“Sudah meninggal tetapi masih hidup”, demikian komentar yang saya tulis ketika beberapa senior membagikan dukacita di grup WhatssApp “Keluarga Formaci” (Forum Mahasisa Ciputat) tentang berpulangnya Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Buya Azyumardi Azra. Seorang senior membagikan foto headline Harian Kompas dan Media Indonesia, Senin (19/09/2022), di mana Buya Azyumardi sebagai tema utama. Senior lain turut membagikan video karangan bunga yang berjejer di sepanjang jalan menuju kediaman Azyumardi, dekat kampus dua UIN Jakarta.
Senior lainya lagi membagikan tulisan Azyumardi yang dimuat pada kolom opini Harian Kompas pada hari yang sama. Tulisan tersebut adalah makalah yang seharusnya Azyumardi sampaikan pada Persidangan Antarbangsa “Kosmopolitan Islam” di Kajang, Malaysia, Sabtu (17/9/2022). Dalam rangka memenuhi undangan Tokoh Malaysia Datuk Anwar Ibrahim dan Angkatan Bela Islam Malaysia (ABIM).
Takdir berkata lain, Azyumardi mengalami serangan jantung dalam penerbangan dari Jakarta menuju Kuala Lumpur, dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Serdang, Selangor setelah pesawat mendarat. Namun pada Minggu (18/9) Azyumardi dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kabar yang mengagetkan dan memberikan duka mendalam bagi rakyat di penjuru Nusantara dan dunia.
Mengenal Azyumardi Azra
Saya mulai mendengar nama Azyumardi Azra saat kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, beliau adalah mantan Rektor UIN Ciputat tersebut (1998-2006), dan juga tokoh alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat. Dalam berbagai rekrutmen anggota baru HMI Ciputat, nama beliau pasti disebut dan dibanggakan sebagai alumni sekaligus Ketua HMI Cabang Ciputat (1981-1982), bersanding dengan nama besar lain se-letingnya, seperti Bahtiar Effendy (almarhum), Fachry Ali, dan Komarudin Hidayat.
Dalam banyak diskusi di Ciputat, pemikiran beliau selalu dibahas. Karya disertasi doktoralnya di Universitas Columbia yang fenomenal dan kemudian dicetak sebagai buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII bahkan dipelajari dalam diskusi khusus bersilabus, yang biasanya dikatamkan dalam beberapa kali pertemuan.
Iklim organisasi dan diskusi di Ciputat membuat mahasiswa seperti saya lebih mengenal ketokohan beliau, meskipun secara personal tidak memiliki hubungan yang sepesial. Dalam grup WhatsApp KAHMI Mancanegara (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam), di mana saya tergabung di dalamnya, beliau rutin membagikan tulisan.
Terakhir kali, pada Kamis (15/9/22) beliau membagikan artikel yang ditulisnya dalam rubrik Resonansi Harian Republika, membahas tentang NU 100 Tahun (2). Tidak menyangka, hari itu adalah interaski terkahir beliau dengan anggota grup tersebut.
Azyumardi Azra Dicintai di Timur dan Barat
Timur dan Barat adalah istilah geososial yang biasa digunakan untuk memisahkan dua belahan dunia dengan kebudayaan yang berbeda. Timur biasa digunakan untuk menyebut Asia dan negara-negara Islam (oriental).
Sedangkan Barat adalah negara-negara kolonial yang pernah menjajah di Timur, seperti Inggris, Eropa, Amerika (oksidental). Dalam Al-Quran, istilah Timur dan Barat digunakan untuk menyebut tempat terbit dan terbenamnya matahari (QS 55:17), (QS 70:40), (QS 73:9).
Meskipun istilah tersebut banyak dikritik, tetapi dalam artikel ini saya ingin menggunakan istilah tersebut untuk membedakan cendikiawan muslim lulusan Timur dan Barat.
Tahun 1950-an pusat kajian keislaman tumbuh subur di universitas-universitas Eropa dan Amerika, menekankan kajian Islam secara historis sosiologis. Dalam pandangan sarjana Timur (negara-negara Arab), kajian Islam model Barat tersebut melupakan aspek doktrinal Islam sebagai agama wahyu yang sudah final, dan tidak pantas dikritik.
Sarjana muslim dari universitas-universitas Barat umumnya menderita kritik dan cap sadis sebagai antek liberal dan orientalis. Sebut saja Harun Nasution, Nurcholis Madjid, bahkan Syafi’i Ma’arif. Label sadis tersebut lebih karena aktivitas sosial dan pandangan politik, bukan soal pemikiran akademik.
Istimewanya, Azyumardi Azra meskipun adalah sarjana Barat dari Universitas Columbia Amerika Serikat, tetapi tidak banyak menderita label tersebut. Bahkan tulisan-tulisannya menjadi rujukan dan bahan diskusi menarik bagi mahasiswa Indonesia di negara-negara Arab. Saya telah berkunjung ke Maroko, Aljazair, Tunisia, Qatar, dan Saudi Arabia. Azyumardi dibanggakan sebagai tokoh cendikiawan Islam dan Ulama dari Asia Tenggara.
Bisa jadi, keistimewaan tersebut adalah buah dari konsistensi Azyumardi pada pengabdian ilmu pengetahuan dan dunia akademik, tidak tergoda panggung politik, seraya telaten menyampaikan ketajaman kritik. Singkatnya, Buya Azyumardi Azra dicintai di Timur dan Barat.
Editor: Yahya FR