Fikih

Cara Bahtsul Masa’il NU Menetapkan Hukum dari Sesuatu

4 Mins read

Latar Belakang Kelahiran Nahdlatul Ulama

Bahtsul Masa’il NU – Beraqidah Islam dan paham ahlus sunnah wal jama’ah begitu mungkin kiranya sering kita dengar di kalangan masyarakat jika terkait dengan NU. Kelahiran NU sendiri setidaknya didorong atas dua keinginan yaitu untuk mempertahankan ideologi kaum tradisionalis yang mulai diguncang pengaruh kaum modernis dan tekad untuk membela eksistensi umat Islam dari penindasan kolonial (S. Sinansari Ecip, 1994).

Kelahiran NU ini juga merupakan respon dari munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh pikiran atau paham wahabi serta ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Sepintas Mengenal Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama secara harfiah berarti kebangkitan para ulama. Perlu diketahui bahwa NU merupakan jam’iyyah diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar (Kabat, 2012).

Nahdlatul Ulama sering dipahami sebagai fenomena organisasi dengan struktur dan perangkatnya yang menjalankan program-programnya. Misalnya muktamar, konferensi, dan lain-lain. Pemahaman ini tidak salah karena memang penampakannya sebagai organisasi itu hanya salah satu dari sosok sejatinya.

Selain sebagai sebuah institusi, NU mempunyai tradisi dan khazanah keilmuan yang berasal dari ajaran intinya yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Ajaran itulah yang menentukan seluruh perilaku dan tradisi yang menjadi pembentuk identitasnya.

Ajaran Nahdatul Ulama bersumber dari rumusan utuh yang disebut dengan Ahlussunnah wal jama’ah, meliputi aspek aqidah, fikih, dan tasawufyang menjadi sistem pandangan dunia Nadhatul ulama meliputi hablum minallah dan hablum minannas dan hubungan manusia dengan alam.

Pandangan dunia ahlussunnah wal jamaah adalah dogmatis dan historis. Dogmatis dalam hal ajaran yang tidak pernah berubah. Dan dari sisi historis bahwasannya Ahlus sunnah memandu pengikutnya dalam hal sosial, budaya, politik, dan ekonomi agar terus berkembang.

Andre Feillard mengaatakan dalam artikelnya dengan judul “NU: Vis a Vis” bahwa publik pada umumnya hanya melihat NU dari acara-acara seperti muktamar, konferensi, dan pernyataan-pernyataan resmi di media massa.

Baca Juga  Bolehkah Melakukan Qunut Nazilah Saat Wabah Corona?

Kitab-Kitab yang Akrab dengan Warga NU

Dalam realitas empiris, warga NU walaupun lebih condong kepada al-Asy’ari ketimbang al-Maturidi dalam bidang aqidah, namun kenyataannya mereka lebih akrab dengan kitab-kitab karya al-Juwaini, al-Baqillani, al-Sanusi, dan lain-lain, dibanding dengan karya-karya al-Asy’ari, apalagi al-Maturidi.

Demikian juga dalam bidang fikih. Walaupun mereka (Nahdiyyin) lebih condong mazhab Syafi’i dibanding tiga mazhab yang lainnya, namun mereka hanya lebih mengenal kitab-kitab pengikut Syafi’i ketimbang karya Imam Syafi’i sendiri seperti Al-Umm.

Sedangkan dalam bidang tasawuf, meskipun lebih condong kepada Al-Ghazali dan itupun sebatas kitab Bidayah al-Hidayah dan Ihya’ Ulumuddin, namun mereka lebih dekat dengan Syeikh Abdul Qodir Jaelani dengan Manaqibnya.

Keterikatan NU dalam bidang akidah, fikih, tasawuf dan mazhab-mazhab di atas,  menjadikan warga NU dikategorikan sebagai kaum Tradisionalis.

NU dalam Istinbath Hukum

Secara sederhana dalam menggali hukum yang terdapat di Al-Qur’an dan sunah, maka diperlukan sebuah cara yang disebut dengan ijtihad. Secara umum, metode yang dipakai dalam ijtihad ada tiga yaitu metode bayani, qiyasi, dan istislahi.

Begitu pula dalam NU dalam memecahkan masalah, NU tidak langsung merujuk pada Al-Qur’an langsung melainkan perlu berkonsultasi menggunakan kitab Mu’tabarah.

Pada awalnya yang dimaksud dengan kitab Mu’tabarah adalah al-kitab al-Mazahib al-Arba’ah artinya kitab-kitab yang merujuk pada mazhab empat. Hal ini telah diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU pada tahun 1983 di situbondo.

Namun kembali dibahas pada Munas Alim Ulama NU tahun 1992 yang menjelaskan bahwa kitab Mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin Ahlussunah wal jama’ah. 

Akan tetapi hal yang menjadi polemis adalah standar ke-mu’tabar-an dan keserasian suatu kitab yang dimaksud belum dijelaskan batasan-batasannya. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kitab-kitab selain mazhab-mazhab empat dapat menjadi kitab mu’tabar (Zahro, 2004).

Bahtsul Masa’il NU

NU sendiri memiliki sebuah badan yang bertugas untuk melakukan istinbath hukum yaitu Bahtsul Masa’il. Sistem penetapan hukun dalam Bahtsul Masa’il ini telah ditetapkan dalam Musyawarah Nasional ulama NU di Bandar Lampung 21-25 januari 1992 yang bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412 H. 

Baca Juga  Berjabat Tangan Saat Idul Fitri: Antara Tradisi dan Syariat

Secara garis besar, pengambilan keputusan hukum ini oleh Bahtsul Masa’il NU, terbagi menjadi dua bagian yaitu ketentuan umum dan sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana. Dalam ketentuan umum ini, dijelaskan tentang beberapa istilah teknis dan penegasan bahwa NU condong terhadap ulama yang berperan sebagai produsen “kitab kuning”.

Dalam ketentuan umum yaitu dijelaskan tentang kitab al-Kutub Mu’tabarah (kitab standart). Setelah menjelaskan tentang kitab Mu’tabarah, penjelasan berikutnya mengenai cara-cara bermazhab atau mengikuti aliran tertentu. Untuk mengikuti aliran tersebut terdapat dua cara yaitu

1. Bermadzab secara qauli artinya mengikuti pendapat yang sudah jadi dalam madzab tertentu,

2. Bermadzab secara manhaji yaitu dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum para imam madzhab.

Cara Penetapan Hukum oleh Bahtsul Masa’il NU

Dalam menetapkan hukum Bahtsul Masa’ill NU menggunakan alat bantu berupa kaidah-kaidah ushuliyah dan kaidah fikih.

Salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad adalah ilhaq yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang telah dijawab dalam kitab Mu’tabarah atau yang telah dijawab oleh ulama di luar kitab Mu’tabarah.

Berikut ini metode yang dipakai dalam Bahtsul Mas’il (Firdaus):

  • Metode Qauli adalah metode yang dipakai oleh ulama NU yaitu dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawaban dalam kitab-kitab fikih empat mazhab dengan merujuk langsung pada bunyi tekstualnya.
  • Metode Ilhaqi, Metode ini baru bisa berlaku apabila permasalahan yang dihadapi tidak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih yaitu dengan menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab dalam kitab dengan masalah yang sudah dijawab dalam kitab. Metode ini menggunakan persyaratan-persyaratan tertentu dan metode ini mirip dengan metode qiyas.
  • Metode Manhaji merupakan suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun dan digunakan oleh para imam mazhab atau ulama mazhab. Pada dasarnya, Nahdatul Ulama itu hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya dan bisa dikatakan sangat jarang menetapkan hukum secara otonom.
Baca Juga  Fikih Haji Lansia: Jangan Fokus Ngejar Sunah, Tapi Lupa yang Wajib

Implementasi Hadis ala NU

Dalam Ibnu Majah (1378)

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Ali Al Khallal] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah memberitakan kepada kami [Ibnu Abu Sabrah] dari [Ibrahim bin Muhammad] dari [Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far] dari [Bapaknya] dari [Ali bin Abu Thalib] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini…hingga terbit fajar.“

Nahdlatul Ulama mengamalkan puasa tersebut karena dalam istinbath hukum Nahdatul Ulama masih menerima hadis dha’if sebagai dasar untuk fadailul amal.

Hal inilah yang bertentangan dengan Muhammadiyah, PERSIS, dan HTI. Ketiga organisasi ini tidak menerima hadis dha’if sebagai hujjah. Hanya saja kadar mereka menolak itu berbeda.

Jika Muhammadiyah menolak namun tetap menghormati yang mengamalkan hadis dha’if dalam fadhailul a’mal namun PERSIS dan HTI menolak secara mutlak hadis dhaif tersebut.

Wallahu ‘alam.

Editor: Yahya FR

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *