Tajdida

Islam, Modernisme, dan Akal (2): Munculnya Modernis Muslim

6 Mins read

Modernis Muslim | Modernisme lahir dalam periode yang disebut oleh ahli-ahli sejarah sebagai zaman modern. Nama “modern” diberikan untuk membedakannya dari zaman pertengahan, dan untuk menegaskan perbedaan utama antara dua zaman tersebut.

Abad ke-16 Masehi adalah akhir bagi zaman yang lama dan awal untuk zaman yang baru (modern artinya baru).

Di zaman pertengahan alam pikiran manusia berpusat pada Tuhan dan metafisika; sementara di zaman yang baru ini manusia menggantikan Tuhan, dan sains menggantikan metafisika.

Sebelum tiba di dunia Islam pada abad ke-19 Masehi, modernisme terlebih dahulu mengguncang tanah airnya sendiri, peradaban Barat, dengan meruntuhkan otoritas kebenaran tradisional agama dan metafisika.

Dampak Modernisme Bagi Kemanusiaan

Pada esensinya, modernisme yang berkembang sejak era Renaisans sampai era Revolusi Industri – bahkan sebenarnya sampai saat ini – meletakkan agama dan metafisika sebagai semata-mata warisan kebudayaan dunia lama.

Sementara untuk menemukan kebenaran, modernisme mulai menggantikan itu semua dengan kemampuan akal dan penelitian saintifik.

Kita mendapatkan informasi dari sejarah bahwa perjalanan hidup modernisme – jika bisa dikatakan seperti itu – tidaklah selalu mulus dan lancar.

Pemikir-pemikir modern berusaha untuk menemukan format terbaik bagi ajaran kemajuan mereka, terserah itu di bidang filsafat, sains, politik, atau ekonomi.

Saking tidak mulusnya jalan hidup modernisme, mereka harus berhadapan dengan banyak sekali konflik dan perang yang menelan banyak sekali jiwa.

Di kemudian hari, ramai ahli filsafat membahas soal problem dan ekses modernitas untuk menunjukkan ke hadapan kita bahwa modernisme sebenarnya membawa malapetaka bagi kemanusiaan.

Dua kali Perang Dunia seringkali dipakai, baik oleh politikus-politikus yang cerdik atau pun filsuf-filsuf post-modernism yang cerdas, sebagai dalih untuk menunjukkan bagaimana manusia modern bisa menjadi begitu jahat dan merusak dengan dukungan sains, teknologi, dan kekayaan ekonomi mereka.

Islam dan Modernisme

Terlepas dari pro dan kontra tentang baik atau tidaknya modernisme itu, proses modernisasi ini kemudian, tanpa bisa dibendung lagi, juga memasuki dunia Islam.

Imperium-imperium besar Islam yang terakhir seperti Usmani, Safawi, dan Mughal harus berhadapan dengan dunia modern yang jauh lebih kuat daripada mereka dahulu.

Terkejut? Sudah pasti. Imperium-imperium Islam yang digambarkan sempurna dan selalu memperoleh dukungan penuh dari Tuhan itu, ternyata tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari negara-negara modern

(Omong-omong, jika benar-benar ada dukungan Tuhan kepada mereka, imperium mana yang Tuhan dukung, sebab tiga imperium terakhir Islam itu pun pada kenyataannya saling bermusuhan).

Dalam suasana yang penuh kejutan itu, beberapa Muslim yang terpelajar berusaha dengan sangat keras untuk membela martabat diri, bangsa, dan agamanya di hadapan modernitas yang tampil dengan begitu kuat.

Baca Juga  Mush’ab bin Umair, Pemuda Tangguh yang Menjual Dirinya untuk Akhirat

Kaum terpelajar ini kelak akan dikenang oleh sejarah dunia sebagai para modernis Muslim.

Munculnya Modernis Muslim

Ada penghargaan yang secara tidak sadar diberikan kepada para modernis Muslim atas jasa mereka membuat bangsa dan agamanya tidak kehilangan martabat.

Begitu pula ada kutukan dan tuduhan yang secara sadar diberikan kepada mereka disebabkan pilihan hidupnya untuk mengombinasikan Islam dengan modernisme.

Tuduhan yang paling keras atas mereka adalah tuduhan mengubah agama, atau merusak kesucian dan keaslian agama.

Di abad ke-19 dan awal abad ke-20 Masehi, dengan subur, tumbuh generasi modernis Muslim di mana-mana.

Kita mengenal Ahmad Khan dan Ameer Ali dari India, Namik Kemal dan Mustafa Kemal di Turki, Afghani yang berkelana ke mana-mana, Abduh, muridnya, dan Tahtawi dari Mesir, begitu juga Soekarno di Indonesia – sekadar untuk menyebut beberapa nama yang terkenal.

Hingga sekarang modernis Muslim terus bermunculan. Secara umum apa yang dilakukan kaum modernis adalah melakukan penafsiran baru atas Islam untuk menciptakan keselarasan antara Islam dengan dunia yang sudah berubah.

Mereka menerima nilai-nilai modern, seperti kebebasan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia; berusaha mencari titik temunya dengan Islam; lalu menyampaikannya ke umat Islam untuk membuat mereka menyadari bahwa Islam dan modernisme tidak bertentangan.

Kemal Ataturk yang Dicintai

Dengan cara mereka masing-masing, modernis Muslim berusaha keras untuk membuat masyarakat Muslim mereka tidak terasing di tengah-tengah proses modernisasi dunia.

Dalam perspektif ini modernis Muslim tersebut bisa dilihat sebagai pahlawan yang melakukan aksi-aksi heroik.

Apabila di Indonesia kita sering merasa jijik dengan nama Mustafa Kemal Ataturk, tidak akan pernah saya lupa percakapan asyik dengan banyak mahasiswa Turki saat saya berada di Turki dulu tentang rasa kagum mereka terhadap Mustafa Kemal.

Kata mereka kepada saya: bayangkan jika tidak ada Mustafa Kemal, maka tidak akan ada yang tersisa dari tanah dan air untuk ditempati dan dinikmati oleh bangsa Turki hari ini.

Namun sejarah tetaplah sejarah dan manusia tetaplah manusia. Kita mempunyai keterbatasan dan ketidaksabaran yang sangat besar untuk mengambil kesimpulan yang adil dari semua peristiwa sejarah.

Saya cenderung mengapresiasi kaum modernis, seperti yang saya uraikan di atas. Akan tetapi, rasa benci, kecurigaan, dan bias-bias tradisional akan selalu siap mengelabui siapa pun untuk terus membenci para modernis Muslim tersebut.

Ilusi Umat Terbaik

Kemunculan modernis Muslim bukan untuk membuat orang Muslim meninggalkan agamanya.

Begitu pula mereka hadir bukan untuk membuat Islam tidak lagi menjadi agama terhebat, paling spesial, atau superior di dunia.

Kritik atas pemikiran Islam dan penafsiran ulang atas Islam yang dilakukan oleh para modernis lebih tepat dilihat sebagai collateral damage dari perubahan yang harus mereka wujudkan.

Baca Juga  Yusuf Al-Qaradawi: Ijtihad Harus Memberikan Solusi untuk Masalah Umat

Di lain tempat, tentu saja kita tidak bisa berkata bahwa seseorang mempunyai jiwa yang waras apabila ia terus mengklaim dirinya sebagai orang hebat dan superior padahal ia sebenarnya tidak melakukan apa-apa – sementara orang lain justru sudah pergi jauh ke Bulan.

Kondisi jiwa demikian disebut oleh para psikolog sebagai superiority complex. Di tubuh umat Islam, superiority complex masih terjadi dan terus dilestarikan. 

Saat dunia sudah berubah dan keunggulan peradaban itu tidak lagi dimiliki oleh umat Islam, mereka tetap mempertahankan kepercayaan sebagai agama dan umat terbaik, sembari meremehkan prestasi dan kelebihan peradaban modern.

Sekali-sekali berkunjunglah ke pengajian-pengajian atau majelis-majelis untuk semakin mengerti apa yang saya bicarakan.

Umat Islam selalu ingin mendengar dari para penceramah idolanya sebuah hiburan jiwa – walau sebenarnya adalah sebuah fantasi – bahwa mereka akan selalu menjadi umat dan agama terbaik di dunia.

Fantasi seperti ini juga dimiliki oleh kebanyakan modernis Muslim yang kita sebut di atas. Secara psikologis sulit bagi umat Islam di mana pun di dunia ini untuk mengakui keunggulan peradaban dan kehebatan kaum yang lain – apalagi jika ternyata itu adalah sebuah peradaban yang diciptakan oleh kaum yang mereka anggap kafir.

***

Kita selalu bisa menghormati keyakinan siapa pun yang merasa bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan keselamatan, dan bahwa umatnya adalah umat terbaik pilihan Tuhan. Umat Yahudi punya keyakinan yang sama, begitu pula dengan banyak umat agama lainnya.

Dalam kasus Islam, teks-teks suci mereka, yaitu Al-Quran dan hadits, banyak mengindikasikan hal tersebut – setidaknya apabila teks kitab suci dibaca secara terpisah dari keragaman konteks sosiologisnya. 

Gambaran mental tentang keistimewaan agama dan umat Islam ini akan semakin menguat sewaktu orang-orang Muslim menyaksikan satu demi satu kemenangan pasukan militer Islam di medan perang.

Di zaman pertengahan dahulu hal seperti itulah yang terjadi. Saat itu, imperium Islam terus membesar, kebudayaan mereka mengagumkan, filsafat dan ilmu pengetahuan mereka mencerahkan, dan ekonomi mereka memakmurkan.

Seandainya saya atau Anda adalah Muslim yang hidup saat itu di tempat-tempat seperti Baghdad atau Andalusia, kita pun kemungkinan besar akan mempunyai fantasi yang serupa.

Namun semua itu ternyata tidaklah abadi. Dengan segera, zaman modern hadir dan mengubah permainan untuk selamanya.

Di antara sekian banyak nilai-nilai modern yang menentukan berubahnya permainan tersebut adalah kepercayaan yang sangat kuat kepada akal manusia.

Akal Manusia Sebagai Kekuatan

Zaman modern melahirkan banyak filsuf yang saling berdebat dan saling membantah satu sama lain.

Baca Juga  Diskursus “Akal Sehat” di Muhammadiyah

Meskipun demikian, mereka semua mempunyai kepercayaan yang sangat besar bahwa kini kita bisa mengandalkan akal kita sendiri untuk menemukan kebenaran.

Semangat ini terdengar seperti pemberontakan. Ketika manusia sudah mempunyai kepercayaan diri yang cukup atas potensi akalnya, mereka tidak akan takut lagi untuk mengkritik otoritas agama dan politik yang selama ini menguasai kehidupannya.

Bagi otoritas dan penjaga status quo, zaman modern adalah zaman yang penuh dengan pemberontakan tersebut.

Pemberontakan atas pemegang otoritas agama dan politik, tapi pencerahan bagi kemanusiaan yang lebih esensial.

Itulah mengapa filsuf modern memberi nama-nama yang gaya tapi mengena atas esensi zaman modern mereka; seperti Renaissance (kelahiran kembali) atau Enlightenment (pencerahan).

Di pusat “kelahiran kembali” dan “pencerahan”  tersebut mereka meletakkan akal sebagai fondasinya.

***

Sewaktu modernisme mulai memasuki gerbang dunia Islam di abad ke-19 Masehi, ajaran tentang akal ini pula yang menjadi nilai modern pertama yang hendak diadopsi dan diafirmasi oleh kaum modernis Muslim.

Mereka merasa bahwa ada yang sama antara semangat rasionalisme modern dengan keutamaan akal di dalam Islam.

Perasaan ini sebegitu kuatnya. Sehingga, membuat adrenalin mereka bergerak kencang, tidak sabar untuk segera menyadarkan dunia Islam bahwa mereka tidak kalah modern dan tidak kalah rasional.

Lebih hebat dari sekadar persamaan yang mereka temukan, modernis Muslim mengalami momen eureka tatkala menyadari bahwa jauh sebelum modernisme Barat, dalam urusan rasionalitas dan kebebasan berpikir, dunia Islam adalah pionirnya.

Belum lagi sewaktu modernis Muslim ini berhasil menemukan fakta penting lainnya bahwa keberlanjutan ajaran rasional Plato dan Aristoteles berutang besar kepada kerja-kerja ilmiah ilmuwan Muslim.

Menyadari ini semua, modernis Muslim merasa menemukan perbendaharaan yang cukup kaya dari karya-karya falasifah seperti Kindi dan Farabi untuk membela akal dan kebebasan berpikir. Dengan kata lain, untuk membela modernisme.

***

Sedikit lebih awal dari generasi falasifah Muslim yang tadi disebut, Islam juga memiliki apa yang disebut oleh akademisi-akademisi Barat sebagai the defender of reason in Islam, para pelindung akal di dalam Islam.

Pelindung akal ini adalah kelompok liberal bernama Mu’tazilah, yang secara mengejutkan sudah menyuarakan rasionalisme di abad ke-9 Masehi.

Secara otomatis mazhab teologi rasional Mu’tazilah pun menjadi sumber inspirasi besar – selain falasifah tentu saja – bagi kaum modernis Muslim untuk menyukseskan proyek modernisasi Islam mereka.

Namun di tengah-tengah semangat dan proyek penting tersebut, seringkali luput dua pertanyaan penting.

Jika Islam memang sedemikian kaya dengan perbendaharaan ilmiah soal akal, lalu mengapa modernisme tidak lahir dari mereka? Dan, mengapa pula mereka terus-terusan menolaknya?

Bersambung.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *