Report

Aristya, dari Korban Kerusuhan 98 Hingga Main Barongsai Diiringi Musik Hadrah

3 Mins read

Siang itu banyak bekas ban-ban terbakar di jalan raya. Di sepanjang pinggir jalan, masyarakat asli kampung berjaga-jaga. Sebagian pertokoan terlihat begitu berantakan. Teralisnya rusak, pintunya hangus bekas terbakar, sedangkan barang-barang di dalamnya ludes dijarah massa. Sebagian toko dan rumah yang selamat dicoret-coret dengan cat pilox bertuliskan “pribumi” atau “pro reformasi”.

Nama saya Aristya. Saya memiliki mata sipit. Mata ini juga dimiliki oleh bapak dan ibu saya. Ketika itu, saya berusia 9 tahun. Kelas 2 SD. Sekitar pukul 5 sore, terdengar suara letusan yang begitu kencang dari kejauhan. Sebagai anak-anak, saya begitu penasaran dengan apa yang terjadi. Beberapa detik kemudian, saya bisa melihat kepulan asap dari arah utara. Salah satu gedung di Kota Solo terbakar.

Kepulan asap gedung itu begitu terlihat dari lantai 2 rumah saya. Beberapa jenak kemudian, ayah saya berteriak agar saya segera turun ke lantai 1. Sampai di bawah, ia memeluk saya begitu erat, sementara itu, entah apa yang terjadi, ratusan orang melempari rumah saya dengan batu, kayu, dan benda keras lainnya. Kaca rumah saya pecah berkeping-keping.

Di utara rumah saya, terpisah satu gang, ada tempat usaha bapak. Ketika masa berjalan ke utara, hampir mendekati tempat usaha bapak, tiba-tiba ada beberapa tetangga yang berlari dan mencoret tempat usaha bapak dengan tulisan “pribumi”. Sebagian tetangga juga keluar membawa parang, kayu, dan lain-lain agar masa aksi tidak mendekat ke tempat usaha kami. Mereka rela mengorbankan segalanya demi tetangga mereka yang berbeda agama.

Puji Tuhan, berkat para tetangga, tempat usaha yang hampir saja dijarah masa bisa diselamatkan, meski salah satu pintunya sempat terkena lemparan batu. Minyak tanah tidak jadi disiramkan, tempat usaha tidak jadi dibakar.

Baca Juga  Dari Jalur Struktural hingga Kultural: Upaya Eks-Tapol 65 Menuntut Keadilan

Tiga puluh menit kemudian, kerumunan masa mulai berkurang. Saya, bapak, dan ibu masih bersembunyi di gudang rumah. Tiba-tiba ada tetangga mendobrak pintu rumah. Ia membawakan rupa-rupa makanan dan minuman untuk kami santap malam itu. Ia juga mengatakan bahwa seluruh tetangga sudah berkumpul di depan rumah untuk mengamankan.

“Tenang, semua tetangga di depan. Kita jaga rumah ini,” ujarnya. Kami mendengarkan penuh haru. Ayah saya memeluknya begitu erat sambil membisikkan ucapan terima kasih. Semalaman suntuk tetangga bergantian menjaga rumah kami. Mereka duduk-duduk di depan rumah. Ada yang sambil bermain kartu remi, ada yang sekedar ngobrol tanpa arah sambil menebak-nebak tentang peristiwa yang baru saja mereka alami.

Esoknya, lagi-lagi ada tetangga yang masuk rumah kami. “Ayo sembunyi di rumahku,” ujarnya sambil berlari menuju kami. “Udah nggak ada orang. Aman. Ayo sekarang. Rumah biar tetangga lain yang urus, udah kita obrolin tadi,” ia menjelaskan satu dua situasi dengan cepat.

Akhirnya, dengan pertimbangan singkat, kami sekeluarga berlari mengamankan diri. Kami bersembunyi di rumah salah satu tetangga. Bahkan, ketika saya akan keluar sebentar membelikan makanan untuk bapak dan ibu, tetangga itu melarang. Ia melarang saya untuk keluar rumah demi keamanan saya dan keluarga.

***

Kisah itu dikisahkan oleh Aristya Angga Susanto kepada saya dalam sebuah percakapan di sore hari. Aristya adalah seorang perempuan yang menjadi korban kerusuhan Mei 98 di Solo. Belakangan, ia tahu bahwa kisruh yang terjadi di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, itu menuntut Presiden Soeharto untuk turun tahta.

Belakangan juga ia baru tahu bahwa kerusuhan 98 tersebut juga diwarnai isu rasial. Emosi masa aksi disulut dengan kebencian terhadap etnis Tionghoa yang minoritas. Menurut laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta, kisruh tersebut juga menyebabkan 52 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Baca Juga  Novel Maryam & Kambing dan Hujan: Cara Kita Beragama

Keluarga Aristya adalah satu-satunya keluarga Tionghoa yang tinggal di kampung tersebut. Seluruh tetangganya adalah muslim. Termasuk tetangga-tetangga yang menyelamatkannya ketika kerusuhan 98, seluruhnya adalah muslim. Kejadian tersebut membuktikan bahwa ia sebagai keturunan Tionghoa bisa hidup berdampingan dengan muslim di sekitarnya. Bahkan, hubungannya dengan tetangga begitu dekat, sampai-sampai tetangga turun tangan dan mengorbankan banyak hal untuk menyelamatkan keluarganya.

Kini, setiap hari raya Idulfitri, keluarga Aristya membagikan bingkisan kepada tetangga-tetangga muslimnya. Tidak hanya kepada tetangga, ia juga membagikan bingkisan kepada orang-orang yang tinggal di sekitar tempat kerjanya. Sebaliknya, ketika hari raya Iduladha, ia juga mendapatkan kiriman daging kurban. Kendati demikian ia selalu berpesan agar daging tersebut diberikan kepada yang lebih membutuhkan.

Sebagai orang yang menjadi korban kerusuhan 98, ia kemudian tumbuh menjadi pegiat isu-isu toleransi. Ketika hari raya Idulfitri tahun 2017, ia tidak hanya membagikan bingkisan kepada tetangga-tetangganya. Ia bersama dengan komunitas PAKIN (Pemuda Agama Khonghucu Indonesia), FORPLAS (Forum Pemuda Lintas Agama Surakarta), dan salah satu organisasi keislaman di Solo mengadakan kegiatan bersama, bertajuk Idul Fitri damai. Waktu itu, PAKIN Solo memainkan Tarian Barongsai dengan diiringi dengan musik hadrah di CFD.

Demi agar tidak ada lagi aksi-aksi intoleransi di Indonesia, Aristya menjadi Ketua DPW PAKIN Jawa Tengah dan Ketua PAKIN Solo. Selain itu, ia juga aktif di FORPLAS dan GEMA FKUB (Generasi Muda Forum Kerukunan Umat Beragama) Jawa Tengah.

Setiap Imlek, komunitas PAKIN berjualan pernak-pernik ala Tionghoa. Keuntungan dari hasil penjualan tersebut biasanya digunakan untuk berbagi sembako ke orang-orang yang membutuhkan seperti tukang parkir, tukang becak, dan penjual koran di jalan. Hal tersebut sudah dilaksanakan selama 3 tahun berturut-turut.

Baca Juga  Agama Cinta dan Ideologi Kebencian

“Waktu sekitar Imlek itu ada namanya Hari Persaudaraan. Hari Persaudaraan itu kita bagi-bagi sembako di lingkungan tempat ibadah kepada orang yang tidak mampu,” ujar Aristya.

Ia menceritakan bahwa di tempatnya ibadah, Lithang Gebang Kebajikan di Solo berdekatan dengan Gereja Pantekosta Isa Almasih (GPIA) Jemaat Maranatha dan juga berdekatan dengan Masjid. Bahkan, imbuhnya, ketika pengurusan IMB, tokoh agama dari Islam dan Kristen datang untuk membantu menguruskan dan memberikan persetujuan.

Reporter: Yusuf

Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Avatar
1344 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *