Salah satu permasalahan fiqih yang sering memicu perdebatan di kalangan para ulama dan umat Islam pada umumnya adalah tentang hukum bagi wanita haid dalam membaca Al-Qur’an. Apalagi mendekati bulan suci Ramadhan, di mana semua orang ingin sekali memaksimalkan setiap amalan-amalannya di bulan itu. Seperti ibadah puasa, tarawih dan memperbanyak bacaaan Al-Qur’an serta amalan-amalan lainnya.
Mengenai hal di atas, bagaimanakah pandangan dan pendapat Muhammadiyah? mari kita coba ulas pelan-pelan.
Wanita Haid Membaca Al-Qur’an
Pada ayat لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ dalam surah Al-Waqi’ah: 79 seringkali dijadikan dalil bahwa orang atau hamba yang boleh memegang dan membaca Al-Qur’an hanyalah mereka yang dalam keadaan suci.
Adapun Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama Vol II, Hal. 34 dan 35 menyebutkan, surah Al-Waqi’ah ayat 79 di atas tidak berbicara tentang hukum, melainkan berbicara tentang etika dan kepantasan seseorang dalam membaca Al-Qur’an.
Hal demikian karena belum ditemukannya hadits yang shahih yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada sebuah hadits yang memperbolehkan memegang dan membaca. Bunyinya berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. رواه مسلم وأبو داود والترمذى
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi).
Pada hadits di atas, dapat kita pahami bahwa orang boleh saja dan kapan dan dimana saja menyebut nama Allah. Termasuk saat sedang dalam keadaan hadas besar. Sejatinya, membaca Al-Qur’an adalah menyebut nama Allah.
Namun, disamping lain kita akan menemukan beberapa juga hadits yang menyebutkan Nabi Muhammad Saw kurang suka atau senang menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.
***
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah melalui laman Fatwatarjih.or.id menjelaskan bahwa ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun jika dilihat dari riwayatnya diturunkan di Makkah sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Adapun Al-Qur’an baru ada di zaman khalifah Utsman bin Affan. Jadi, ada senggang waktu antara waktu ayat itu diturunkan dengan adanya mushaf Al-Qur’an, yang kurang lebih 30 tahun setelah ayat itu diturunkan.
Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Quran baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Quran.
Adapun maksud dari penggalan ayat al-muthahharuun, mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Quran. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, manusia, dan mungkin pula kedua-duanya.
Maka dari itu, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpendapat bahwa yang paling baik dan bagus bagi orang yang ingin membaca Al-Qur’an adalah dalam keadaan suci dari hadas dan najis. Bila perlu berwudhu lah sebelum membaca Al-Qur’an. Hal demikian karena kitab (Al-Qur’an) adalah wahyu Allah, bukan sembarang kitab.
Adapun mengenai hukum bagi wanita haid membaca Al-Qur’an, Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tanya Jawab Agama menyebut hukumnya makruh.
Sumber: Fatwa Tarjih
Editor: Soleh