hingga datang ajalnya.”
Dari penjelasan Ibn Taimiyah terhadap hadits di atas, terlihat bahwa Ibnu Taimiyyah bersikap “prejudice” terhadap kaum Yahudi dan Nasrani, yaitu memandang mereka sebagai penyebab dari penyimpangan-penyimpangan perilaku agama yang terjadi pada umat Islam. Padahal, menurut Agusni, tidak semua penyimpangan berasal dari agama di luar Islam, khususnya Yahudi dan Nasrani.
Kelima, hadits larangan mencontoh ahlul kitab yang suka perpecahan. Arti hadis tersebut berbunyi:
“Dari Abi Hurairah, sungguh Rasul pernah bersabda: kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, atau tujuh puluh dua golongan, demikian juga kaum Nasrani. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.”
Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam terpecah karena mengikuti langkah-langkah umat terdahulu dari Yahudi dan Nasrani, baik mereka terpecah-pecah dalam masalah agama maupun dalam masalah duniawi. Oleh karena perbedaan dan perpecahan di tubuh umat Islam adalah sesuatu yang akan terjadi sebagaimana kaum sebelum Islam, maka Nabi memperingatkan umatnya agar hal itu jangan sampai terjadi.
Keenam, hadits larangan menghadiri hari raya agama non-muslim.
“Dari Anas bin Mālik ia berkata: Sewaktu Nabi pindah ke Madinah, orang-orang Madinah mempunyai dua hari raya, mereka dapat bersenang-senang di dalamnya. Nabi bertanya kepada warga Madinah, bagaimana kedua hari raya kalian itu. Mereka menjawab: pada zaman jahiliyah, dalam masa dua hari raya itu kami bermain bersuka ria. Akhirnya Nabi bersabda: sesungguhnya Allah telah menyediakan pengganti dua hari raya jahiliyah itu dengan dua hari raya Islam yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.”
Menurut Ibnu Taimiyah, hari raya dipandang sebagai jalan hidupnya yang dimurkai dan sesat, karenanya umat Islam dilarang mengikutinya, mengingat karena menyerupai agama ahli kitab dan juga bertentangan dengan tradisi kaum Salaf. Menyerupai mereka dipandang sama dengan golongan mereka juga (man tasyabbaha biqawmin fahuwa ma`ahum).
Dari penjelasan-penjelasan di atas, papar Agusni Yahya, terlihat bahwa secara teologis, Ibn Taimiyah sangat “puritan” menyangkut dengan unsur-unsur yang berpotensi kepada kemusyrikan. Sementara itu, secara sosiologis, ia terkesan “eksklusif” terhadap kaum non-Muslim.
Dalam persoalan-persoalan yang lain, ia tidak menerima takwil, namun dalam masalah hari raya non-Muslim ini, ia mendukung takwil dari ayat وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّور yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi, yang dihubungkan kepada larangan mengikuti hari raya kaum musyrikin.
Pengharaman menyerupai kaum non-Muslim secara mutlak (dalam segala hal) tersebut dapat berarti penegasan terhadap semua kelebihan yang dimiliki oleh kaum di luar Islam. Padahal sikap tidak mau mengakui keunggulan kaum yang lain adalah salah satu sifat murka dan sesat yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, mereka antara satu dengan lainnya saling melecehkan (QS. alBaqarah: 113). Pandangan eksklusivis demikian dapat terkesan untuk mengajak umat Islam menjadi umat yang menutup diri (eksklusif), tidak mau berkooperasi dengan kaum yang lain.
Reporter: Yusuf