IBTimes.ID – Setiap pemikir besar selalu memiliki rangkaian dengan nama-nama besar lain. Ke atas ada nama-nama besar yang menjadi gurunya. Ke samping, ia hidup dengan pemikir-pemikir lain yang juga besar.
Menurut Yudi Latief, Cak Nur memiliki guru-guru yang besar seperti Hamka, M Natsir, Roem, dan lain-lain. Di samping Cak Nur, ada pemikir-pemikir besar yang juga secara tidak langsung membesarkan namanya.
“Cak Nur tidak akan besar kalau disampingnya tidak ada Gus Dur, tidak ada Dawam Raharjo, tidak ada Syafii Maarif, tidak ada Ahmad Wahib. Kadang-kadang antar pemikir ini berkontestasi satu sama lain. Tapi justru kontestasi di antara mereka itulah yang mengasah kekuatan dan kedalaman intelektual,” ujar Yudi Latief dalam Haul Cak Nur ke 12 tahun 2018 silam.
Sementara itu, di bawah pemikir besar juga selalu ada murid-muridnya yang besar. Guru besar biasa melahirkan murid besar. Murid, imbuh Yudi Latief, tidak selalu berarti orang yang belajar tatap muka di kelas secara terus-menerus. Murid adalah orang-orang yang secara serius mempelajari pemikiran gurunya.
“Masalahnya, hari ini, masyarakat belum benar-benar mempelajari pemikiran seseorang, sudah langsung melompat ke kesimpulan. Banyak orang yang mengkritik pemikiran sekularisasi Cak Nur, tanpa sekalipun membaca pikiran Cak Nur,” tegasnya.
Murid-murid dari pemikir tersebut secara tidak langsung juga turut membesarkan nama gurunya. Misalnya, Socrates tidak akan dikenal sebagai filsuf besar jika tidak ada Plato yang menuliskan pikiran-pikiran Socrates.
Kebesaran anak didik akan membesarkan nama gurunya. Seorang guru juga tidak akan menjadi besar jika tidak melahirkan murid-murid yang besar. Murid-muridlah yang akan meneruskan, mengasah, mendalami, sekaligus menyebarkan dan mengembangkan lebih lanjut pikiran gurunya.
Sayangnya, menurut Yudi Latief, anak-anak muda Indonesia sedang mengalami diskoneksi dengan pikiran intelektual masa lalu di Indonesia. Jika tidak ada anak muda yang mendalami pikiran-pikiran Gus Dur dan Cak Nur, maka anak-anak muda di Indonesia akan mudah terpapar pikiran dari luar seperti Sayyid Quthb.
“Inilah yang membunuh jagat intelektual Indonesia. Kita mengalami diskoneksi dengan masa lalu, sehinga menjadi bangsa yang kerdil. Ini kegawatan yang sangat serius. Sejarah itu pohon. Pohon itu akan tumbuh jika akar, batang, dan daunnya bersatu dalam satu tubuh. Maka jangan sampai kita tercerabut dari akar,” imbuhnya.
Penulis buku Negara Paripurna tersebut juga menyayangkan tingginya penggunaan media sosial di Indonesia, sementara pada saat yang sama tingkat literasi begitu rendah. Jumlah HP di Indonesia lebih banyak dari jumlah penduduk. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia adalah terbanyak ketiga di seluruh dunia. Namun, tingkat intelektual Indonesia begitu rendah.
Ia berpesan agar setiap pemikir bersama-sama memproduksi pemikir lain yang sezaman sehingga bisa bersama-sama menumbuhkan gairah intelektual di Indonesia. Sementara itu, ke bawah, setiap pemikir memiliki tugas untuk melakukan proses pendidikan di berbagai tempat untuk menumbuhkan murid-murid yang memiliki pemikiran inklusif.
Reporter: Yusuf