Hadis

Pengultusan Al-Kutub As-Sittah: Penyebab Kemandekan Kajian Hadis

4 Mins read

Dalam kajian ilmu hadis, istilah/terminologi Al-Kutub as-Sittah (Buku yang Enam) sangat sering kita dengar. Istilah tersebut dipakai untuk memberikan gambaran terhadap kitab-kitab hadis standar yang berlaku sekaligus otoritatif di kalangan umat Islam.

Saat ini, ketika para pengkaji atau peminat ilmu hadis mendengar istilah Al-Kutub as-Sittah, mereka paham bahwa yang dimaksud adalah enam kitab hadis yang merefleksikan hirarkinya masing-masing dari yang tertinggi ke yang paling rendah, antara lain; Al-Jami’ as-Shahih karya Imam Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih karya Imam Muslim, Sunan karya Abu Dawud, Sunan karya At-Tirmidzi, Sunan karya An-Nasa’i, dan Sunan karya Ibnu Majah.

Umat Islam sekarang memandang para penulis kitab-kitab hadis di atas sebagai sosok ahli hadis yang otoritatif. Implikasinya, kitab-kitab hadis tersebut menjadi sumber-sumber yang wajib dipertimbangkan dan dirujuk saat seseorang hendak melakukan kajian hadis.

Istilah Al-Kutub as-Sittah yang disematkan pada enam kitab hadis tersebut seolah-olah sudah menjadi kultus dan mencitrakan kesakralannya sendiri. Hirarki vertikal kitab hadis dalam Al-Kutub as-Sittah seakan sudah paten dan tak mungkin dianggap setara secara horizontal.

Sejak Kapan Muncul Istilah Al-Kutub as-Sittah?

Ternyata istilah Al-Kutub as-Sittah, pada mulanya, tak dipakai untuk menunjuk enam kitab hadis di atas. Istilah Al-Kutub as-Sittah masyhur dikenal saat kepemimpinan Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasyiah pada abad 2 Hijriyah (H). Saat itu ada seorang qadli (hakim) kerajaan bernama Hasan al-Shaibani yang menggunakan istilah Al-Kutub as-Sittah untuk merujuk pada enam kitab fikih yang lazim dipakai oleh mazhab Hanafi.

Enam kitab fikih itulah yang digunakan sebagai referensi atau rujukan bagi para hakim yang bertugas di daerah kekuasaan Dinasti Abbasyiah. Keenam kitab fikih mazhab Hanafi tersebut dianggap sebagai kitab undang-undang negara yang lazim disebut dengan Al-Kutub as-Sittah.

Namun, keenam kitab fikih itu tidak bersifat hirarkis. Artinya, tidak ada yang ditinggikan atau diunggulkan lebih dari yang lain. Semua dipandang sama dan setara. Konsekuensi logisnya, para hakim dibebaskan untuk merujuk salah satu dari enam kitab tersebut dalam membuat putusan kebijakan atau merumuskan undang-undang.

Baca Juga  Beberapa Istilah Rawi dalam Periwayatan Hadis

Masyhurnya istilah Al-Kutub as-Sittah pada waktu itu menjadi semacam brand tersendiri yang menggambarkan kegemilangan sejarah umat Islam yang memiliki peradaban yang sangat tinggi, khususnya dalam bidang perundang-undangan negara.

Pergeseran Makna Al-Kutub as-Sittah

Namun di masa kekhalifahan Al-Makmun dari Dinasti Abbasyiah, terjadi pergolakan dan pertarungan sengit antara ahli hadis dan ahl ra’y (para pendukung rasio/akal). Pergolakan ini terjadi saat Khalifah Al-Makmun membuat proyek penerjemahan buku-buku asing besar-besaran, khususnya dari Yunani, ke dalam bahasa Arab.

Proyek penerjemahan ini menyebabkan masuknya paham dan pemikiran Hellenisme yang mempengaruhi cara dan corak berpikir umat Islam, khususnya para ilmuwan. Akibatnya, tak sedikit para ilmuwan saat itu lebih mengapresiasi pemikiran logis-filosofis ketimbang cara berpikir tertutup para ahli hadis yang hanya terpaku pada tumpukan teks-teks hadis. Para ahli hadis geram melihat hal ini, dan ujung dari pergolakan ini ada pada peristiwa mihnah di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil.

Peristiwa mihnah menimbulkan efek luar biasa pada konstelasi pemikiran kala itu. Para pendukung ra’y (rasio/akal) baik dari kalangan ilmuwan atau ulama Muktazilah, tak boleh lagi eksis menyebar pendapat atau pandangan mereka. Bahkan, karya-karya mereka dicekal, diberangus, dan tak boleh dipublikasikan ke khalayak karena dianggap sesat dan menyesatkan.

***

Momentum pencekalan para ahl ra’y tersebut dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para ahli hadis. Mereka mengambil tempat para ahl’ ra’y untuk melakukan penetrasi pemikiran yang selama ini didominasi oleh corak pemikiran yang berasaskan rasio dan logika.

Langkah awal yang ditempuh oleh para ulama hadis ini, mereka menciptakan formulasi corak atau genre dalam Islam lewat penyusunan kitab-kitab hadis yang dianggap sebagai rujukan dalam melakukan istinbath hukum. Maka bisa dimaklumi, kenapa banyak sekali sekarang kita lihat kitab-kitab hadis memiliki pola penulisan seperti kitab-kitab fikih.

Baca Juga  Ilmu Naqd al-Hadis: Pentingnya Melakukan Kritik atas Hadis Nabi

Langkah berikutnya, mereka membuat istilah atau penyebutan untuk kumpulan kitab hadis standar yang mereka formulasikan. Beberapa istilah yang coba dipakai yaitu Kutub al-Khamsah, Al-Kutub as-Sittah, Kutub as-Sab’ah, Kutub ats-Tsamaniyah, dan Kutub al-Tis’ah.

Tapi nyatanya, hanya istilah Al-Kutub as-Sittah lah yang terngiang-ngiang dan terkenal sampai sekarang. Hal itu disebabkan karena istilah Al-Kutub as-Sittah sudah dikenal sejak zaman kekhalifahan Harun ar-Rasyid yang dijadikan istilah kitab-kitab fikih rujukan undang-undang. Para ahli hadis memakai istilah ini secara instan supaya mudah mendapat pengakuan dari umat Islam. Al-Kutub as-Sittah yang dulu identik dengan kitab-kitab fikih kini bergeser makna ke kitab-kitab hadis.

Dampak Pengkultusan Istilah Al-Kutub as-Sittah

Al-Kutub as-Sittah, yang dulu hanya sebatas istilah untuk menunjuk beberapa kitab fikih dan hadis, kini sudah menjadi kultus yang sakral. Bila Al-Kutub as-Sittah dianggap sebagai kitab fikih yang bernuansa profan, kini berubah menjadi susunan kitab hadis yang bersifat sakral dengan bentuk hirarki vertical bukan horizontal.

Jika dulu para qadli bebas merujuk kitab fikih mana saja yang dijadikan sumber perundang-undangan, maka kini para pengkaji hadis tak bisa seenaknya merujuk pada salah satu kitab hadis yang ada dalam Al-Kutub as-Sittah.

Dalam hirarki Al-Kutub as-Sittah, Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menempati hirarki paling tinggi. Kedua kitab tersebut diyakini sebagai dua kitab hadis rujukan utama dalam ber-hujjah dengan alasan tingkat kesahihan keduanya dinilai paling tinggi ketimbang yang lain. Adanya hirarki ini bisa mematikan kreativitas para peneliti hadis atau ulama untuk melakukan ijtihad baru.

***

Sejarah telah membuktikan, bahwa setelah berakhirnya masa kodifikasi hadis di akhir abad ke 4 H, tak muncul lagi ulama-ulama sekaliber imam mazhab empat; Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Hanbali. Andaikan keempat imam itu lahir setelah masa kodifikasi hadis yang disusun secara hirarkis, bisa diasumsikan mereka tak mungkin jadi mujtahid-mujtahid mutlak seperti yang dikenal sekarang.

Baca Juga  Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis (Bag 2)

Hal itu dikarenakan mereka tak bisa bebas dalam menggunakan sumber daya hadis yang ada karena terdapat hirarki dalam pemakaian kitab-kitab hadis.

Kita tahu, bahwa Kitab Shahih Bukhari adalah kitab hadis yang banyak membahas tentang tema-tema fikih. Hal itu sangat menyulitkan para pengkaji hadis untuk melakukan kajian terhadap tema-tema lain selain lingkup fikih, misal tema-tema tentang politik, sains, atau metafisika. Karena, ijtihad atau pengkajian harus merujuk kepada tema-tema yang ada pada Al-Kutub as-Sittah, terutama mereka yang ada pada hirarki yang paling tinggi.

Jika memang seperti itu, Kitab Muwattha’ karya Imam Malik tak akan pernah hadir di dunia ini karena pembahasan hadis harus dalam lingkup tema yang ada dalam Al-Kutub as-Sittah, meskipun akhir-akhir ini diketahui bahwa beberapa hadis yang ada di kitab tersebut berderajad dha’if. Tapi intinya, Imam Malik menyusun kitab tersebut dengan kebebasan yang tinggi tanpa harus terperangkap pada jebakan hirarki kitab-kitab hadis yang ada pada Al-Kutub as-Sittah.

Sumber Bacaan:

  1. Muhammad Habibi Siregar, Otoritas Hierarki Kutub Al-Sittah dan Kemandegan Kajian Fikih, Jurnal MIQOT Vol. XXXVIII No. 1 Januari-Juni 2014.
  2. Umma Farida, Al-Kutub as-Sittah: Karakteristik, Metode, dan Sistematika Penulisannya (2011).
Yahya Fathur Rozy
38 posts

About author
Peminat studi-studi keislaman
Articles
Related posts
Hadis

Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

4 Mins read
Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…
Hadis

Faktor Penyebab Keterlambatan Penulisan dan Kodifikasi Hadis

3 Mins read
Penulisan hadis sebenarnya sudah ada di zaman Nabi Saw, namun penulisan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya shahifah-shahifah…
Hadis

Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

4 Mins read
Para pengkaji dan kritikus barat berbeda-beda dalam menetapkan sebuah teori dan metode penanggalan hadis sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Untuk melacak dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *