Perspektif

Khalifah fil Ardl, Khalifatur Rasul, dan Khalifatullah: antara Dua Titik Ekstrem

4 Mins read

Perdebatan mengenai khilafah mulai ramai sejak tahun 2014-an dan mencapai puncak awal tahun 2017. Meskipun sebelumnya polemik di masyarakat sudah ada sejak tahun 1980-an. Akhir-akhir ini,  isu khilafah kembali mencuat. Seolah konsep khilafah apple to apple dengan komunisme. Meski dalam konteks hukum kita, keduanya tidak bisa diperbandingkan.

Ketakutan akan penguatan politik Islam populer dan ketidakfahaman sebagian pihak mengenai konsep khilafah secara utuh mendorong lahirnya dua titik ekstrim; pemaksaan konsep tata negara era Daulah Abbasiyah yang direvitalisasi oleh HTI untuk dihidupkan lagi dan penolakan membabi buta seluruh konsepsi khilafah hingga melangkah kepada pengabaian nilai dasar Islam itu sendiri.

Dua Sikap Ekstrem

Dua titik ekstrem itu mengingatkan pada dua sikap ekstrem yang lahir pada masa lalu dalam bidang akidah. Ada kelompok Muktazilah yang menegasikan keberadaan sifat Allah secara afirmatif. Allah hanya bisa dikenali dengan cara negasi, tidak afirmasi. Seperti tidak tidur, tidak berbilang, dan seterusnya. Padahal dalam Al-Qur’an maupun hadis penegasan sifat Allah secara afirmatif tidak terhitung jumlahnya.Sikap menolak pensifatan Allah secara afirmatif Ini dikenal sebagai sikap ta’thil (meniadakan).

Di sisi lain ada kelompok yang mujassimah (menjisimkan) yang menganalogikan sifat Allah dengan sifat manusia (tamtsil/ tasybih). Karena terlalu tekstual dan menolak pemahaman majazi lebih logis maka sifat Allah dalam nash dibayangkan seperti sifat manusia. Ini dikenal dengan sebutan sikap tamtsil (menyerupakan).

Jadi, dua sikap ta’thil dan tasybih atau tajsim adalah dua sikap ekstrim dalam bidang tauhid.

Jalan Tengah di Antara Dua Sikap Ekstrem

Jalan tengahnya ada dua, yaitu tafwidh dan ta’wil. Kedua jalan inilah yang disebut keyakinan ahlussunnah wal jamaah.

Tafwidh adalah sikap salaf dan Hanabilah yang menerima bunyi nash, tidak menyerupakan sifat Allah dengan makhluk, dan menyerahkan pemahaman mendasar mengenai makna sifat kepada Allah. Ibnu Taimiyah mengutip Imam Malik dalam Tafsir Kabir-nya, bahwa sifat Allah itu diketahui bersama (ma’lum), penjelasan how-nya tidak diketahui (majhul), sifat itu wajib diimani (al-imanu wajib), dan mempertanyakan tentang how hukumnya bid’ah. Dalam Al-‘Aqidah al-Washitiyah, ia menegaskan bahwa keyakinan yang benar dalam teologi adalah tidak ta’thil ala Jahmiah dan tidak tamtsil musyabbihah.

Baca Juga  Khalifah Ali (18): Kufah dan Muawiyah, Oposisi Baru

Cara kedua adalah ta’wil. Sikap ini diikuti kalangan Asyariyah dan Maturidiyah. Sifat-sifat Allah yang afirmatif diterima, namun pemaknaannya diupayakan untuk menghindari persepsi yang menyamakan sifat Allah dengan sifat manusia. Pengertian lahiriyah nash ditakwilkan dan dipakailah makna majaz. Penjelasan mengenai operasionalisasi cara ini bisa dibaca dalam karya-karya Abu Hasan al-Asyari, al-Maturidi, Abu Bakar al-Baqillani, atau Abu Maali al-Juwaini.

Bagaimana dengan Khilafah?

Khilafah memiliki kaitan dengan khalifah, selaku pemangku fungsi atau peran khilafah. Pemangku fungsi khilafah dalam Islam dikenal dalam tiga pengertian:

1. Khalifah fi al-ardl (khalifah di dunia).

Dasar pengertian ini adalah dalam surat al-Baqarah ayat 30, al-Anam 165, dan Yunus 14. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan makna khalifah dan khilafah dalam konteks penciptaan manusia. Bahwa Adam adalah pengganti makhluk sebelumnya dan Adam dari masa ke masa digantikan keturunannya untuk menegakkan keadilan dan memakmurkan bumi.

2. Khalifatu Rasulillah (penggantian peran Rasulullah)

Istilah khalifatu Rasulillah muncul dalam konteks Khulafaur Rasyidin yang menggantikan peran Nabi Muhammmad dalam memelihara agama dan mengatur dunia melalui kekuasan pemerintahan. Abu Bakar diberitakan menolak sebutan Khalifatullah, dan lebih memilih sebutan Khaifatu Rasulillah, sebagaimana dijelasan Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikh al-Islam karyanya.

Sementara itu, Patricia Crone dalam God’s Caliph menunjukkah bahwa penggunaan istilah Khalifatullah banyak dipakai dalam koin-koin era Daulah Umayyah.

Yang jelas, kepemimpinan dalam Islam merupakan kebutuhan sebagaimana kebutuhan dalam shalat berjamaah. Pemimpin politik disebut Imam dengan analogi kepada imam Shalat. Nabi Muhammad dalam hidupnya berperan sebagai imam shalat maupun Imam dalam tata sosial-politik, selain sebagai pemberi fatwa dan hakim. Peran sebagai mufti dan hakim tersebut diteruskan para Khulafa Rasyidin dan para ulama sebagai pewaris para nabi urusan keagamaan dan menjawab masalah umat.

Baca Juga  Khalifah Ali bin Abi Thalib (8): Permasalahan Berikutnya

3. Khalifatullah (deputy of Allah)

Istilah Khalifatullah menurut Crone ada dalam Tarikh Thabari mengenai Usman bin Affan dan para Khalifah Daulah Umayyah. Namun, Hasan Ibrahim Hasan menegaskan bahwa sebutan Khalifatullah ditolak oleh jumhur ulama.

Pada masa Daulah Abbasiyah, sistem kenegaraan mengadaptasi sistem Persia. Proses adaptasi yang sudah dimulai sejak masa Khalifah Umar bin Khattab yang memakai sisten Diwan (Departemen) yang ada di kekaisaran Persia. Citra kaisar Persia sebagai wakil Tuhan di muka bumi berpengaruh dalam cara mendefinisikan model kenegaraan Daulah Abbasiyah pertama.

Karya monumental mengenai sistem kekhilafahan era Abbasiyah ini adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah, yang ditulis oleh dua orang dalam dua karya dengan judul dan isi umum sama, hanya beda beberapa detailnya. Karya pertama adalah Abu Hasan al-Mawardi, seorang hakim mazhab Syafi’i, dan kedua Abu Ya’la al-Farra, seorang hakim mazhab Hanbali. Karya inilah yang menjadi manual standar tata negara kekhalifahan Islam ala Abbasiyah.

Namun, khalifah dipahami sebagai pemangku kepemimpinan (imamah) dengan fungsi khilafatin nubuwah (menggantikan peran kenabian). Yaitu bahwa kepemimpinan (politik) ditegakkan untuk menggantikan peran kenabian dalam memelihara agama dan mengatur urusan dunia. Beberapa Khalifah Abbasiyah disebut sebagai Khalifatullah wa Rasulihi, seperti Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, meskipun mereka disebut sebagai Khalifatullah.

Gelar khalifatullah juga dipakai oleh Sultan Yogyakarta dalam sinaran citra lama bahwa Raja adalah perwujudan  Dewaraja, namun dengan pemahaman Islam bahwa Raja adalah wakil Tuhan dalam mengatur urusan agama.

Untuk masa sekarang, tata negara ala khilafah Abbasiyah dan ala al-Ahkam al-Sulthaniyyah tidak seluruhnya relevan. Meski fungsi dasar penguasa untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia tetap relevan.

Setiap penguasa muslim wajib memelihara agama, yaitu menjaga orang bisa menjalankan ibadah dengan aman dan nyaman serta pengadilan agama menyelesaikan sengketa berdasarkan aturan agama yang disahkan dalam peraturan resmi.

Tata Negara Khilafah: Hasil Ijtihad, Bukan Standar Baku

Sementara itu, tata negara ala kekhalifahan klasik adalah hasil ijtihad politik yang relevan pada masanya. Daulah Umayyah mencontoh sistem Romawi Timur karena pusat kekuasannya di Syiria, bekas wilayah Romawi Timur. Daulah Abbasiyah mencontoh sistem Kekaisaran Persia karena pusatnya di Bagdad.  Sistem tata negara ala khilafah itu bukan pakem yang ditetapkan oleh Syariah, melainkan hasil ijtihad. Jika tidak lagi relevan maka bisa digantikan sistem baru yang relevan.

Baca Juga  Ternyata Thrift Shop Sesuai dengan Ajaran Islam

Indonesia memilih negara kesatuan yang berbentuk Republik. Itu adalah hasil ijtihad untuk masa kini. Itulah ijtihad politik yang relevan untuk masa sekarang.

Jadi, khilafah sebagai fungsi manusia untuk memakmurkan dunia sesuai petunjuk al-Baqarah ayat 30 dan fungsi khilafah dalam pengertian tugas pemimpin muslim untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia akan selalu relevan sepanjang zaman.

Sementara itu, sistem kekhalifahan ala Daulah Abbasiyah masa lalu bukan standar baku penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam Islam. Sistem khilafah demikian tidak menjadi ukuran pelaksanaan agama yang absah untuk saat ini. Kita boleh menolak revitalisasi sistem politik model kekhalifahan klasik sebagaimana kita tidak memakai lagi sistem kerajaan di Indonesia.

Namun, ajaran  Al-Qur’an bahwa semua manusia diciptakan sebagai khilafah di bumi ini untuk memakmurkan dunia tidak boleh dilarang sebagai khilafahisme. Manusia diciptakan untuk mewujudkan kehidupan yang baldatun thayyibbun wa rabbun ghafur. Itu adalah ajaran Al-Qur’an yang tidak mungkin salah.

Menghindari Sikap Ekstrem

Jadi, sikap ta’thil atau penolakan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi dan kewajiban penguasa untuk memelihara agama dan mengatur dunia atas nama penolakan khilafahisme adalah sikap yang ekstrem.

Demikian pula, upaya menghidupkan sistem kekhilafahan klasik secara bulat-bulat dengan menganggapnya sebagai satu-satunya model negara yang sah menurut agama juga bentuk sikap ekstrem.

Umat Islam bisa menjalankan fungsi sebagai khalifah fil ardl dan penguasa muslim bisa menjalankan fungsi untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia dalam Negara Republik sebagai ijtihad yang relevan untuk masa sekarang.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *