Perkembangan teknologi terbukti menjajah segala aspek dalam kehidupan, mulai dari budaya sampai persoalan bahasa. Sebelum teknologi menjalar dan mengakar di Indonesia, kita melihat begitu kental perbedaan budaya antar daerah bahkan antar desa di Indonesia, keragaman itu bisa disaksikan dari pakaian, cara bergaul, dan sebagainya. Namun, di saat terjajah oleh teknologi yang sarat dengan keterbukaan informasi, ternyata membawa sisi positif sekaligus negatif dari sisi lainnya, seperti mulai memudarnya sebuah kebudayaan.
Begitu juga dengan bahasa yang dengan ragam logat dan ciri khasnya mulai tergeser pada sebuah nilai umum, dalam penilaian teknologi yang universal. Misalnya, kata jancuk bagi warga Surabaya merupakan sebuah kata kunci dalam pergaulan dan ekspresi sebuah emosi. Namun, kata tersebut menjadi tabu saat digunakan dalam media sosial yang menjadi budaya baru bagi kita semua, Kata itu juga akan menjadi kata imoral dalam percakapan.
Jari Berbicara dan Teknologi
Bergulirnya teknologi dalam kancah kehidupan sosial, merupakan suatu keniscayaan karena teknologi merupakan produk dari manusia dan untuk kepentingan manusia senidri. Oleh sebab itu teknologi menjadi wajib bagi setiap orang, sehingga yang gagap teknologi (gaptek) akan tergilas oleh sejarah.
Dalam suasana era teknologi yang berkembang hingga hari ini, telah banyak merubah diskursus yang selama berabad-abad diyakini dan dijalankan oleh banyak orang. Seperti sebuah kalimat, “mulutmu adalah harimaumu”, dalam konteks sosial media kalimat tersebut harus dan terpaksa disalahkan demi menyelamatkan logika, hingga brubah menjadi “jarimu adalah pisaumu”.
Jika simbol harimau berarti menerkam lawan dan diri sendiri, maka pisau mampu melukai lawan dan diri sendiri. Hal ini terjadi karena interaksi sosial media dilakukan dengan layar ke layar, interaksi teks, simbol, dan gambar, yang semuanya dilakukan oleh jari tangan untuk berinteraksi dan mengirimkan pesan.
Dari sederat penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa era hari ini merupakan era yang bisu. Hampir semua dialektika sosial diwakili oleh media, disadari atau tidak bahkan di saat ingin berbicara secara verbal menggunakan media, harus melalui persetuan jari tangan terlebih dahulu, karena tombol “ok” dan “kirim” membutuhkan “jari” untuk menekannya.
Perspektif John Langshaw Austin
Oleh sebab itu, persoalan yang akan dirincikan dalam tulisan ini adalah bagaimana “jari” berbicara dalam perspektif John Langshaw Austin. Dalam sekilas pandang soalah persoalan ini terkesan dipaksakan, namun sebenarnya persoalan ini sangat penting. Karena hanya dengan memahami bahasa “jari”, kita mejadi mengerti maksud yang disampaikan, paling tidak kita mengerti bahwa “jari” yang selama ini terlihat hanya sekedar salah satu alat tubuh kita, kini telah mengusai suluruh tubuh. Bahkan menjadi penyalur hasrat bicara dan ide yang ada di kepala.
“Jari” berbicara menggunakan bahasa performatif, yang disebut oleh Austin dalam bukunya How to do Things Whit Words sebagai tindak-tutur (J.L Austin: 1955, 108). Tindak-tutur merupakan sebuah bahasa yang menunjukkan pada tiga hal: lokus (locutionary act), bukan lokus (ilocutionary act), dan suatu lokus (perlocutionary act). Apa itu tindak tutur lokus? Adalah sebuah isyarat tubuh menunjuk pada suatu benda, seperti kedip mata sebagai sebuah isyarat pada lawan bicara.
Kedua, tindak-tutur bukan pada lokusnya (ilocutionary act). Yaitu sebuah isyarat yang digunakan untuk menyempurnkanan maksud kalimat verbal, seperti menjalaskan bentuk bundar yang diikuti dengan gerak tangan melingkar. Terakhir, tindak-tutur pada suatu lokus (perlocutionary act), adalah suatu tindakan yang menjadi makna tutur dalam sosial, seperti sebuah biografi seseorang yang mampu menginspirasi orang lain.
Peran Jari
Dari tiga konsep tindak-tutur John Langshaw Austin di atas, dapat digunakan untuk memahami bagaimana “jari” sebenarnya berbicara. Sebuah “jari” yang dalam perkembangan teknologi selama ini telah menjadi alat kontrol suatu ungkapan dan ide manusia, ternyata bukan sebagai alat kontrol manusia dalam percakapan media sosial. Akan tetapi, jari lebih berfungsi untuk melengkapi maksud yang ingin disampaikan oleh manusia. Tentu, dalam hal ini jari berbicara sebagai performa tindak tutur bukan pada lokusnya (ilocutionary act).
Jalan pikirnya sederhana, bahwa “jari” hanya akan aktif di saat seseorang memiliki ide atau kalimat yang ingin disampaikan. Dengan kata lain “jari” berbicara dalam kehidupan sosial media kita hanya sebagai alat untuk menunjukkan maksud yang sebenarnya dari sebuah ide atau kalimat yang telah disusun oleh seseorang.
Namun, sebagai catatan akhir dalam tulisan ini. Bahwa “jari” dan struktur tubuh manusia pada umumnya memiliki kecerdasan yang unik. Karena mampu merekam sebuah tindak menjadi tutur yang kemudian memberi pengaruh pada realita, yang pada akhir seperti yang dikatakan oleh Austin sebagai perlocutionary act.
Editor: Nabhan