IBTimes.ID – Jaringan Islam Berkemajuan (JIB) menggelar peluncuran dan bedah buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi: Studi Kasus Muhammadiyah dan NU di Indonesia Pasca-Suharto karya Pramono Ubaid Tanthowi. Bedah buku dilaksanakan pada Senin (17/1) secara daring.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti turut hadir membuka acara tersebut. Selain itu, bedah buku juga dihadiri oleh beberapa narasumber seperti Zuhairi Misrawi (Dubes RI untuk Republik Tunisia), Philips J. Vermonte (Dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII), dan Zacky K. Umam (Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center UI).
Mu’ti mengapresiasi terbitnya buku karya Pramono tersebut. Menurutnya, peran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU tidak bisa dipandang sebelah mata ketika mendorong demokratisasi di Indonesia.
“Banyak tulisan dari para ilmuan Barat yang mengatakan bahwa Islam itu incompatible to democracy. Tapi pada konteks Indonesia, justru proponent dan mungkin bisa kita sebut tulang punggung demokrasi dan demokratisasi itu adalah ormas-ormas Islam, dua di antaranya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,” ujarnya.
Sementara itu, Zuhairi Misrawi menyebut kehadiran NU dan Muhammadiyah yang sudah ada sebelum Indonesia ada telah memberikan corak atau langgam tersendiri terkait ekspresi keberislaman negeri ini.
Dubes RI untuk Republik Tunisia ini menilai bahwa buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi penting sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus menjaga, mewarnai, dan menjadikan NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan utama untuk membangun dan mengawal negeri ini.
Zuhairi juga meminta izin kepada Pramono U. Tanthowi sebagai penulis buku untuk menerbitkan bukunya tersebut ke dalam bahasa Arab.
“Di Mesir itu ada Al-Azhar. Al-Azhar itu kekuatan besar yang sangat luar biasa bahkan partai politik sebesar Ikhwanul Muslimin itu tidak bisa menggantikan kekuatan masyarakat sipil seperti Al-Azhar. Saya kira Muhammadiyah dan NU itu kekuatan yang sangat besar. Bahkan partai politik mana pun tidak mampu melampaui kekuatan dari NU dan Muhammadiyah ini,” ujarnya.
Sementara itu, Zacky Khoirul Umam melihat perbedaan yang terletak pada keaktifan NU dan Muhammadiyah dalam menyuarakan pendidikan politik, pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
“Saya kira projek untuk mengabadikan pemikiran dan juga aksi dari dua tubuh besar organisasi Islam di Indonesia, dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama harus terus diwujudkan. JIB ini memiliki peran yang sangat aktif bukan hanya di dalam dunia penerbitan, tapi juga diseminasi intelektual dan juga jaringan yang bersifat nyata sekaligus menyambungkan antara NU dan Muhammadiyah,” ujarnya.
Senada dengan pembicara sebelumnya, Philips J. Vermonte turut mengapresiasi kehadiran buku ini dengan berbagai catatannya. Dalam pandangan Philips, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil dari buku ini, terutama terkait hubungan antara masyarakat sipil (Muhammadiyah dan NU) dengan negara.
“Saya kira, Muhammadiyah dan NU ini agak unik dalam hubungannya dengan negara. Sepanjang yang saya ikuti terutama mungkin dalam konteks pasca ’98, tidak pernah kedua-duanya ini diametral dengan siapa pun yang sedang berkuasa. Kritis iya, tetapi dia tidak pernah menjadi sebuah kekuatan yang berusaha untuk saling menjatuhkan,” terang Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini.
“Republik ini beruntung. Dua organisasi massa paling besar, hubungannya dengan negara walaupun suam-suam kuku atau kritis, tetapi dia tetap menjadi penopang dalam berbagai hal fondasi kenegaraan kita. Dia tidak pernah betul-betul menjadi sebuah komponen yang meruntuhkan, justru dia menjadi menguatkan,” sambungnya.
Sebagai penutup, Pramono U. Tanthowi memberikan komentar atau respons terkait buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi yang ia tulis. Ia mengatakan bahwa buku ini diadopsi dari Tesis di Departemen Ilmu Politik saat ia menjadi mahasiswa di University of Hawai’i.
Lebih lanjut, Komisioner KPU RI ini menjelaskan isi buku tersebut yang mana terjadi perubahan peran masyarakat sipil terutama di akhir masa Orde Baru dan Era Reformasi.
“Tidak selamanya menjadi kekuatan oposisi yang itu diperankan lama sekali sejak awal ‘90-an. Gus Dur mendirikan Fordem lalu Amien Rais menyuarakan suksesi sejak ’93, misalnya. Tapi begitu masuk reformasi, peran-peran organisasi kemasyarakatan sipil Islam itu berubah,” paparnya.
Reporter: Yusuf