Perspektif

Hegemoni Militer dan Kegagalan Revolusi Mesir

4 Mins read
Oleh: Muhamad Rofiq*


Terdapat hubungan antara hegemoni militer dan kegagalan revolusi Mesir. Lebih dekat lagi, terdapat satu kesamaan dalam proses lengsernya Soeharto (presiden Indonesia) di tahun 1998 dan Husni Mubarak (presiden Mesir) di tahun 2011. Setelah memasuki dekade ketiga dari kepemimpinan masing-masing, baik Soeharto maupun Mubarak mulai menjaga jagak dari kekuataan militer. Mulai memberikan ‘kue lebih’ kepada kubu sipil.

Dalam kasus Soeharto, ia memberikan kursi wakil presiden kepada BJ Habibie. Hal ini terjadi setelah tiga periode sebelumnya wakil presiden diberikan secara berturut-turut kepada militer. Dalam kasus Mubarak, ia memberikan kekuasaan partai pemerintah, Partai Nasional Demokrat, kepada anaknya, Gamal Mubarak.

Bedanya Militer Mesir dan Indonesia

Gamal memiliki latar belakang seorang pengusaha. Gamal bukan ketua partai, tapi perannya sangat signifikan dalam pemerintahan Mubarak. Pemberiaan kekuasaan yang terlalu besar kepada sipil ini tentu saja membuat iri kubu militer di kedua negara.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya membuat trajektori dua negara ini menjadi sangat berbeda. Reformasi di Indonesia berhasil, sementara revolusi di Mesir gagal.

Setelah resmi memutuskan lengser, kekuasaan Soeharto secara konstitusional beralih ke tangan sipil, ke Habibie. Militer Indonesia saat itu menyadari bahwa itulah momentumnya mereka mereformasi diri, back to the barracks. Oleh karena itu, mereka tidak memanfaatkan momentum kerusuhan Mei tahun 1998 untuk mengkudeta Soeharto dan mengambil alih kekuasaan.

Ini berbeda dengan kasus di Mesir. Pada saat demonstrasi besar-besaran terjadi di akhir tahun 2010 (awal periode the Arab Spring), militer Mesir telah menyusun skenario untuk mengambil alih kekuasaan. Pada saat demonstrasi meletus, Dewan Tinggi Angkatan Bersenjata (al-Majlis al-A’la li al-Quwwah al-Musallahah) telah menyusun strategi untuk naik ke tampuk kekuasaan tertinggi.

Baca Juga  Manusia Modern: Terlalu Fokus ke Hal-Hal Material, tapi Lupa Cinta

Kegagalan Revolusi Mesir

Untuk menghalangi naiknya Gamal Mubarak menggantikan ayahnya, mereka mengusulkan agar Presiden Mubarak membentuk jabatan baru wakil presiden yang sebelumnya tidak ada. Setelah itu, mereka mengajukan tokoh bernama Omar Sulaiman. Direktur Intelijen Angkatan Bersenjata ini direncanakan untuk duduk di kursi wakil presiden. Strategi ini sepertinya jitu. Mubarak bersedia mengikutinya.

Ketika gelombang demonstrasi kian membesar dan tak terbendung, Mubarak semakin terdesak. Karena ingin menghindari dampak lain yang lebih buruk terjadi, yaitu perang sipil, ia akhirnya bersedia mundur. Tapi perlu diingat, yang memberinya aba-aba untuk mundur tidak lain adalah militer. Pada saat itulah semua skenario awal yang dibuat oleh militer akhirnya berjalan dengan baik.

Omar Sulaiman mengumumkan pengunduran diri Mubarak sebagai presiden sekaligus pengunduran dirinya sebagai wakil presiden. Setelah itu, kekuasaan beralih ke tangan militer sebagai penguasa di masa transisi.

Selanjutnya, apa yang terjadi di panggung politik Mesir semuanya hanyalah ‘lagu’ yang diorkestrai oleh kubu militer. Mulai dari kemenangan semu Ikhwanul Muslimin, penyusunan konstitusi, sampai kemudian kudeta militer.

Hegemoni Militer Mesir

Poin yang ingin saya sampaikan adalah perubahan rezim di Mesir sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kontrol militer. Para pengamat politik telah lama menyebut Mesir sebagai The Praetorian State. Negara di mana militer menjadi kekuatan penting dan sangat hegemonik di semua bidang kehidupan bernegara.

Kata Khaled Abou el-Fadel, seorang professor hukum Islam di Amerika Serikat, tentang militer Mesir:

The military’s primary role is not to fight wars, and not even to expect to fight wars, but to run the country.” (Peran utama militer bukanlah untuk berperang, dan bahkan tidak berharap untuk berperang, tetapi untuk menjalankan negara).

Baca Juga  Krisis Imkanur Rukyah, Kebenaran Wujudul Hilal, dan Kebutuhan Kalender Global

Militer Mesir menguasai keamanan, politik, ekonomi, dan media. Di Mesir, istilah “back to the barracks” sebenarnya bagi militer tidak pernah berlaku. Karena sejatinya, militer belum pernah hanya berada di barak. Mereka ada di mana-mana.

Dari beberapa media, belakangan saya mengikuti berita terkait beberapa orang aktivis Mesir yang meneriakkan tuntutan mundur kepada presiden berkuasa Abdul Fattah al-Sisi. Aktivis-aktivis ini mengajak masyarakat turun ke jalan-jalan untuk berdemontrasi. Apakah suara-suara ini akan berdampak pada meledaknya revolusi lanjutan?

The Arab Spring Lanjutan?

Terus terang, saya kurang optimis teriakan ini akan berdampak lebih jauh. Saya bahkan skeptis suara mereka akan didengar masyarakat Mesir. Ada beberapa alasan yang melandasinya:

Pertama, masyarakat Mesir masih sangat trauma atas ekperimentasi dua jilid huru-hara politik di Mesir, di tahun 2011 dan 2013. Huru-hara tersebut memakan ribuan korban, tetapi ternyata tidak merubah apa-apa. Eksperimentasi tersebut justru malah membawa Mesir saat ini kepada situasi yang lebih mencekam. Tidak ada jaminan bahwa huru-hara politik selanjutnya akan mampu men-demokratisasi-kan Mesir.

Jangankan untuk turun ke jalan, untuk sekedar mengkritik pemerintah di media saja, mereka pun tak berani. Beberapa orang teman saya, orang Mesir yang tinggal di Amerika, bahkan tidak berani menunjukkan ekspresi berduka. Mereka takut untuk sekadar berbelasungkawa saat presiden terkudeta, Muhammad Mursi dan anaknya meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Padahal saya tahu, mereka bersimpati kepada Mursi. Kata teman saya orang Arab dari negara lain, “innahum muraqabun” (media sosial mereka anak-anak Mesir diawasi oleh pemerintah).

Kedua, Abdul Fattah al-Sisi masih merupakan simbol supremasi dan masih sejalan dengan keinginan politik militer. Dalam kepemimpinannya ia masih mempertahankan hegemoni militer. Sehingga tidak ada alasan bagi militer untuk menggantinya.

Baca Juga  Murid Kiai Dahlan ini Nyaris Berhenti dari Muhammadiyah

Dari sisi masyarakat Mesir sendiri, mereka bahkan tidak terfikir untuk dipimpin oleh figur non-militer. Sebab narasi yang dibangun militer saat ini dan sangat mereka percayai adalah, “either you be with us and our country will be safe, or you will be others and the country will fall under the extremists”.

Jadi, militer menciptakan dan merawat makhluk yang bernama kelompok esktremis untuk melanggengkan kekuasaannya.

Ketiga, terkait individu-individu yang memprovokasi agar masyarakat Mesir turun ke jalan menuntut al-Sisi mundur. Beberapa tokoh tersebut tidak benar-benar ‘berpijak’ di bumi Mesir. Mereka adalah orang-orang yang mendapat suaka dan tinggal di luar negeri.

Beberapa tinggal di Qatar, ada yang di Spanyol, tetapi paling banyak di Amerika Serikat. Umumnya mereka berpendidikan tinggi dan terjamin secara ekonomi dan keamanan. Di luar negeri mereka berprofesi sebagai pengajar atau pekerja profesional secara umum.

***

Singkatnya, aktivis-aktivis ini memprovokasi orang untuk melawan hegemoni militer. Tetapi mereka sendiri tidak menanggung resiko ditangkap oleh rezim berkuasa. Jadi, mustahil suara mereka akan didengar oleh masyarakat.

Di luar itu, suara-suara kritis seperti ini juga bahkan mungkin tidak bergema sama sekali di Mesir. Sebab, tidak ada media dalam negeri yang mau memberitakannya. Semua media sudah berada dalam kontrol militer.

Jadi, apa yang akan terjadi di Mesir selanjutnya, hemat saya, tampaknya masih akan sama seperti sebelumnya. Hegemoni kekuatan militer masih akan ada di mana-mana dan ketiadaan demokrasi masih akan berlangsung. Yang mulia Abdul Fattah al-Sisi mungkin masih akan terus berkuasa sampai tahun 2034.

Tapi harapan saya, mudah-mudahan ada mukjizat Tuhan yang akan terjadi.

* Alumni PCIM Mesir dan Pengurus PCIM USA

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *