Report

Nasikh Mansukh, Peralihan Ayat Madaniyah ke Ayat Makiyyah

4 Mins read

IBTimes.ID – Nasikh mansukh atau naskh adalah konsep yang sudah dikenal sejak awal perkembangan hukum Islam. Sebagaimana konsep hukum Islam yang lain, para ulama tidak memahami naskh secara seragam.

Bahkan, ada pula yang menolak naskh seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Para ulama yang keberatan dengan naskh berpendapat tidak mungkin Allah melakukan naskh, karena itu bertentangan dengan salah satu sifatnya, yaitu Maha Mengetahui.

Di dalam Alquran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2: 106, QS 7: 154, QS 22: 52 dan QS 45: 29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya.

Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamai mansukh.

Secara umum, para ulama mengartikan nasikh mansukh dengan mengganti hukum syar’i yang telah lalu dengan hukum baru. Naskh dibagi menjadi empat, yaitu naskh Alquran dengan Alquran, naskh Alquran dengan hadis, naskh hadis dengan hadis, dan naskh hadis dengan Alquran.

Di abad ke-20, muncul seorang pemikir dari Sudan, Mahmud Muhammad Thaha yang menafsirkan konsep naskh dengan begitu berani, yaitu menggunakan naskh untuk menghapus atau mengganti syariat Islam yang turun melalui ayat-ayat Madaniyah, dan menggantinya dengan syariat yang turun melalui ayat-ayat Makkiyah.

Dalam jurnal Mahkamah Vol. 1, No. 1, Juni 2016 yang berjudul “Menyimak Argumen Mahmud Thaha Tentang Naskh dan Reformasi Syariah”, penulis, Adang Djumhur Salikin menyebut bahwa pada dasarnya, pandangan Thaha tentang naskh sama dengan apa yang telah dikenalkan oleh para ulama, yakni sebagai teknik mengkompromikan ayat-ayat yang secara substansial dianggap bertentangan satu sama lain, dengan cara menghapuskan atau menagguhkan salah satunya.

Perbedaan Thaha dengan mereka, tulis Adang, terletak pada proses dan dampaknya. Menurut Thaha, proses naskh tersebut bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ayat mana yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka ayat itulah yang diberlakukan (muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan, karena tidak relevan dengan perkembangan kontemporer tidak diberlakukan (ghair muhkam) dihapuskan atau ditangguhkan (mansukh).

Baca Juga  Syamsul Anwar: Jadikan Agama sebagai Penyelesai Masalah

Sehingga, naskh menurut Mahmud Thaha dapat saja berarti penghapusan atau penangguhan ayat yang datang belakangan oleh ayat yang turun lebih dahulu, atau sebaliknya, bila memang kondisi-kondisi modern menghendakinya. Dalam pada itu, ayat yang sudah dinyatakan mansukh ini apabila diperlukan dapat digunakan lagi di kesempatan lain.

Makkiyah Madaniyah Menurut Mahmud Thaha

Istilah makkiyah dan madaniyah yang digunakan oleh Thaha pada hakikatnya, hanya menunjukan keumuman saja, sehingga ada beberapa ayat periode Makkah yang substansinya merupakan ayat-ayat madaniyah, dan begitu pula sebaliknya.

Ayat-ayat makkiyah dan madaniyah berbeda bukan karena perbedaan waktu atau tempat, melainkan perbedaan pada kelompok sasaran. Oleh sebab itu, terkadang ada tumpang tindih kandungan pesan ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyah.

Menurut Thaha sebagaimana dijelaskan oleh Adang, ayat-ayat Makkiyah berisi seruan-seruan kesetaraan, keadilan, kebebasan, HAM, demokrasi, dan perdamaian. Namun, kondisi masyarakat waktu itu belum mampu menerima pesan yang begitu maju tersebut. Masyarakat masih diliputi dengan diskriminasi, ketidakadilan, dan peperangan.

Maka, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah. Di Madinah, pesan-pesan agama berubah menjadi kaku, praktis, tegas, dan membeda-bedakan manusia. Panggilan universal “Wahai manusia” yang ada di ayat Makkiyah berubah menjadi “Wahai orang-orang yang beriman,” “Wahai orang-orang yang kafir,” dan seterusnya.

Pesan makkiyah memandang semua manusia sama, ditandai dengan panggilannya “wahai manusia” atau “wahai anak adam”, semua manusia sama, tidak ada diskriminasi laki-laki dan perempuan, warna kulit dan keyakinan. Sementara risalah madaniyah menyeru kepada golongan manusia secara lebih spesifik, dengan menyebut “wahai orang-orang yang beriman”.

Ayat-ayat madaniyah beserta hadis yang menyertainya secara umum mulai membedakan antar laki-laki dan perempuan, muslim dan non-muslim, dalam status hukum dan hak mereka di depan hukum.

Baca Juga  Riset: Pelajar Merasa Belajar di Rumah Tidak Efektif

Menurut Thaha, sebagaimana dikutip oleh Adang, semua ayat dan hadis yang menjadi dasar diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim merupakan ayat-ayat periode Madinah. Penurunan tingkat kualitas ajaran Islam, dari ajaran dasar ke ajaran cabang ini, menurut Thaha terjadi dalam segala aspeknya, termasuk aspek moral dan tingkat spiritualnya.

Adang menjelaskan bahwa perubahan dari ayat-ayat makkiyah ke ayat-ayat madaniyah yang merupakan penurunan tingkat dari prinsip-prinsip dasar dan utama menjadi prinsip-prinsip cabang ini, disebabkan oleh tingkat kemampuan masyarakat saat itu yang belum siap memberlakukan ayat-ayat makkiyah.

Pada saat yang sama, Thaha melihat bahwa di abad ke-20 ketika ia hidup, masyarakat modern sudah siap untuk melaksanakan syariat yang Allah turunkan di periode Makkah, berupa nilai-nilai keadilan, kebebasan, perdamaian, konstitusionalisme, demokrasi, HAM, dan kesetaraan. Ayat-ayat makkiyah telah dinaskh atau ditunda selama beberapa abad, dan kini telah menemukan momentum untuk dilaksanakan kembali.

Nasikh Mansukh Ayat Makkiyah dan Madaniyah

Lebih jauh, Thaha berpendapat bahwa ayat-ayat madaniyah yang sudah tidak lagi relevan dengan era modern harus ditangguhkan (mansukh) oleh ayat-ayat makkiyah yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia modern.

“Dengan demikian, dalam perspektif Thaha, yang menaskh tidak selalu ayat yang datang belakangan. Melainkan ayat mana saja yang lebih relevan dengan kebutuhan kehidupan kontekstual. Dapat saja ayat makiyah, ketika ayat itu dianggap lebih relevan bagi kehidupan kontemporer. Sebaliknya, dapat juga ayat madaniyah yang dinasakh sekiranya ayat tersebut dianggap tidak relevan dengan kebutuhan saat ini, sampai saatnya dipandang relevan lagi,” tulis Adang.

Menurut Adang, bila naskh ulama menghasilkan hukum yang mewajibkan jihad, memerangi non muslim, maka naskh Mahmud Thaha mengharuskannya untuk hidup berdampingan dengan penuh toleransi dan persahabatan. Naskh ulama mendukung adanya diskriminasi hukum dan hak-hak sosial politik antara laki-laki dengan perempuan dan muslim dengan non muslim, maka naskh Thaha menghapuskan diskriminasi tersebut.

Baca Juga  Tiga Pendekar Muhammadiyah dalam Melawan Terorisme

Demikian halnya dengan berbagai ketentuan di dalam nash yang dianggap tidak kondusif dengan nilai-nilai yang menjadi kecenderungan masyarakat dunia, seperti perbudakan dan poligami, perlu dipandang sebagai hukum transisional, bukan hukum yang final.

Perbudakan dan poligami tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial dan budaya masyarakat Arab dan belahan dunia lain saat itu. Karena itu, maka Alquran hanya mungkin bisa membatasi dan mengurangi jumlahnya, tidak kuasa untuk melarang dan menghapuskannya sama sekali.

“Sekarang, sesuai dengan kecenderungan yang semakin kuat akan tuntutan humanise dan hak-hak asasi manusia, yang melarang perbudakan dalam segala bentuknya, maka nash yang “transisional” yang membolehkan perbudakan dan poligami itu harus ditinggalkan. Hanya dengan cara itu, syariah humanis dapat dibangun,” tulis Adang.

Dengan demikian, dapat disimpulkan tiga karakteristik metode nasakh Thaha. Yaitu, pertama, peralihan dari satu teks ke teks lain, di mana antara satu teks dengan teks lainnya tidak dalam satu ayat, atau bahkan berbeda surat. Kedua, peralihan dari satu teks ke teks lainnya, tapi masih dalam satu ayat. Thaha pernah menjelaskan, bahwa penyebutan atau pembagian makkiyah dan madaniyah hanya menunjukkan keumumannya saja, sebab ada pula ayat-ayat madaniyah yang memiliki kandungan semangat atau sifat makkiyah dan begitu juga sebaliknya.

Ketiga, Thaha terkadang dengan kedalaman ilmu tasawufnya, memiliki pandangan sendiri mengenai suatu pemasalahan yang di dalam Alquran tidak dinyatakan secara tegas mengenai hukum dari persoalan tersebut. Sebab memang Thaha biasanya menggunakan pandangannya ini dalam persoalan-persoalan yang bersifat “keduniaan”, misalnya pendapat dan pandangannya mengenai masalah keadilan ekonomi, politik dan lain-lain.

Reporter: Yusuf

Avatar
1447 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…
Report

Alissa Wahid: Gus Dur Teladan Kesetaraan dan Keadilan

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid memberikan tausiyah pada peringatan Haul Gus Dur ke-15 yang bertempat di Laboratorium Agama UIN…
Report

Alissa Wahid: Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid menyampaikan bahwa ada empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds