Perspektif

Yang Hilang dari Kehidupan Kita: Akhlak

3 Mins read

Judul tulisan ini terinspirasi dari buku “Yang Hilang dari Kita: AKHLAK”, yang ditulis oleh Prof M. Quraish Shihab. Buku yang sangat bagus, karena mengupas tentang akhlak secara holistik. Inti agama itu adalah akhlak. Beragama dengan menjalankan ritual-ritual agama seharusnya menghasilkan suatu akhlak yang baik. Sejatinya agama itu berasal dari Tuhan, tetapi diturunkan untuk manusia. 

Tuhan menciptakan manusia dan melengkapinya dengan segala fasilitas dalam kehidupan dunia ini. Tuhan yang paling paham tentang eksistensi manusia, dan Tuhanlah yang memberikan kepada manusia kompas kehidupan untuk mengatur kehidupannya.

Keistimewaan dan Kemuliaan Manusia

Upaya untuk menjadi manusia yang berakhlak, mereka mesti melakukan komunikasi dengan Tuhan lewat ritual-ritual yang diajarkan dalam agama. Seluruh ajaran agama yang sudah dimodifikasi dalam berbagai ajaran-ajaran ritual, tidak ada yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Sebab agama itu sendiri adalah fitrah.

Agama biasanya disebut dengan fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan kepada manusia). Tidak hanya fitrah munazzalah yang diberikan kepada manusia, tetapi juga fitrah majbulah, yang sering disebut oleh Cak Nur. Fitrah dari Tuhan, yang sudah ada dalam diri kita sebelum dilahirkan ke dunia ini. Itulah, betapa lengkapnya fasilitas yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, jika dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya.

Dalam perspektif ajaran agama, manusia menempati posisi yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT. Dalam Surah At-Tin: “Sungguh Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik sebaiknya”. Di ayat yang lain pada Surah Al-Isra ayat 70: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam”, kedua ayat ini memberikan keistimewaan khusus kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk Tuhan yang lain.

Dari segi penciptaan, Tuhan menggunakan kata “ahsani taqwim”, dalam bentuk yang paling baik. Dilihat segi fisik atau bentuk, manusialah yang teratas dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Kemudian di ayat yang lain, lebih spesifik lagi karena menyangkut substansi dari manusia. Di mana letak kemuliaan manusia, sehingga Tuhan memberikan legitimasi sebagai makhluk yang sangat mulia.

Baca Juga  Konsep Akhlak Al-Ghazali: Spiritualitas yang Paling Utama

***

Dalam kelanjutan ayat di atas, manusia diangkut di darat maupun di lautan. Artinya, bahwa manusia dapat mengakses apa yang ada di laut maupun yang ada di darat. Kemudian Tuhan memberikan rezeki kepada mereka dari yang baik-baik.

Itulah perangkat-perangkat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, sehingga mendapat predikat sebagai makhluk yang teristimewa. Namun demikian, kita sebagai manusia kurang menyadari atau lupa dengan fasilitas-fasilitas yang sangat berharga itu. Kita kebanyakan berjalan tanpa kompas agama, sehingga kita terjatuh kepada hal-hal yang bertentangan dengan jati diri kita.

Manusia memang punya dua potensi, yaitu potensi pujur (potensi yang bisa terjatuh kepada hal-hal yang tidak baik) dan potensi taqwa (potensi yang selalu membawa manusia menuju jalan yang diridhai oleh Tuhan).

Krisis Akhlak di Zaman Modern

Di dunia modern sekarang ini, tantangan jalan menuju kebaikan semakin berat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, manusia semakin terpesona atau larut dalam menikmati kecanggihan teknologi. Tak terhitung banyaknya manusia yang tersihir dengan daya tarik teknologi, sehingga potensi yang sangat berharga dalam diri manusia terkubur.

Memang secara psikologis manusia itu lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya jangka pendek dan lebih menjanjikan kenikmatan. Itulah salah satu sifat yang paling menonjol dalam diri manusia, mudah tertarik kepada hal-hal yang sifatnya jangka pendek.

Manusia tidak menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Tuhan berupa agama, yaitu fitrah munazzalah dan firah majbulah, fitrah yang ada dalam diri manusia itu. Sehingga kita mengalami degradasi moral atau kebangkrutan moral, karena meninggalkan jati diri mereka sebagai manusia.

Jadi, akhlak itu sangat berkaitan dengan pemanfaatan potensi keunggulan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Manusia modern seharusnya kembali kepada jati diri mereka sebagai manusia. Manusia harus menyadari, bahwa keunggulan yang dimilikinya adalah bagian dari intervensi Tuhan, supaya manusia bisa menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini.

Baca Juga  Kasus Pemaksaan Jilbab: Berkaca Pada Kristen Muhammadiyah

Malaikat sebagai salah satu makhluk Tuhan yang sangat taat kepada perintah-Nya, mereka memberikan penghormatan kepada manusia, yakni Nabi Adam. Para Malaikat paham akan kelebihan manusia, itulah sebabnya Syeikh Yusuf Al Makassari pernah mengatakan, bahwa “inti beragama itu adalah akhlak”.

Ajaran-ajaran agama yang kita jalankan sehari-sehari berupa ritual-ritual ibadah, seharusnya punya dampak sosial berupa akhlak yang baik. Inti akhlak adalah silaturrahim, dan inti silaturrahim adalah selalu memvibrasikan pesan-pesan kebahagiaan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Sangat menarik cover buku Prof Quraish Shihab, “Yang Hilang dari Kita: AKHLAK”, kata akhlak sengaja ditulis agak rendah ke bawah. Artinya, bahwa akhlak sekarang ini adalah barang yang sangat langka, karena kita mengalami degradasi moral atau degradasi akhlak.

Misi Islam Awal: Memperbaiki Akhlak

Ketika dahulu, sebelum datangnya Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Keadaan masyarakat arab pada waktu itu sangat berada dalam akhlak yang sangat buruk, yang biasa dikenal dengan zaman jahiliyah. Muhammad datang dengan membawa reformasi moral, membawa pembaharuan. Masyarakat jahiliyah pada waktu itu sangat anti terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, karena akan menggeser ajaran-ajaran nenek moyang mereka yang selama ini dipercayai.

Islam datang dengan membawa ajaran Tauhid dan menghormati nilai-nilai kemanusian universal. Sehingga masyarakat Quraisy pada saat itu merasa asing terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Salah satu statement dalam Islam adalah pada mulanya Islam itu datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing. Artinya kebenaran itu akan terasa asing di hadapan orang-orang yang sudah terkontaminasi dengan ajaran-ajaran sesat lagi sangat mengedepankan materialisme, seperti yang terjadi pada zaman awal kerasulan Muhammad.

Baca Juga  Cerita SMA di Australia: Belum Garap PR, Tak Masalah!

Kemudian kebenaran akan kembali asing di zaman jahiliyah modern sekarang ini. Siapa saja yang konsisten dalam menyampaikan kebenaran di saat akhlak masyarakat semakin menurun, maka mereka adalah orang-orang yang mengalami keberuntungan.

Editor: Saleh

Avatar
40 posts

About author
Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds