Membincangkan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat Islam. Rasanya tidak akan lengkap jika tidak membicarakan nama Al-Ghazali di dalamnya.
Al-Ghazali atau Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Dirinya memang sosok yang sangat unik dalam dunia pemikiran, sehingga banyak yang terpukau oleh Al-Ghazali. Di mulai dari pengembara, karya-karya peninggalan, dan perilaku sufistiknya.
Banyak dari karya-karyanya menjadi obyek penelitian yang cukup menarik minat kalangan pecinta ilmu dan akademisi. Mulai dari kalangan dalam umat Islam sendiri (insider) maupun dari kalangan non-muslim atau orienatalis (outsider).
Tiga Kerancuan Berpikir Para Filsuf dan Pandangan Al-Ghazali
Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, Al-Ghazali banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. Namun setelah itu, dalam kurun dua tahun Al-Ghazali memahami filsafat dengan seksama. Hampir setahun ia terus merenungkannya, mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya.
Di samping itu, ia terus meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. Pada saat itulah Al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipu-tipuan, serta membedakan unsur yang benar dan yang cuma khayalan.
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali memandang para filsuf telah melakukan kerancuan dalam berpikir. Baginya, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filsuf ni menjadi ahli ahl al-bid’at dam kafir. Dari 20 pesoalan ini, Al-Ghazali menegaskan bahwa para filsuf menjadi kafir karena tiga masalah:
Pertama, para filsuf yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya.
Para filsuf muslim sebelum Al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadim-nya Tuhan atas alam sama halnya qadim-nya illat atas ma’lul-nya (atas sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman.
Para filsuf kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari qadim (Tuhan), karena dengan demikian, berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut Al-Ghazali, yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah bersifat baru. Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak.
Pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan, yang pelakunya dosa besar dan tidak dapat diampuni Tuhan. Ataupun masuk golongan Ateisme yang menyatakan bahwa alam yang qadim tidak perlu adanya pencipta.
***
Kedua, pendapat para filsuf yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat partikular (pendapat yang dipegangi Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegang oleh Aristoteles kemudian dianut oleh para filsuf Muslim.
Menurut Al-Ghazali, para filsuf Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui Zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan. Jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada Zat-Nya.
Perubahan pada obyek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah. Al-Ghazali mengkritik seraya mengatakan bahwa para filsuf itu telah melakukan kesalahan fatal.
Menurutnya, sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada zat. Dalam artian, keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian Al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.
Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah, meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
***
Untuk memperkuat bangunan argumen dalam mengkritik para filosof Muslim, Al-Ghazali mengemukakan dalil ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala yang di bumi, baik itu kecil maupun besar, di antaranya:
وَمَا تَكُونُ فِى شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوا۟ مِنْهُ مِن قُرْءَانٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصْغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكْبَرَ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61)
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ ٱللَّهَ بِدِينِكُمْ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (QS. Al-Hujurat: 16)
***
Ketiga, penolakan filsuf terhadap kebangkitan jasmani dan moralitas jiwa individu. Para filsuf Muslim sebelum Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur.
Menurut mereka, yang akan merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filsuf tersebut, lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an. Menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan.
Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun. Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.
Lebih lanjut, Al-Ghazali menegaskan bahwa kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan terdapat hadits yang menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua itu sebagai indikasi adanya kekalan jiwa.
Sementara itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan syara’ (agama) dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan.
Referensi
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Editor: Saleh