Bulan ramadhan memang bulan yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat Islam. Hal ini dikarenakan bulan ramadhan memberikan banyak kemuliaan dan kebaikan di dalamnya. di bulan Ramadhan intensitas khutbah dan pengajian-pengajian keagamaan akan meningkat. Hal ini bisa kita dapati misalkan dari adanya khutbah setiap setelah sholat tarawih. Ketika mendengarkan khutbah tarawih, biasanya kita akan mendapati banyak hadist-hadist dhaif seputar bulan Ramadhan yang masyhur di telinga kita.
Akan tetapi, pernahkan teman-teman sekalian pernah bertanya tentang kesahihan hadist-hadist yang terkenal tersebut? kebanyakan dari kita akan menelan begitu saja hadist-hadist tersebut dikarenakan kemasyhurannya. Jika kita meneliti atau mencari dalam kitab-kitab ilmu hadist, maka jangan heran jika kita mendapati beberapa hadist yang sudah terkenal ternyata berstatus dhaif atau maudhu’
Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Adapun hadist maudhu’ adalah segala sesuatu (riwayat) yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw, baik perbuatan, perkataan, maupun taqrir secara di buat-buat atau disengaja dan sifatnya mengada-ada atau berbohong.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan menunjukkan beberapa hadist dhaif maupun maudhu’ seputar bulan Ramadhan dan amalan yang ada di dalamnya.
Hadist 1
صوموا تصحوا
Hadist riwayat Abu Nu’aim dalam Ath-Thib Nabawi sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya. Hadist ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz al-Iraqi, juga al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah.
Jika dikemudian hari ada bukti secara medis bahwa puasa dapat menyehatkan tubuh, maka secara makna hadist ini benar akan tetapi tidak boleh dianggap sebagai sabda nabi Muhammad.
Hadist 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Artinya: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman. Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya. Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah.
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
Artinya: “Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam. Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah.
Dari beberapa hadist dhaif tersebut dapat kita ketahui bahwa tidur tidak senantiasa bernilai ibadah jika berpuasa. Adapun tidur tentu dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk beribadah seperti tidur agar dapat istirahat dan kuat beribadah setelah bangun, atau tidur untuk menghindari godaan hawa nafsu sebelum berbukan.
Adapun contoh tidur yang tidak bisa dinilai ibadah adalah tidur karena bermalas-malasan untuk beramal di bulan Ramadhan. Maka hendaknya umat Muslim untuk tidak bermalas-malasan dan memperbanyak amal di bulan Ramadhan.
Hadist 3
هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار
Artinya: “Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa, dan Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib. Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy, bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar adalah bahwa seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka dan tidak setiap dari itu hanya sepertiga bulan.
Hal ini sesuai dengan hadist shahih yang diriwayatkan dalam Shahi Bukhari Muslim yang berbunyi:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya: “Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Hadist 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
Artinya: “Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah bahwa Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar, juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’. Adapun doa berbuka yang sesuai dengan riwayat shahih adalah sebagaimana diriwayatkan Abu Daud:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah
Artinya: “Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah”
Hadist 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
Artinya: “Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa. Pendapat yang paling hati-hati ‘wal ‘ilmu ‘indallah– adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.”
Hadist 6
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
Artinya: “Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib. Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib, dan Silsilah Ahadits Dhaifah.
Yang benar adalah jika seseorang meyakini bahwa puasa Ramadhannya tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, maka keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri tidak merupakan syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadist 7
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
Artinya: “Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil, oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at. Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at, Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah. Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa.