Oleh: Finka Setiana Adiwisastra
“These terrorist are the antithesis of Islam. They are not Muslim. Violence has no place in religion and the terrorist are responsible for their own crimes, not the religion and not us”. (Samira Ahmed).
Sungguh sebuah argumen tegas yang disampaikan oleh Samira Ahmed bahwa sejatinya teroris merupakan suatu yang bertentangan dengan Islam. Teroris bukan bagian dari Muslim. Kekerasan tidak punya tempat dalam agama dan teroris bertanggungjawab atas mereka sendiri, bukan agama, bukan pula kita. Memang faktanya teroris tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama terlebih Islam. Karena teroris lahir dari fundamentalisme bukan dari agama apalagi Islam.
Runnymede Trust (sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Inggris) menggambarkan perspektif mengenai Islamofobia. Di antaranya menggambarkan fenomena tersebut sebagai kebencian atau sikap permusuhan yang tak kuat dasarnya terhadap Islam.
“Secara praktisnya gambaran seperti itu dapat menghasilkan sikap diskriminatif terhadap individu maupun masyarakat Muslim. Seperti halnya mengacuhkan kiprah umat Islam dalam kepentingan politik maupun ekonomi di suatu negara”, tulis Runnymede Trust dalam laporannya.
18 tahun sudah tragedi pemboman gedung WTC (World Trade Center) atau yang umumya dikenal sebagai tragedi nine eleven berlalu. Tragedi yang memakan sekitar 3000 jiwa dan 6000 luka-luka itu masih saja membekas dalam benak masyarakat dunia, terutama masyarakat AS.
Quo Vadis Tragedi Nine Eleven
Semua mengingat tragedi itu sebagai tragedi radikal yang dilancarkan oleh kelompok militan Al-Qaeda. Yang disinyalir sebagai kelompok teroris Irak, Osama Bin Laden sebagai pemimpinnya. Tragedi ini pula akhirnya umat Islam dicap sebagai teroris dan radikalis hingga populerlah perspektif Islamofobia, padahal opini publik tidak sesuai dengan realita.
Memang selama ini label Islamofobia selalu saja dikaitkan dengan terorisme dan radikalisme. Padahal, ini bagian dari distorsi terhadap ajaran Islam yang benar. Tragedi ini hanya sekedar drama kolosal yang dikemas dengan rapih oleh AS . Guna menugaskan kelompok tertentu yang membawa embel-embel Islam dalam memerankan rangkaian ceritanya.
Kabarnya kelompok Al-Qaeda membajak empat pesawat pada American Airlines tujuan Los Angeles dan San Francisco. Mereka membawa amunisi berupa bahan bakar dalam jumlah banyak. Amunisi yang tersedia rencananya akan dimanfaatkan untuk menyerang beberapa kawasan yang sudah ditentukan.
Empat pesawat itu di antaranya American Airlines penerbangan 11, American Airlines penerbangan 77, United Airlines penerbangan 175, dan United Airlines penerbangan 93. Kelompok itu menabrakkan pesawat penerbangan 11 kepada gedung WTC bagian utara.
Beberapa menit kemudian pesawat penerbangan 175 menabrak gedung WTC bagian selatan. Selain itu, pesawat ketiga menabrakkan diri kepada gedung pertahanan di Pentagon. Lalu berlanjut pada pesawat keempat yang jatuh di kawasan Pennsylvania.
Stigma dan Reaksi AS
Masyarakat AS merasa kaget seketika dengan tragedi ditabraknya menara kembar WTC tersebut. Mereka berasumsi negaranya sedang diserang oleh kelompok terduga teroris bukan sekedar kecelakaan semata.
Para wartawan pun seketika terkejut ketika tragedi itu terjadi. Mereka bertanya-tanya apakah tragedi itu bagian dari kecelakaan atau serangan terorisme. Alhasil mereka menyimpulkan bahwa tragedi itu bagian dari terorisme dan AS dalam kondisi diserang. Serangan tersebut akhirnya berhasil membuat gedung-gedung menjadi puing-puing ketika sudah jatuh ke tanah dan terbakar akibat bahan bakar.
Tragedi WTC memicu terjadinya reaksi yang terus menerus menggema hingga saat ini berupa program War on Terror oleh Presiden AS saat itu George W. Bush. Meningkatlah dugaan-dugaan buruk Barat terhadap umat Islam khususnya dengan kacamata Islamofobianya.
Selang beberapa pekan kemudian, George W. Bush melancarkan programnya untuk menyerang Afghanistan dengan kelompok Al-Qaeda sebagai sasaran utamanya. Al-Qaeda disinyalir mendapat perlindungan oleh kelompok ekstrimis taliban.
AS pun berhasil menghancurkan Al-Qaeda berikut dengan kelompok taliban yang disokong oleh puluhan sekutu. Pada 2011 akhirnya pasukan AS dibawah kepemimpinan Presiden AS Barack Obama menemukan dan membunuh Pemimpin Al-Qaeda, Osama Bin Laden.
Di dunia barat khususnya tragedi nine eleven menjadi pemicu boomingnya perspektif Islamofobia. Pasca Perang Dingin berlangsung, AS berasumsi serangan-serangan yang dilancarkan kepada Negara Islam merupakan bagian dari perjuangan demi kebaikan. Dengan asumsi bahwa Islam sebagai musuh baru yang radikal dan ekstremis.
Banyak suara-suara di media berbagai negara menghukum Islam sebagai kaum radikalis, teroris, dan ekstremis. Tak hanya itu, pasca tragedi nine eleven muncul pula pelecehan dan kekerasan kepada masyarakat Muslim di AS. Bahkan masyarakat Muslim di AS dicap sebagai musuh yang paling berbahaya.
Di balik Nine Eleven
Sebenarnya, tragedi nine eleven bukan bagian dari sikap radikal yang dilakukan Islam dalam mengancam peradaban guna mencapai kepentingan agama maupun politis. Namun dibalik ini semua terdapat rahasia besar yang umumnya belum diketahui oleh publik dunia mengenai konspirasi yang terjadi di dunia barat terhadap umat Islam.
Dunia barat khususnya berasumsi umat Islamlah yang mengancam peradaban bahkan keamanan nasional yang paling utama. Meski pada kenyataannya umat Islam hanya menjadi korban penuduhan dunia Barat yang justru ingin memenuhi tujuan politisnya untuk menguasai dunia.
Sejatinya Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang damai, humanis dan memiliki prinsip kuat dalam memberikan kasih sayangnya bagi alam semesta dalam bingkai persaudaraan dunia. Sehingga mustahil jika Islam menjadi aktor yang ingin menghancurkan dunia Barat khususnya AS.
Kita, sebagai generasi millenial, perlu sekali bijak dalam menyikapi segala persoalan. Termasuk perihal narasi besar Islamofobia yang kembali populer sejak tragedi nine eleven terjadi. Jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum membuat kita merendahkan kaum yang lain. Dengan berasumsi kaum tertentu sebagai kaum yang konservatif, fundamentalis, radikal, anti Barat, bahkan anti NKRI.
Setiap kita sebagai penganut agama memiliki moralitas agung yang perlu dirawat bukan dirusak. Kita hidup dalam bingkai pluralitas dan sudah semestinya kita jaga persaudaraan beragama kita yang sejuk, damai, dan tenteram dengan sikap toleransi.
Salah satunya dengan kuatnya relasi antar umat beragama dengan saling membuka dialog terbuka tentang masalah sosial-ekonomi rakyat. Untuk membantu mereka yang kesusahan tanpa memandang agamanya. Kita tetap menjaga hidup rukun antar umat beragama dalam lingkungan sosial tanpa pilih-pilih dia berasal dari agama mana.
*Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Lampung