Memperdebatkan kebenaran adalah kekacauan yang sering terjadi dari pada umat beragama, jika kita amati mulai zaman klasik hingga hari ini karena perebutan kebenaran. Pada umumnya, kekacauan ini berangkat dari kaum agamawan fundamentalis/puritan/semacamnya. Mereka memiliki agenda untuk memurnikan ajaran agama yang menurutnya telah mengeruh seiring berjalannya budaya dan peradaban.
Memperdebatkan Kebenaran & Problem Beragama
Banyak kita saksikan teror bom yang mengerikan di berbagai daerah. Itu pun menurut mereka merupakan perang suci, karena memerangi thogut. Tentulah teror bom menjadi suatu wacana penting dan menakutkan bagi siapa saja. Sebab di luar nalar kodrat manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki hak untuk hidup tenang dan mati dalam keadaan yang wajar. Para jihadis tak pernah lepas dari permainan bahasa agama guna meyakinkan masyarakat bahwa keyakinan dan tindakan mereka merupakan suatu kebenaran.
Makna Sprachspiele
Memperdebatkan kebenaran soal bahasa dalam Wittgenstein di filsafat kebahasaannya menyebut ini sebagai “Sprachspiele”. Yakni suatu tata permainan bahasa yang meliputi semua aneka keragaman bahasa, termasuk bahasa perlokusi oleh para ekstremisme. Tidak ada satu pun tindakan terorisme yang dibenarkan oleh ajaran apapun. Yang paling membekas di hati masyarakat global yaitu peristiwa 11 September 2001 silam.
Di mana terjadi saling teror bahasa antara kubu George Walker Bush selaku presiden Amerika Serikat dengan kubu Osama bin Laden selaku pimpinan tertinggi Al-Qaeda. Uniknya, kedua aktor tersebut sama-sama menggunakan bahasa berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Dalam permainan bahasa, Wittgenstein juga menyebut akan adanya “aneka kemiripan keluarga”. Dan ternyata di dalam konteks terorisme tersebut ditemukan ‘kemiripan keluarga’ menjangkau lebih luas dari pada pendapat Wittgenstein (Hendropriyono, 2009).
Kemiripan keluarga ini terletak dari sama-sama menggunakan bahasa berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Kendati demikian, kenyataannya justru yang dilakukan oleh kedua pihak yang bertikai menimbulkan kerusakan, kehancuran, dan penederitaan umat manusia (Hendropriyono, 2009).
Akar dari Sebuah Kekerasan
Sebagaimana mengutip pendapat Ihsan Ali Fauzi (2005) dalam Muhammad Nursalim bahwa akar kekerasan teologis juga bersifat internal dan eksternal. Kekerasan teologi internal, Ihsan menyebutnya sebagai fundamentalis agama. Sedangkan yang eksternal ia sebut sebagai fundamentalis sekuler (Muhammad Nursalim, 2014).
Berarti ini sejalan dengan tindakan Bush dan Laden yang ungkapan-ungkapannya tidak lepas dari bahasa perlokusi dalam suatu permainan bahasa. Mereka sedang menggunakan permainan bahasa, dimaksudkan untuk mempengaruhi banyak orang bahwa tindakan mereka adalah benar dan diberkati Tuhan.
Sebagai permisalan lain, konflik yang tidak pernah selesai antara Israel dan Palestina juga terdapat permainan bahasa yang terus berjalan. Teroris selalu diidentikkan dengan yang tidak berseragam, brutal, dan bom.
Memperdebatkan Makna Perang dan Teroris
Hal tersebut merupakan bagian dari memperdebatkan kebenaran. Disisi lain, yang disebut sebagai kontra teroris adalah mereka yang berseragam, bersenjata lengkap, dan tank-nya. Berdasarkan opini publik sebagaimana dijabarkan oleh Haryomataram (1964) dan Permanasari (1999), menyebutkan perbedaan perang dan teroris sebagai berikut :
Pertama, dilakukan oleh kombatan atau anggota militer yang bersenjata terbuka dan memakai baju seragam militer yang lengkap dengan identitas atau tanda korps dari kesatuan dan negara masing-masing. Kedua, target dalam perang adalah kombatan musuh, bukan masyarakat sipil. Ketiga, tunduk kepada hukum perang internasional yang disepakati di Geneva, Switzerland.
Namun bagaimana yang dilakukan oleh Israel dalam kontra terorismenya. Seharusnya, pihak-pihak para pelaku perang harus tunduk kepada tata permainan bahasa dalam perang. Namun yang terjadi bukan perang, melainkan mengarah pada tindakan terorisme. Sebab, bahasa yang digunakan dalam terorisme tidak pernah tunduk terhadap tata permainan bahasa apa pun.
Menurut Jurgen Habermas (2003), terorisme lebih bersifat insurgency (pengacauan) dari pada belligrent (perang). Ia juga menyatakan bahwa perang melawan terorisme seperti yang dideklarasikan oleh GWB adalah sama seperti memberi legalitas kepada terorisme. Padahal secara teori, perang dan terorisme tidaklah sama.
Karena tanpa perang pun suatu rezim penguasa nasional dapat melakukan teror terhadap kaum oposan politik didalam negerinya sendiri. Misalnya seperti yang telah terjadi di Indonesia ketika masa Presiden Soeharto. Ia melakukan teror senjata kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka), guna meredakan konflik yang berkepanjangan di Aceh.
…
Dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan Israel yang menyasar warga sipil dan tempat peribadatan adalah terorisme berbalut militer. Dilain sisi ia juga telah berhasil meraih opini publik sebagai kontra terorisme. Ironis memang, sebutan teroris seringkali dilekatkan oleh kelompok yang berseberangan—tergantung dari siapa yang melihat dan menilai, serta dari kelompok mana ia berasal (Asrori, 2019).
Setidaknya ada perebutan makna “Kiri” dan “Kanan” disini yang kemudian dimenangkan oleh Israel. Ada perbedaan garis yang sangat tipis antara teroris dan pahlawan. Sebagaimana menurut James Lutz dan Brenda Lutz, bahwa seorang pejuang kemerdekaan bisa jadi dianggap teroris oleh kelompok lain yang memiliki status quo (James Lutz & Brenda Lutz, 2005).
Karena itu menurut Derrida, sangat sulit membedakan antara perang ataukah terorisme. Sebagaimana antara terorisme negara dengan terorisme non negara dan antara terorisme nasional dengan terorisme internasional (Hendropriyono, 2009).
Hal ini senada dengan ungkapan bahwa teroris dapat dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan kepada pemerintah ataupun kekerasan yang anti terhadap pemerintah. Sebab, terdapat nuansa politis yang mewarnai penggunaan kata teroris meskipun dalam realitanya tujuan politis tidak selalu menjadi unsur utama (Mustofa,2002).
Sementara motivasi politik yang terkandung dalam aksi teroris sangatlah beragam. Selain motivasi politik, aksi terorisme juga dapat muncul akibat fanatisme dalam keberagamaan, yang akhirnya menimbulkan aksi-aksi brutal dibawah payung agama.
Pentingnya Moderasi
Memperdebatkan kebenaran menurut Wittgenstein, agar dapat memahami permaian bahasa (sprachspiele) maka harus memperhatikan “Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat. Adapun suatu makna dalam kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup” (P.I., prg. 23).
Oleh karenanya, penting di sini untuk terus menyebarluaskan moderasi beragama. Selain itu juga mengembalikan fungsi kebenaran (truth function) agama itu sendiri sebagai rahmat untuk seluruh alam. Agama bukan sebagai ruang perebutan kebenaran, melainkan agama itulah kebenaran itu sendiri yang ajaran-ajarannya sesuai fitrah kehidupan manusia.
Editor: Rivaldi Dr