Pada awal Agustus 2022 viral sebuah kasus pemaksaan penggunaan jilbab terhadap seorang siswi kelas X di SMA Negeri 1 Bantul, DI Yogyakarta. Konon, seorang guru memaksa salah satu siswinya yang tidak berjilbab untuk menggunakan jilbab.
Kasus ini mengundang perhatian khalayak luas. Banyak pihak yang turut bicara mengomentari kasus tersebut. Mulai dari pemerintah hingga organisasi kemasyarakatan. Salah satu lembaga otoritatif yang memberikan komentar terhadap kasus tersebut adalah Muhammadiyah.
Sebagai sebuah ormas yang sudah begitu banyak makan garam dalam mengelola lembaga pendidikan, Muhammadiyah merasa pemaksaan penggunaan jilbab adalah hal yang kurang arif.
Dalam konteks yang lebih luas, sebenarnya Muhammadiyah sudah memberikan contoh yang begitu terang tentang bagaimana seharusnya nilai-nilai toleransi diwujudkan dalam dunia pendidikan.
Di Papua, ada sepuluh sekolah Muhammadiyah. Mulai dari SD hingga SMA. Di Papua Barat, Muhammadiyah memiliki 21 sekolah. Di Maluku Utara 38. Maluku 29, NTT 15, dan Bali 13 sekolah. Seluruh sekolah milik Muhammadiyah tersebut tidak pernah memaksa siswi untuk memakai jilbab.
Di sekolah-sekolah itu, mayoritas siswanya beragama Kristen & Katolik. Siswa-siswi yang non muslim ini juga mendapatkan kebebasan untuk tetap menganut agamanya tanpa ada paksaan sedikitpun untuk masuk Islam. Bahkan, Muhammadiyah menyediakan guru agama sesuai agama yang dianut masing-masing siswa. Sikap tenggang rasa ini yang membuat lembaga Muhammadiyah di daerah Timur diminati oleh masyarakat setempat.
Menurut laman resmi Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, jumlah SD, SMP, dan SMA sederajat yang dimiliki oleh Muhammadiyah mencapai 3334. Menurut sumber lain, SD, SMP, dan SMA sederajat Muhammadiyah mencapai 5519. Belum lagi jumlah TK yang dimiliki oleh Aisyiyah, salah satu organisasi sayap Muhammadiyah, yang jumlahnya mencapai 4623.
Selain itu, di tingat perguruan tinggi, Muhammadiyah juga memiliki 172 perguruan tinggi. Perguruan tinggi tersebut, konon, jumlahnya lebih banyak daripada perguruan tinggi milik negara di bawah Kemendikbud Ristek yang jumlahnya 122 dan di bawah Kemenag yang jumlahnya 97.
Di Indonesia Timur, Muhammadiyah juga memiliki beberapa sekolah dan perguruan tinggi. Empat Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang ada di Papua antara lain Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura.
Di keempat kampus yang mayoritas mahasiswanya adalah non muslim tersebut, mahasiswa beragama Protestan dan Katolik diberikan pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, sekaligus mata kuliah agama masing-masing, dengan dosen dari agama tersebut. Bahkan, ada pastur yang ikut mengajar.
Di kampus tersebut, tentu sama sekali tidak ada paksaan kepada mahasiswa non muslim untuk masuk Islam. Bahkan, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong telah meluluskan seorang biarawati bernama Ermelinda A Hale pada tahun 2020.
Biarawati asal Kupang tersebut mengakui bahwa kampus tempat ia belajar sangat menerapkan prinsip-prinsip toleransi, terutama kepada mahasiswa non muslim. Mahasiswi asal Kupang tersebut mengaku sangat bersyukur karena berbeda agama bahkan berprofesi sebagai biarawati.
Namun ia tidak merasa sendirian menempuh pendidikan di Unimuda Sorong. Ia mengaku senang karena di kampus ia saling mendukung dan membantu tanpa memandang agama.
Di kampus tersebut, imbuhnya, ada ruang yang disebut Rumah Multikultural. Ruang tersebut digunakan untuk belajar dan membagikan pengalaman keberagaan. Menariknya, mahasiswa yang akan masuk ke ruang tersebut harus bersama-sama dengan orang yang berbeda suku.
Pada tahun 2020, terdapat 2000 mahasiswa yang diterima di Unimuda, dan 79% di antaranya adalah non muslim dan Orang Asli Papua. Penerimaan 2000 mahasiswa tersebut merupakan angka penerimaan tertinggi di Provinsi Papua Barat.
Selain di Papua, Muhammadiyah juga memiliki dua perguruan tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan mayoritas mahasiswa beragama Kristen, yaitu Universitas Muhammadiyah Kupang dan IKIP Muhammadiyah Maumere.
Di kampus tersebut, mahasiswa yang mayoritas beragama Kristen Protestan dan Katolik mempelajari Al-Islam dan Kemuhammadiyah (AIK) untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang Islam. Selain itu, di kampus tersebut juga mempunyai dosen non muslim dan pastur yang ikut mengajar.
Siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi tersebut, di kalangan Muhammadiyah, sering disebut dengan istilah Krismuha atau Kristen Muhammadiyah. Di kalangan Muhammadiyah juga masyhur cerita bagaimana mereka, orang-orang non muslim tersebut dengan sukarela menyanyikan Mars Muhammadiyah di kegiatan seremonial.
Padahal, di dalam lagu Mars Muhammadiyah jelas terdapat lirik: “Ya Allah Tuhan Rabbiku, Muhammad junjunganku, Al Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku.”
Interaksi Muhammadiyah dengan agama lain ini tentu menjadi bukti kedewasaan berpikir dan rasa toleransi Muhammadiyah. Penerimaan warga setempat yang non muslim juga menjadi bukti bahwa Muhammadiyah sanggup bergaul dengan agama lain dengan dewasa, elegan, dan penuh rasa toleransi.
Para pelajar yang memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah telah dengan suka rela menjadi Kristen Muhammadiyah, sebagaimana mereka rela menyanyikan lagu Mars Muhammadiyah kendati tetap memegang teguh identitas sebagai non muslim.
Kedewasaan Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan layak menjadi teladan. Di Muhammadiyah, tidak akan dijumpai kasus-kasus pemaksaan seperti yang baru-baru ini menjadi perbincangan netizen. Lembaga pendidikan sudah seharusnya menjadi lembaga yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, kemajemukan, dan penghargaan terhadap pilihan masing-masing individu.
Lembaga pendidikan tidak boleh menganut konsep liyan, the other. Tidak boleh mengenal istilah sempalan. Bagaimanapun, sikap dan praktik keberagamaan adalah hak individu yang harus dihormati. Pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan atribut keagamaan adalah hak individu yang tidak layak diintervensi.
*) Artikel ini diproduksi berdasarkan hasil kerjasama IBTimes dengan INFID.