Fikih

Bolehkah Bekerja di Tempat Orang Non-Muslim?

3 Mins read

Bekerja adalah kebutuhan setiap manusia, sebab tanpa bekerja bagaimana cara kita mendapatkan rezeki dari Allah? Bukankah ikan tidak datang dengan sendirinya ke dapur? Melainkan harus ditangkap atau dipancing terlebih dahulu. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bolehkah kita bekerja di suatu instansi yang dimiliki oleh non-muslim?

Bekerja adalah Ibadah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ada beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.”

Hal itu terdengar di telinga Nabi, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka dengan sabdanya, “Janganlah kalian berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani).      

Bolehnya Bekerja di Tempat Non-Muslim

Seseorang yang bekerja demi mencari nafkah dan mencari karunia Allah, adalah seseorang yang mulia, yang kedudukannya juga sama dengan jihad di jalan Allah. Tetapi tidak semua pekerjaan dapat dikatakan ibadah, jika ia bekerja di tempat-tempat maksiat. Lalu bagaimana hukumnya jika bekerja di tempat non-muslim?

Salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu pernah berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وسلم يَوْماً، فَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً. قَالَ: قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّيْ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغَيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ، فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ،  فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ تَمْرَةٌ، فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم. فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَتُحِبُّنِي ياَ كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ نَعَمْ

Baca Juga  Perkembangan Mazhab Fikih dalam Lintas Sejarah

“Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, dan saya melihat wajah beliau begitu pucat. Maka saya bertanya, ‘Ayah dan ibu saya adalah tebusanmu. Kenapa engkau pucat?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak ada makanan yang masuk ke perut saya sejak tiga hari.’

“Maka saya pun pergi dan mendapati seorang Yahudi yang sedang memberi minum untanya. Lalu saya bekerja padanya sebagai pemberi minum untanya dengan upah sebiji kurma untuk setiap ember. Saya pun mendapatkan beberapa biji kurma dan membawanya untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Dari mana ini wahai Ka’b?’ Lalu saya pun menceritakan kisahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah kamu mencintaiku wahai Ka’ab?’ Saya menjawab, ‘Ya, dan ayah saya adalah tebusanmu.” (HR ath-Thabrani)

***

Dalam hadist lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bermuamalah dengan orang musyrikin. Hadist ini disampaikan oleh Abdurrahman bin Abi Bakr Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datang seorang musyrikin yang rambutnya kusut, badannya tinggi, membawa beberapa ekor kambing. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,

“Apakah itu dijual ataukah mau kamu kasihkan?”

“Mau dijual.” Jawab orang musyrik itu. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membelinya satu ekor (HR. Bukhari).

Dua hadist di atas sudah cukup jelas untuk menjawab pernyataan boleh atau tidaknya seorang muslim bekerja pada orang non-muslim. Islam begitu luwes dan tidak kaku dalam menyikapi persoalan hidup selama tidak berkaitan dengan urusan akidah.

Selain itu dua Imam besar yaitu Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal juga memperbolehkan kaum muslimin untuk berkerja di tempat non-muslim. Salah satu pendapat Imam Syafi’i ia kemukakan dalam kitabnya yaitu Raudhah at-Thoolibiin dan Al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab.

Baca Juga  Bisakah Seorang Pria Menikahi Dua Perempuan Sekaligus?

Syarat-syarat Bekerja di Tempat Non-Muslim

Islam adalah agama yang sangat mudah dan memudahkan pengikutnya. Islam memperbolehkan kaum muslimin untuk bermuamalah dengan orang non-muslim. Tradisi seperti ini sudah amat populer dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bermuamalah dengan orang-orang non-muslim, baik Yahudi, Nasrani atau musyrikin yang ada di sekitar Madinah.

Dalam surah al-Mumtahanah ayat 8, Allah SWT berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama. Dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”

Menurut bebeberapa ulama kontemporer seperti Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan non-muslim, dengan syarat non-muslim tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)

Seorang muslim boleh bekerja di tempat orang non-muslim dengan beberapa syarat-syarat sebagai berikut: 1) Terjaga kehormatannya khususnya bagi para wanita, misalnya tidak dikhawatirkan terjadinya pelecehan seksual atau membuka aurat di tempat tersebut. 2) Bekerja di tempat yang dibenarkan menurut Islam, misalnya bukan seperti tempat perjudian dan maksiat. 3) Mengerjakan sesuatu yang halal menurut Islam, misalnya bukan bekerja di tempat pembuatan khamr atau membantu jualan khamr. 4) Tidak bersentuhan secara langsung dengan hal-hal najis.

Editor: Miftachul W. Abdullah

Avatar
13 posts

About author
Sekretaris Cabang Pemuda Muhammadiyah Karangploso, Malang.
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds