Pertanyaan klise, tapi tetap penting diajukan adalah: mengapa Ananda Badudu ikut terlibat dalam aksi demonstrasi bersama mahasiswa? Padahal ia adalah musisi indie yang bisa mendatangkan uang untuknya, sebagaimana dilakukan di Banda Neira. Dari pertanyaan inilah, melalui Ananda Badudu, kita bisa memahami gerakan mahasiswa 2019.
Pertanyaan ini sebenarnya merefleksikan sebuah gugatan banyak orang yang biasa hidup normal. Termasuk saya, ketika melihat semacam tindakan yang hanya dianggap menghasilkan kesia-siaan belaka. Apalagi, jika melihat sosok Ananda Badudu, ia merupakan salah satu musisi dari grup band indie terkenal, Banda Neira.
Ananda Badudu dan Banda Neira
Grup band ini sangat digemari oleh anak-anak muda di Indonesia. Mereka menyukai lagu-lagu Banda Neira yang dinyanyikan salah satunya oleh Badudu. Sangat representatif dengan pengalaman anak-anak muda urban; tidak cengeng tetapi memiliki daya puitis; tidak mendayu, namun memiliki ketegasan untuk menggugat; tidak perlu patah hati saat kehilangan, melainkan tetap percaya setiap yang “jatuh dan tersungkur” akan tumbuh dan berganti. Tumbuh dan besar akan berganti.
Namun, jalan hidup setiap orang memiliki kesunyian sekaligus idealisme masing-masing yang dibawa, termasuk anak-anak muda. termasuk Badudu, yang merupakan cucu dari ahli bahasa Cucu Badudu. Di tengah para orangtua, senior, elit politik, dan mereka yang mapan secara ekonomi dan posisi yang tidak bisa diharapkan kembali mengenai perubahan, mau tidak mau anak-anak muda harus tampil ke depan. Mereka inilah yang menjadi bagian dari siklus kehidupan yang menggantikan dan mengimajinasikan mengenai keadilan sosial, penegakan HAM, kebebasan bersuara.
Kepada mereka inilah arah koreksi bangsa bisa diharapkan, meskipun harus menjadi parlemen jalanan untuk menegur para elit politik yang tidak lagi mau mendengarkan yang seharusnya mewakili masyarakat yang telah memilihnya.
Memahami Gerakan Mahasiswa 2019 Melalui Ananda Badudu
Melalui sikapnya, Badudu percaya bahwasanya aksi massa itu harus bersih dari tunggangan politik, baik partai politik maupun oligarki. Karena itu, ia menggalang crowdfunding melalui kitabisa.com untuk menguatkan logistik aksi demonstrasi. Gayung bersambut, ada banyak respon dari warganet yang mau terlibat sehingga uang terkumpul menjadi Rp. 175 juta.
Melalui uang yang dikumpulkannya inilah ia berharap, aksi ini benar-benar murni memperjuangkan idealisme dan suara mahasiswa di tengah aksi-aksi demonstrasi sebelumnya yang bermuatan politis dengan dana cukup fantastis untuk mendukung satu figur politik dan agama.
Dana itu digunakan sebaik-baiknya oleh Badudu. Akun media sosialnya menjadi media penghubung terkait dengan aksi demonstrasi. Mulai dari mencari seorang teman yang hilang, membantu mahasiswa yang terluka, menyediakan ambulan, hingga membantu pengobatan saat berada di rumah sakit. Ia berusaha melakukan itu semaksimal mungkin, dengan harapan bahwa uangnya bisa disalurkan dengan tepat. Ia juga melaporkan uang yang sudah digunakan kepada publik melalui akun medsosnya.
Ananda Badudu Bukan Sembarang SJW
Melalui representasi Badudu, kita bisa melihat bagaimana gerakan kolektif yang dilakukan oleh para mahasiswa ini melalui medsos. Mereka berusaha lepas dari kaki tangan politik dan oligarki. Di sini, atas nama demokrasi dan kebebasan sipil, mereka memperjuangkan hak-hak masyarakat yang ingin dirampas oleh sejumlah regulasi UU yang bermasalah.
Dengan cara seperti inilah penumpang gelap yang ingin membelokkan gerakan mahasiswa ini bisa diminimalisasi sedini mungkin. Cara semacam ini juga menjadi pelajaran untuk publik. Bahwa di tengah oligarki dan elit politik yang bisa menggerakan massa dengan uang, masih ada gerakan yang berusaha menjaga idealismenya.
Melalui perannya yang signifikan, jangan membayangkan dirinya seperti kebanyakan Social Justice Warrior (SJW), berteriak lantang sambil berusaha mengambil momentum untuk mendapatkan panggung lebih luas, apalagi dengan dirinya saat ditangkap. Ia tetap berada di belakang, berada dalam posisinya, menjadi bagian dari sebuah skrup kecil dalam mesin gerakan.
Memang, tidak terlihat, tetapi setidaknya sangat membantu spirit dari gerakan blok sejarah yang sedang dibangun oleh Aktivis 2019; sebuah gerakan yang terpisah dari gerakan mahasiswa sebelumnya, tetapi memiliki kesamaan dalam spirit gerakan. Ucapannya saat dibebaskan dari penangkapan memperlihatkan itu, “saya salah satu orang yang beruntung sudah punya privilege untuk bisa segera dibebaskan”.
Namun, alih-alih sekadar memikirkan dirinya, ia justru memperhatikan teman-temannya yang juga ditangkap, “Tetapi saya di dalam lihat banyak mahasiswa diproses tanpa pendampingan dan mereka butuh bantuan lebih dari saya.”
Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Memang, apa yang dilakukan oleh Badudu dan Aktivis 2019 belum mengubah banyak hal mengenai pembatalan UU yang bermasalah, khususnya Revisi UU-KPK. Juga belum membuat semua tuntutan mahasiswa terwujud. Namun, tesis bahwasanya perubahan akan terjadi seiring dengan waktu dan konteks sosial itu merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditampik. Seperti dalam penggalan syair lagu yang diciptakan dan dinyanyikannya bersama grup band Banda Neira dengan judul Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Di mana ada musim yang menunggu?
Ya, hidup adalah sebuah proses menuju ke depan, ada yang patah dan kemudian bertumbuh. Ada perasaan yang kehilangan, namun berganti dengan kebaruan. Bagi mereka yang hancur lebur akan terobati kelak. Tidak ada yang sia-sia atas kerja-kerja kebajikan dalam membela sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran.
Hal yang sama juga dengan kekuasaan. Apapun itu bentuknya, ia harus akan mengalami rasaya jatuh dan kemudian berdiri kembali. Juga harus bersiap digantikan dengan mereka yang memiliki visi kehidupan yang jauh lebih baik.
Melalui syair lagu ini dan kemudian spirit yang dilakukan oleh Badudu, saya percaya kepada suara-suara mahasiswa yang mereka perjuangkan di tengah belokkan isu para penggaung (buzzers) politik. Dengan ragam narasi negatif bagian dari penggembosan gerakan Aktivis 2019 ini.