Masalah yang Berkembang
Masalah sanad ilmu mengemuka akhir-akhir ini. Pada beberapa kesempatan muncul pertanyaan tentang sanad ilmu. Selama beberapa puluh tahun menggeluti studi Islam, isu sanad ini baru mengemuka kembali 2-4 tahun ini sehingga ada Ustaz yang bertanya apakah ia layak mengajar di pengajian karena ia sendiri ragu dengan sanad ilmunya. Jawaban sementara adalah sabda Nabi SAW: “Sampaikan (ilmu) dariku meski satu ayat.”
Namun, sanad ilmu dipahami seolah ada rangkaian konsep agama tertentu berasal dari Nabi Muhammad dan sampai pada kita sekarang. Padahal, tidak ada hadis Nabi SAW yang menjadi saksi. Klaim demikian berat dibuktikan.
Kegagalan pembuktian mata rantai penyampai konsep agama yang tidak didukung nash, menurut standar ilmu hadis masuk kategori riwayat dlaif, bahkan palsu. Klaim sanad harus didasari pembuktian, berupa kemampuan menyebutkan mata rantai guru dalam satu bidang ilmu berikut pendapat apa yang ia dengar dari guru tersebut.
Pada praktiknya, klaim sanad itu hanya menyebut guru langsung atau satu dua di atasnya, tapi tidak spesifik dalam ilmu apa dan kitab apa yang ia pelajari. Banyak juga yang merasa asal sudah berguru pada ulama tertentu sanadnya bersambung sampai Rasulullah, padahal ia belajar kitab fikih tertentu yang pendapatnya baru muncul abad ke-14 Masehi.
Jika sanad dasarnya hanya asumsi belaka, semua orang yang belajar agama dapat diasumsikan pasti punya guru. Gurunya juga pasti punya guru juga, dan seterusnya. Tidak mungkin orang bisa tiba-tiba punya ilmu agama.
Dari sekalian klaim sanad ilmu, hanya sanad dalam bidang tarekat yang tersusun secara urut sampai kepada Nabi Muhammad. Sanad guru disusun dalam mata rantai sampai era Nabi Muhammad, baik melalui jalur Abu Bakar atau melalui jalur Ali bin Abi Thalib.
***
Namun Susunan demikian lebih mungkin mengandung proyeksi balik. Seorang guru yang mendirikan tarekat menyusun sistem ritual, lalu menisbatkannya pada ulama-ulama sebelumnya sebagai sarana untuk mendapatkan legitimasi. Persoalannya, jika sanad spiritual itu sampai ke Nabi Muhammad melalui Abu Bakar dan Ali, seharusnya hanya ada dua tarekat saja yang sah.
Kenyataannya ada banyak aliran tarekat sehingga perlu diklasifikasi yang mu’tabarah dan tidak mu’tabarah. Yang mu’tabarah pun beberapa puluh tahun lalu ada yang dianggap tidak mu’tabarah karena dicetuskan oleh tokoh baru yang belum diakui luas. Baru di kemudian hari, dengan semakin mapan dan luasnya pengikut tarekat tersebut, maka tarekat tersebut diakui sebagai tarekat mu’tabarah.
Namun dalam beberapa ilmu, tidak lazim orang menyebut mata rantai sanad ilmu. Dalam ilmu fikih dan ushul fikih, ulama lebih mementingkan siapa tokohnya, apa pendapatnya, dan di kitab apa.
Karya ilmu kalam juga tidak menyebutkan mata rantai sanad. Hatta, karya-karya tasawwuf semacam Risalah Qusyairiyah, al-Insan al-Kamil, Minhaj al-Abidin, dan Kifayah al-Atqiya juga tidak menyebutkan sanad ilmu.
Cukup di dalam karya-karya tersebut disebut pendapat tokoh-tokoh sufi, tanpa ada penjelasan mata rantai yang menghubungkan pengarang sampai kepada tokoh yang dikutip
Alhasil, klaim sanad ini menjadi sekedar latah atau sekedar untuk menunjukkan keotentikan lembaga pendidikan tertentu. Andai orang percaya adanya otentisitas ilmu yang langsung dari Nabi Muhammad, tentunya ia percaya juga adanya Islam yang murni dan Islam yang tidak murni.
Tetapi, tidak jarang saat menegaskan bahwa satu ilmu bersambung sampai Nabi Muhammad, ia menolak pula Islam yang murni yang dianggap tidak sejalan dengan kekhasan daerah atau budaya.
Bahkan, ada yang mengkampanyekan keharusan untuk berilmu yang bersanad, tetapi ceramahnya tidak satu pun mengutip nash dan kitab. Melainkan sekedar “katanya” (qila wa qala).
***
Ambil contoh orang mengklaim telah mengikuti pendapat satu tokoh penyebar Islam di Jawa abad ke-16, tetapi, tidak ada karya yang otentik dari tokoh tersebut dan tidak ada pula mata rantai sanad yang bisa dijadikan pijakan bahwa kutipannya benar-benar berasal dari tokoh tersebut, bukan pendapat dia sediri yang dihubung-hubungkan secara sewenang-wenang pada tokoh masa lampau.
Dalam sudut pandang ilmu sanad, penisbatan pendapat kepada tokoh masa lalu secara, tanpa ada bukti, masuk kategori riwayat palsu. Riwayat palsu, jangankan diterima, disampaikan saja tidak boleh menurut etika sanad dalam ilmu hadis.
Inilah sedikit dari banyak persoalan dengan sanad ilmu. Banyak klaim tentang sanad ilmu itu dibangun di atas asumsi belaka tanpa kemampuan untuk menghadirkan mata rantai sanadnya. Tidak jarang pula, penisbatan pada tokoh masa lalu hanyalah klaim sewenang-wenang karena tidak ada sumber otentik yang tersedia. Selain imajinasi bahwa apa yang dia pahami sama dengan pemahaman tokoh yang hidup 500 tahun lalu.
Ada pula yang mendasarkan diri pada kehebatan spiritual tokoh yang dipandang mampu mengetahui masa lalu. Andaikan benar, tokoh demikian pasti mampu menulis sejarah semua kota di dunia dan mampu membantu polisi untuk memecahkan kasus kejahatan yang belum terungkap pelaku dan kronologinya.
Tetapi, pengalaman spiritual itu bersifat pribadi dan subyektif yang sulit diverifikasi, sedangkan ilmu dasarnya adalah fakta yang terverifikasi. Jadi, spiritual dan sains itu identik sumber dan cara bekerjanya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengurai apa yang dimaksud dengan sanad dalam tradisi keilmuan Islam. Pemahaman ini penting untuk menghindarkan diri dari sifat latah atau ikut-ikutan pada pendapat yang dinisbatkan pada ulama masa lalu. Penisbatan ilmu secara salah, apalagi secara sengaja, bisa masuk kategori hoax, menurut terma sekarang.
Sanad dalam Ilmu Hadis
Sanad dalam Ilmu keislaman dikenal dalam studi hadis. Riwayat dari Nabi Muhammad, baik kata, tindak, persetujuan, niat maupun kehidupan sehari-hari, membutuhkan waktu untuk dicatat.
Terlepas dari adanya riwayat bahwa Abu Syah diperbolehkan mencatat riwayat Nabi SAW dan para sahabat punya catatan-catatan pribadi, bagi masyarakat Arab yang kuat tradisi oralnya, nilai informasi lisan lebih tinggi dibandingkan tulisan.
Dasar utama penulisan Al-Qur’an adalah hafalan dan ingatan, demikian pula dengan hadis. Tidak mengherankan apabila transmisi hadis melalui jalur oral (sima’) menempati posisi tertinggi dalam periwayatan.
Ilmu hadis berkembang karena hadis menjadi bahan dalam argumentasi hukum. Pengumpulan hadis secara sistematis pada mulanya tidak lepas dari kebutuhan untuk menyusun aturan tentang perilaku umat Islam. Karya sistematik pertama tentang hadis adalah al-Muwaththa yang disusun menurut tema hukum Islam dan memenuhi kebutuhan untuk mencari dasar bagi justifikasi hukum.
Karena itu, Ibnu Shalah dalam Muqaddimah -nya menyebut fikih sebagai insanu uyun (biji mata) dari hadis. Peneliti Barat menyebut fikih sebagai The Queen of Islamic Sciences (Ratunya Ilmu-Ilmu Keislaman), terlebih madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi diabdikan utamanya untuk studi fikih.
Dalam pembuktian argumentasi hukum, ulama mengutip riwayat dari Nabi Muhammad. Tren itu semakin kuat pada akhir era Daulah Umayyah. Tidak jarang, pendapat yang berbeda sama-sama didasarkan atas riwayat dari Nabi Muhammad. Juga, munculnya hadis-hadis palsu yang membuat verifikasi keabsahan riwayat dari Nabi Muhammad menjadi penting. Itulah yang mendorong upaya pengumpulan dan verifikasi terhadap riwayat dari Nabi Muhammad.
Untuk mengecek keabsahan hadis dibutuhkan verifikasi, baik verifikasi jalur transmisi (sanad) maupun verfikasi isi (matan). Verifikasi demikian dikenal juga dengan sebutan kritik eksternal dan kritik internal.
Jika ada orang memunculkan riwayat dari Nabi Muhammad tentulah dicek dari siapa dia memperoleh atau mendengar, apakah para reporter itu bisa dilacak sampai pada Nabi Muhammad sendiri secara bersambung, dan apakah isinya konsisten dengan riwayat lain, termasuk Al-Qur’an.
***
Dari situlah muncul istilah sanad dan matan. Sanad adalah jalur atau mata rantai reporter sampai kepada matan dan isnad adalah cerita mengenai jalur tersebut (kemudian istilah sanad dan isnad dipandang semakna). Sementara itu, matan adalah isi reportase yang berupa kata, tindakan, persetujuan, dan peri hidup Nabi SAW.
Para penulis hadis melakukan pemeriksaan terhadap sanad untuk memastikan apakan suatu riwayat atau reportase kredibel. Ilmu hadis mengembangkan berbagai terminologi dan kaidah untuk memilah suatu riwayat berdasarkan keabsahan, kondisi perawi, dan konsistensi laporan.
Sanad dalam Periwayatan Al-Qur’an
Sebagaimana hadis, Al-Qur’an disebarkan awalnya melalui jalur lisan (oral). Keberadaan catatan-catatan dari para sahabat tidak bisa menggantikan kredibilitas periwayatan secara lisan.
Meskipun ada usaha kodifikasi Al-Qur’an oleh Khalifah Abu Bakar dan kemudian Khalifah Usman, reportase lisan tetap berlangsung. Terlebih simbol aksara Arab saat itu masih belum reliabel dalam mewadahi bunyi-bunyi yang berbeda-beda.
Di kalangan sahabat Nabi SAW dikenal adanya tokoh-tokoh yang ahli dalam bacaan Al-Qur’an, seperti Usman, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Darda dan Abu Musa al-Asyari. Para sahabat lain turut men-tashih riwayatnya kepada mereka.
Ibnu Abbas, misalnya, mengambil tashih bacaan dari Zaid bin Tsabit. Dari Ibnu Abbas ini kemudian banyak tabi’in dari berbagai kota besar Islam mengambil riwayat Al-Qur’an.
Setelah masa tabi’in, muncul tokoh-tokoh (khususnya 7 orang) yang melakukan pemeriksaan dan mengambil riwayat dari para tabi’in. Nafi mengambil riwayat dari 70 tabiin. Abu Amru mengambil dari tabi’in.
Ibnu Katsir mengambil dari sahabat Abdullah ibn Saib. Ibnu Amir mengambil dari Abu Darda yang murid-murid Utsman. Ashim mengambil dari para tabi’in. Hamzah mengambil dari Ashim dan beberapa pakar lain. al-Kisa’i mengambil dari Hamzah dan Abu Bakar bin Iyasy.
Dari mereka ini kemudian generasi selanjutnya mengambil riwayat Al-Qur’an (qira’ah). Tentu saja dengan semakin jauh jarak dari Nabi SAW dan semakin banyak jalur riwayat terbentuk, perlu ada verifikasi lagi. Jika riwayat (qira’ah) dari 7 tokoh di atas dikategorikan sebagai riwayat mutawatir, tetapi tidak dari generasi selanjutnya.
Ada tiga parameter yang dipakai untuk menilai riwayat Al-Qur’an (qira’ah), yaitu kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab, kesesuaian dengan mushaf Utsmani (menurut kemungkinan) dan riwayatnya sahih. Jika salah satu parameter terpenuhi disebut riwayat syadz (menyimpang atau tidak populer).
***
Dalam penelitian qira’ah dengan tiga parameter tadi muncul pula klasifikasi:1) qira’ah mutawatir, 2) qira’ah masyhur (tidak mutawatir tapi dikenal luas di kalangan qurra’ dan 3) qira’ah ahad (terpenuhi tiga parameter, tetapi tidak mutawatir dan tidak masyhur), 4) qiraah syadz dan 5) qira’ah maudlu’ atau palsu, 6) qira’ah yang sebenarnya adalah tafsir.
Metode transmisi Al-Qur’an ini sama metode transmisi hadis, seperti sima’, qira’ah ala syaikh, munawalah, ijazah, mukatabah, dan washiyah. Namun dua metode pertama yang utama dipakai.
Sanad dalam Keilmuan Islam Klasik
Metode ini menjadi standar akademik yang kemudian dipakai ilmu-ilmu lain yang bersandar pada reportase perkataan sahabat atau tabi’in maupun reportase tentang peristiwa yang terjadi pada masa Nabi SAW, sahabat maupun generasi selanjutnya ketika tidak tersedia sumber tertulis yang bisa diandalkan.
Tafsir dan Tarikh adalah dua ilmu Islam yang pada awalnya menggunakan model reportase. Dengan tidak tersedianya karya yang memuat tentang pendapat tabi’in, mufassir mengandalkan berita tentang pendapat tabiin.
Contohnya Tafsir al-Thabari, yang banyak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Karena ada jarak waktu yang membentang antara Ibnu Jarir al-Thabari dengan para tabi’in, maka ia harus menyediakan sanad sebagai pertanggungjawaban atas validitas reportase pendapat tabi’in yang ia kutip.
Tafsir Ibnu Katsir mengikuti model Tafsir al-Thabari. Tetapi Ibnu Katsir hidup lebih kemudian, yaitu pada saat hadis (dan tafsir bil ma’tsur serta karya qira’ah) sudah lengkap terbukukan, maka Ibnu Katsir memanfaatkan bahan-bahan yang telah ada. Saat mengutip hadis Bukhari atau Ahmad, ia cukup menyebutkan ulang sanad dari satu matan yang ia kutip dari karya Bukhari dan Ahmad.
Dalam Tarikh pun model periwayatan ini juga dipakai. Karya sejarah dalam Islam sebagian bukan narasi peristiwa, tetapi laporan-laporan peristiwa sepotong-sepotong berdasarkan berbagai reportase. Hal demikian bisa ditemukan pada Tarikh Tabari maupun al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir.
Sanad Sebagai Mata Rantai Studi
Sanad pada masa belakangan mengacu pula kepada mata rantai guru sampai kepada penulis karya penulis. Pembelajaran masa lalu menggunakan karya sebagai acuan. Orang belajar di pesantren atau guru ditekankan kepada pengkajian kitab atau karya klasik. Berbeda dengan pendidikan masa sekarang yang berbasis pada kompetensi sehingga bahan ajar bisa bervariasi tergantung kepada kompetensi apa yang hendak dicapai.
Pada masa lampau, penguasaan satu karya menjadi standar dalam belajar sehingga ijazah diberikan kepada murid karena menyelesaikan kajian satu kitab. Setelah diuji di depan umum, murid diberi ijazah sudah menyelesaikan satu kitab dan bisa mengajarkannya. Dalam ijazah itu ada kalanya mata rantai guru yang menyambungkan studi sampai kepada penulisnya disebutkan.
Kifayatul Mustafid karya Mahfud at-Tarmasi dan Iqd al-Farid karya Muhammad Yasin al-Fadani menyediakan gambaran sanad pembelajaran yang menunjukkan mata rantai studi satu kitab sampai pada penulisnya. Dalam Iqd al-Farid kita bisa mengetahui karya apa saja yan dipelajari dan siapa saja sanad al-Fadani.
Ada sanad yang panjang, seperti kajian karya Ahmad bin Idris al-Syafi’i dan ada yang pendek seperti sanad pada karya Muhammad Abduh (Kitab al-Tauhid) yang langsung diajarkan Muhammad Rasyid Ridla, murid Abduh sendiri.
Kita juga bisa melihat kosmopolitanisme dalam studi Islam sehingga bisa melihat al-Fadani mempelajari Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab yang sanad studi bersambung pada Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Syekh Abdusshamad al-Falimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari.
***
Karena pembelajaran klasik dilaksanakan di masjid, zawiyah atau halaqah maka siswa bebas mengikuti pengajian guru yang ia kehendaki. Boleh jadi dalam bidang hadis ia belajar pada guru A di satu pojok masjid, lalu mengaji fikih di pojok lainnya pada guru B.
Pada masa tersebut, kredibilitas siswa tidak jarang ditentukan oleh guru. Menjadi murid ulama yang kredibel atau terkenal, akan menaikkan kredibilitas murid. Sebaliknya, kredibilitas guru bisa pula dibangun di atas kredibilitas muridnya. Hal demikian, masih ada di lembaga pendidikan tradisional, meski sistem ijazah perkarya tidak banyak lagi dijumpai.
Sementara pada zaman modern, kredibilitas lembaga lebih diutamakan. Siswa dipandang punya kredibilitas tinggi jika bersekolah di sekolah favorit atau kampus ternama meski masyarakat tidak tahu siapa-siapa guru atau dosennya. Orang lebih percaya pada otoritas sistem, bukan pada personal.
Di lembaga pendidikan pesantren yang sudah mengadopsi seperti ini sistem klasikal pun model demikian juga sudah berlaku. Ijazah diberikan bukan lagi perstudi kitab, melainkan setelah menempuh kurikulum yang ditetapkan. Kitab-kitab klasik mungkin masih dipakai, tetapi ijazah tidak lagi diberikan perstudi kitab.
Sanad Sebagai Preservasi Ide Taklid
Saat ini, sanad mengalami revitalisasi. Proses sebenarnya sama dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah atau gagasan kembali ke ajaran salaf. Semua ingin mengklaim otentisitas gagasan. Bedanya, gagasan sanad ini menekankan kepada preservasi gagasan, intelektualitas, dan struktur keulamaan klasik yang sudah mapan.
Preservasi sanad ini secara implisit menekankan pentingnya taklid kepada ulama yang strukturnya jelas. Hal itu tidak jauh dari gagasan mazhab klasik bahwa orang zaman sekarang levelnya adalah muqallid sehingga harus mengikuti para hamalatul faqih, hamalatul faqih mengikuti pendapat ahl al-futya dan seterusnya hingga imam pendiri mazhab. Imam pendiri mazhab inilah yang melakukan pengkajian langsung dari Al-Qur’an dan sunah.
Sudah barang tentu, sebagaimana telah kita ulas pada tulisan tentang mazhab dan pendapat mu’tamad sebelumnya, saat ini tidak banyak orang menganut satu mazhab saja secara konsisten.
Fiqh manhaji bahkan membuka kembali peran mujtahid fil mazhab untuk mengkaji nash atau pendapat ulama secara metodologis. Selain itu, dengan banyaknya karya tulis cetak dan produksi keilmuan secara massif, tidak mungkin lagi orang hanya terpaku pada pembelajaran di pesantren semata.
Ambil contoh, seorang mahasiswa S2 di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Ia dahulu mondok saat SMA dan belajar Tafsir Jalalain, Fathul Qarib, al-Mahalli, al-Arbain al-Nawawiyah, Minhajul Abidin, Ibnu Aqil, Ghayah al-Wushul, dan al-Faraidl al-Bahiyyah. Saat S1 ini, belajar secara mandiri untuk makalah hingga skripsi karya al-Risalah karya al-Syafii, Tafsir Marah Labid karya Muhammad Nawawi al-Bantani dan Rawai’ al-Bayan karya Ali ash- Shabuni.
Saat S2, ia belajar Bidayah al-Mujtahid, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam al-Amidi, al-Muwafaqat karya al-Syatibi, Tafsir Ayat al-Ahkam al-Jashshah dan al-Qawaid fi Ulum al-Hadits karya al-Tahanawi. Kajian-kajian kitab semasa S1 dan S2 itu tidak menggunakan sistem sanad dan ijazah seperti semasa mondok saat sekolah SMA dahulu.
***
Bahkan kitab-kitab yang dikaji saat SMA pun tidak ada ijazah khatam dan bisa mengajarkan secara tertulis dari gurunya untuk masing-masing kitab. Ia juga tidak bisa menjelaskan siapa guru dari gurunya dan guru dari gurunya sampai kepada muallif (pengarang) sebagai syarat sanad bersambung. Yang ia punya hanya asumsi bahwa gurunya punya guru sampai ke atas. Tetapi untuk studi dia selama S1 dan S2 tentu sanadnya munqathi (terputus) puluhan mata rantai sanad.
Pertanyaannya apakah ilmu mahasiswa tersebut bersanad? Apakah ilmu agama yang ia pelajari selama S1 dan S2 tidak sah untuk hujjah atau untuk disampaikan pada masyarakat. Lalu apa gunanya ia belajar agama sampai S1 dan S2 jika ilmunya tidak dianggap benar hanya karena tuntutan sanad model klasik.
Tentu dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, sistem sanad sudah kehilangan relevansi. Sistem itu diangkat lagi dengan tujuan baru, yaitu untuk membangun ulang kepercayaan kepada pendidikan agama tradisional dan pada batas tertentu untuk mengontrol perkembangan pemikiran Islam kontemporer dengan mengangkat kembali doktrin taklid.
Pada zaman yang semakin demokratis saat ini, akses ilmu dan informasi sulit dikontrol dan dibatasi. Tetapi setidaknya pada saat tertentu, pendapat baru bisa ditolak, bukan pada substansi gagasan dan argumennya, melalui penilaian tidak bersanad alias dipertanyakan otoritasnya.
Sayangnya, boleh jadi pihak yang menuntut sanad ilmu pun tidak mampu menunjukkan mana karya yang ia pelajari dengan sistem ijazah klasik lengkap dengan silsilah gurunya. Tuntutan sanad itu tujuannya bukan untuk diskusi pada level substansi atau pembuktian, tapi sekedar menekankan pengakuan akan otoritas keilmuan tertentu dan penolakan pada otoritas lain yang dipandang kurang familier.
Editor: Yahya FR